Tanto (Sumber Ilustrasi : http://www.japanese-swords.com )
****
Puisi indah telah tertoreh
Hanya kenangan
Lalu kemana perginya kemenangan?
****
Kamar Utama Kastil Awan, hari Ke-16 Musim Gugur, 1860
“Tuanku, mohon Izin menghadap Tuanku”
“Masuklah!”
“Tuanku, tuan Hide telah…”
“Aku tahu… Aku tahu.. “
“Kami menunggu perintah, Tuanku”
“Siapkan prosesi pemakaman dengan penghormatan terbesar padanya, beri kabar kepada kepala biara untuk memimpin prosesi, dan umumkan kepada seluruh wilayah negeri, hari ini sampai dengan sekembalinya diriku dari Edo, kujadikan sebagai masa berkabung atas kehilangan Kepala Pengawal sekaligus seorang Samurai terbaik yang pernah kumiliki!”
“Baik, Tuanku”
“Dimana tanto miliknya?”
“Sedang dibersihkan dan dibungkus kain hitam bersama katana dan Wakizashi [20] miliknya untuk persiapan prosesi pemakaman, Tuanku”
“Untuk Katana dan Wakizashi miliknya lanjutkanlah seperti biasa, namun tanto itu, bawa segera kepadaku!”
“Segera kami lakukan, Tuanku”
****
Kini tinggal aku sendiri di ruangan itu. Menyisakan kesedihan mendalam atas kehilangan sahabatku
“Selamat tinggal, Hideyori-san”
“Selamat tinggal, Sahabat”
Selamat tinggal, Tomodachi-san”
Aku telah membunuhmu...
Pertengahan Musim Semi, 1842
“Ayo hide, kejar aku”
“Tunggu saja Tuan Yoshi, kuda hamba akan segera mengejar kudamu”
“Hahahaha… mana bisa, kudaku adalah kuda tercepat diseluruh wilayah ini, tentunya setelah kuda milik ayahku”
“Belum tentu, Tuan Yoshi, Walaupun kuda hamba tak secepat kuda milik Tuan Yoshi, tapi hamba bisa mengendarai kuda secepat angin”
“Hahahahaa… baiklah Hide, rasanya perlu aku beristirahat sejenak, dibukit itu kita beristirahat, Hide!”
Di padang rumput ini kami biasa bermain bebas, tanpa ada pengawalan yang ketat atau bungkuk hormat dan aturan kaku di lingkungan kastil. Seperti biasanya aku ditemani Hide, sahabatku sekaligus teman bermain dan berlatihku. Sebagai pewaris Seorang Daimyo di wilayah ini, tentulah saat-saat ini yang membuatku merasa nyaman… bebas…
"Apa yang kau lihat ketika memandang ke hamparan luas itu, hide?"
"Hamba melihat kedamaian, kebebasan... maaf Tuan Yoshi, hamba berbicara terlalu jauh"
"Mmhh... tak apa, Hide... lanjutkalah!"
"Hamba melihat kesederhanaan, tapi juga keanggunan"
"keanggunan katamu, Hide?"
"Ya, Tuan Yoshi"
"Ah... kau terdengar seperti wanita, hide... hahahah"
"Ya Tuan Yoshi, dulu sewaktu hamba masih berusia 7 tahun, Ibu hamba sesekali membawa hamba ke padang rumput di dekat puri kakek"
"Terdengar Indah, Hide"
"Seindah puisi yang selalu Ibu perdengarkan kala itu"
****
Angin
Kutitipkan salamku pada semua
Pada rerumputan yang menghijau
Bunga liar
Menghiasi anggun
Dan ranting yang mengering
Yang kau hembuskan haru kala itu
Daun yang gugur
Bukan kesedihan
Tapi harapan
Yang kau janjikan pada musim semi
Bagi putra-putra kami
Keberaniannya
Kehormatannya
Kesetiaannya
Bukan dengan pedangnya
Bukan pula dengan tombaknya
Melainkan dengan Hatinya
Sebagaimana mimpi-mimpi setiap ibu yang kau nyanyikan...
****
“Tahukah kau, Hide? Wilayah ini begitu indah... seindah puisi ibumu”
“Ya, Tuan Yoshi, dan wilayah inilah yang akan Tuan Yoshi warisi kelak sebagai Penguasa agung di wilayah ini”
“Dan tentunya seorang Penguasa membutuhkan kepala pengawal yang hebat, dan engkaulah yang akan kuangkat sebagai kepala pengawalku, Hide”
“Hamba tidak pantas mendapatkan kemuliaan itu, Tuan Yoshi”
“Ah.. kau ini sahabatku dan kaulah satu-satunya yang pantas untuk itu!”
“Terima kasih, Tuan Yoshi, tapi apapun itu, yang hamba janjikan atas darah yang mengalir didalam diri hamba, hamba akan selalu mendampingi Tuan Yoshi, melindungi Tuan Yoshi sekalipun harus menyerahkan nyawa hamba”
“Hahaha… Tak perlulah sampai mengorbankan nyawa! Aku akan memimpin wilayah ini dengan cinta, bukan dengan permusuhan dan peperangan yang harus mengorbankan nyawa”
“Bukankah kematian itu adalah puisi cinta bagi seorang samurai, Tuan Yoshi? Begitulah yang biasa ayahku sampaikan tiap malam sebelum aku tidur dan saat pagi menjelang”
“Ah… itukan ayahmu yang bilang! Ayahmu hanyalah orang tua kolot dengan dahi yang berkerut dan tak pernah tersenyum sama sekali. Sama seperti halnya ayahku yang pikirannya hanya dipenuhi urusan wilayah ini saja”
“Tapi, Tuan Yoshi...”
“Tapi apa, hide? Bukankah memang seperti itu tabiat orang tua, sedangka kita yang masih anak-anak ini cukuplah bermain dan menikmati indahnya padang rumput ini. Ayo, Hide! Cepat naik kudamu dan kejar aku! Hahahaa…”
“Tunggu, Tuan Yoshi!”
****
(Bersambung)
Jakarta, 25 Oktober 2010
****
Penjelasan istilah-istilah diatas:
20. Wakizashi, adalah jenis pedang yang biasa digunakan ole Samurai. berbeda dengan Katana, ukuran Wakizashi lebih pendek dengan dimensi panjang 30-60 Cm dan biasanya digunakan sebagai pendamping Katana, kerena efektif digunakan untuk pertempuran jarak dekat dan dalam ruangan yang sempit.
****
Cerita Sebelumnya:
Kematian Seorang Geisha (Antara Cinta, Kehormatan dan Kesetiaan Seorang Samurai) - Bag1 Kematian Seorang Geisha (Antara Cinta, Kehormatan dan Kesetiaan Seorang Samurai) - Bag2 Kematian Seorang Geisha (Antara Cinta, Kehormatan dan Kesetiaan Seorang Samurai) - Bag3 Kematian Seorang Geisha (Antara Cinta, Kehormatan dan Kesetiaan Seorang Samurai) - Bag4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H