Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis (Sembilan Belas)

13 Desember 2024   00:13 Diperbarui: 13 Desember 2024   00:13 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung, September 1957,  Belakang  Gedung Sate pukul lima sore

"Widy! Ini tempat anjeun kuliah nanti!" tunjuk Medina. "Bagus juga, aku mau menyusul tahun depan!" seru Medina menunjuk sebuah bangunan, kampus Universitas Padjadjaran. "Bukannya di Dipati Ukur?"

"Itu nanti. Kata Kang Syafri, Gedung Petama di sini dulu. Fakultas Kedokteran lain tempatnya.  Bung Karno akan meresmikannya!" timpal Widy. "Tapi nanti kampus baru  ke Dipati Ukur. Masih belum dibangun, nanti pas aku lulus sarjana muda barangkali selesai."

"Megah juga, memang tidak seperti bangunan Kampus Universitas Indonesia, tetapi kan bangga jadi mahasiswa angkatan pertama."

"Sebal! Aku juga mau kuliah di Bandung, Bang Asrul izinkan nggak? Memang sih punya anak!"  Norma merajuk.

"Rayu lah Norma. Minta Bang Asrul berbisnis di Bandung, prospektif untuk usaha hotel," celetuk Widy.

"Benar itu!" tanya Medina.

Berapa pekerja tampak masih memoles bangunan.  Berapa warung dadakan ada di sekitar kampus, berapa pekerja makan dan ngopi. Mereka kemudian bergerak menuju Jalan Diponegoro.

Namun yang menarik perhatian Widy  dari arah  Gedung Sate, tampak Syafri dan Kinan sedang difoto seorang fotografer di depan Gedung Sate. Kinan dengan rok pendek menunjukkan wajah centil, sementara Syafri pasrah.

"Astaga! Itu pasti idenya Kinan, muka Kang Syafri sudah mulai merengut!" sebut Widy. "Apa maksudnya? Aku saja nggak ada berfoto berdua dengan Kang Syafri."

"Kita kejutkan mereka!"usul Medina.

"Nggak, nanti buat diledek di rumah!" kata Widy.

Tak lama kemudian Syafri dan Kinan naik motor gandeng diikuti Sang Fotografer dengan peralatan dengan motor.

"Hendak ke mana lagi mereka? Ini mau maghrib?" tanya Medina.

"Kita ikutin, tampaknya mereka santai, kedua motor itu  pelan!" kata Norma heran.

Dengan kecepatan tinggi ketiga sepeda itu bisa mengikuti kedua motor dengan pelan. Mereka ternyata ke arah terminal Cicaheum. Namun sebelum ke sana mereka berhenti di depan sebuah rumah. Rupanya rumah merangkap studio foto Sang Fotografer.

Widy, Norma dan Medina mengawasi. Setelah memparkir sepeda di bangunan sebelahnya, sebuah warung makan dan menitipkan di sana ketiganya mengendap-ngendap dan mengintip di jendela.

Di rumah itu Syafri membawa Kinan ke dalam. Sang Fotografer bernama Kang Janur, sebetulnya fotografer di media tempatnya bekerja dan buka usaha foto.

"Mau dibingkai segede apa anak manis?" tanya Kang Janur.

"Sebesar lukisan,  Nanti gambarnya  buat pajangan di dinding kamar Teteh Widy dan Om Syafri!" celetuk Kinan tertawa renyah. "Biar kalian kalau jalan-jalan ajak Kinan juga!"

"Ampun!" ucap Syafri.

Widy ingin menahan tawa. Begitu juga Norma dan Medina.

"Bagaimana kalau nanti dia gadis?" bisik Medina.

Tiba-tiba mereka melihat beberapa  tamu lain. Hendry Jasmin dan Ningsih yang sedang hamil, serta seorang pemuda. Hendry dan Ningsih masuk, yang satu menunggu di luar. Wajahnya gelisah.

"Nah, kalian datang tepat waktu! Ada apa nih?" tanya Janur. "Bisnis minta foto berdua atau memberi informasi?"

"Kang Janur kenal sama dia?" tanya Syafri.

"Ya, dia suka kasih info soal kegiatan PKI di Kota Bandung. Anjeun banyak ketinggalan lah.."

"Dua-duanya," jawab Hendry. "Bisnis dulu nih, kami menikah Sabtu besok, keluarga Ningsih akhirnya setuju, keluarga aku hanya diwakili kakakku. Jadi Kang Janur fotografernya."

"Mudah-mudahan nggak ada kerjaan kantor."

"Lalu apa lagi?

"Wartawan ada yang bisa datang nggak meliput kegiatan Teddy Kadirman soal DPRDS Kota Bandung sekarang."

"Kapan?"

"Besok siang di dekat sini, rumah kader kami."

Lalu dia menoleh kepada Syafri. "Coba Uda masih jadi wartawan, pasti Ambo undang" Rupanya Hendri sedikit lebih  hormat walau mereka beda pandangan politik

"Kang Syafri itu progresif dan revolusioner.  Walau Kang Syafri  bukan orang partai kami. Kang Syafri ingin istrinya maju! Seperti  kasih Mas Hendri juga, aku dibiarkan sekolah perawat dan aku malah aktif di Gerwani."

Di studio yang ada di bagian depan rumah, ada tukang kebun melihat  beberapa orang laki-laki melihat ke dalam pagar.

"Kawan Hendri, kita bisa pergi sekarang?"

"Iyo!" jawab Hendri. "Kita ada pertemuan lagi! Bahas calon Wali Kota Bandung mendatang!"

"Desas-desus siapa?" tanya Janur.

"Priyatna Kusumah!" jawab Hendri. 

Syafri ikut keluar dan meminta Kinan di dalam. Bagaimana pun juga Hendri masih kawannya.  Tetapi begitu di luar seorang di antara laki-laki yang ada d luar pagar mengeluarkan pistol.

"Awas Hendri!"  dia mendorong Hendri dan sekaligus Ningsih tepat sebuah peluru menghantam pintu.  Seorang lagi membidik Hendri. Namun sekali lagi Syafri mendorongnya dan pelurunya nyaris di atas punggungnya.

Tetapi ketika dia mau membidik lagi, Widy muncul melempar sebuah kursi rusak yang ada di sana, tidak kena tetapi cukup membuat ketiga laki-laki itu kabur.

"Widy!" teriak Syafri.

Kinan keluar. Tadinya dia terkejut, tetapi ketika melihat Widy dia bersorak. "Teteh hebat!"

Norma dan Medina juga ikut melempar kayu ke arah mobil yang membawa ketiganya.

"Norma, Medina, kalian juga di sini!" Syafri teperanjat.

"Kejutan, kayak di Pulau Seribu Tiga Dara jadi penyelamat!"

 Hendri berdiri menepuk pundak Syafri juga Widy. "Kalian menyelamatkan hidup kami! Aku berhutang nyawa pada kalian!"

"Siapa mereka?" tanya Janur.

"Mungkin Orang Darul Islam!" sela pemuda itu. "Orang kita ada yang dibunuh di luar kota!"

"Iya, tetapi kalau mereka masuk Bandung mencari sasaran, nggak mungkin," ucap Syafri."Kecuali kalau kalian dari luar kota dan berurusan dengan mereka!"

"Yang diincar Ambo," ujar Hendri. "Kalau karena kami PKI, mengapa mereka tidak menembak Dudi? Mungkin masih urang kampung awak yang anti komunis."

"Mengincar wahang di Bandung?"

Hendri mengangguk.

Sore itu juga mereka melapor ke polisi. Letnan Herland bergegas membawa pasukannya karena Siliwangi masih bertanggungjawan atas keamanannya. Hendri diinterogasi habis-habisan, karena Syafri, Widy dan Kinan sekaligus terancam. 

Tetapi ketika Hendri memberi tahu bahwa kemungkinan dalangnya  Karel Lukman, mantan pejuang kemerdekaan, yang dendam pada Hendri yang membuat adiknya Yasril menjadi ikutan komunis dan kabur dari kampung bersama Hendri ke Jawa.

Herland merasa lega. Karena itu artinya yang diincar bukan Syafri yang sudah dianggap keluarganya.  Itu artinya Syafri, Widy dan Kinan ada di tempat yang salah.

Malam itu juga Syafri pulang bersama Kinan dan diikuti  Widy, Norma dan Medina dengan mobil Herlanda. Ketiga sepedanya diangkut pickup milik militer.

"Kalian menginap dulu di rumah Widy!" pinta Herland kepada Norma dan Medina.

"Baik," kata Norma dan Medina.

Sesampainya di Dago atas, Ayah dan Ibu Widy melotot pada Kinan. Tetapi  anak itu tidak takut malah senyum-senyum. "Seru Ambu!" kata Kinan.

Widy ingin menjewer, tetapi Kinan keburu lari ke kamarnya dan kemudian ke kamar mandi.  Ayah dan Ibu Widy menyediakan makan malam buat mereka yang menginap di sini. Kang herland dan rekannya juga diminta ikut malam sebelum kembali ke markas.

Malam itu Widy malah ikut tidur bersama Norma dan Medina. Syafri hanya geleng kepala.  Tetapi dia maklum, mereka masih muda.

"Pasti mereka tidak tidur!" gerutu Syafri.

Widy, Medina dan Norma asyik mengobrol membahas film tadi dan juga petualangan mereka.

"Kinan, jangan nguping teteh dan teman-temannya, kamu besok sekolah!" terdengar suara ibunya.

Mereka berhenti mengobrol sebentar.

"Yaah, adikmu itu Widy!" kata Medina tertawa.

"Ya, maksud ayah dan ibu meminta kami tinggal agar Kinan tidak jadi pendiam tercapai. Dia malah jadi bangor!" Widy pun tertawa. "Aku lebih bangor dari dia waktu seusianya."

"Ayo cerita!" seru Medina dan Norma serempak. (Bersambung)

Irvan Sjafari

Foto:

https://sikn.jabarprov.go.id/index.php/gedung-unpad-yang-berkolasi-di-belakang-gedung-sate-didirikan-tahun-1957 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun