"Anjeun mau jadi pembela perempuan atau meneliti budaya?" tanya Syafri sambil membantu Dinni naik ke samping Widy. Â
"Dua-duanya. Â Aku pernah mengobrol pelacur jalanan di Kota Bandung dan di Cianjur juga," sahut Widy.
"Apa yang bisa anjeun lakukan?"
"Belum tahu. Tetapi memang seperti Kang Syafri pernah bilang, perempuan juga harus mandiri secara ekonomi."
"Memang aku pernah ngomong begitu, tetapi iya, sih. Peremuan juga harus maju!" Syafri menghidupkan motor gandengnya.
Ciwidey, 1957 sekitar pukul 11.00
Mereka kemudian meluncur ke Ciwidey dari Gedung DPRD di dekat Gedung Sate. Dinni merasa lega dan tak henti memeluk Widy. "Terima kasih Teteh."
Sesampainya di kebun milik paman Syafri dan rekannya, mereka langsung mengangkut sayur mayur bahkan diajak makan siang dulu ayam goreng dengan nasi merah, serta sayur kangkung, tahu goreng dan susu hangat.Â
Dinni makan dengan lahap. Dia jarang menikmati makanan lezat seperti ini. Syafri menatapnya iba. Â Apalagi Widy kadang menyuapinya. Â Mereka juga disuguhi stroberi segar.
"Bawa sebagian stroberinya buat oleh-oleh," kata Kang Usman kepala kebun di sana.
"Hatur nuhun. Kinan pasti senang," kata Syafri.