Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis (Empat Belas)

31 Agustus 2024   09:10 Diperbarui: 31 Agustus 2024   09:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: jabar.tribunnews.com

Gedung DPRD Bandung, 16 Mei 1957

"Widy! Anjeun mau ke mana? Bukankah jadwal anjeun mengajar menari besok?" tanya Syafri yang bersiap mengendarai sepeda motor Rikuo Type 97 dengan tujuan Ciwidey  untuk ambil sayuran  dan buah-buahan milik perkebunan pamannya . Dia terperanjat melihat istrinya memakai rok panjang dan kemeja serba putih.

"Nggak aku mau bertemu Ibu Sutarsih Rahman yang bersama anggota parlemen lainnya mengajukan resolusi perkawinan. Aku ingin mengadukan bahwa di Cianjur ada anak masih usia SMP dijual bapaknya untuk bayar utang?"

"DPRD Provinsi Jawa Barat?  Anjeun baca Pikiran Rakjat hari ini ya, empat anggota parlemen perempuan mengajukan resolusi soal perkawinan?"

"Kebetulan. Aku jadi ingat tetanggaku waktu tinggal di Cianjur, namanya Dinni Kartika," ujar Widy. "Aku mau jemput dia dulu di temat kos kawanku Maria di dekat sini," ujar Widy.

"Astaga, kok nggak bilang, Widy suka bikin kejutan, sok aku antar," kata Syafri.

Widy bersorak.  Dia tahu Syafri pasti mengantar. Ibunya hanya menggeleng kepala, ketika melihat Widy masuk di kabin samping motor itu sambil memakai helm.

Syafri sebetulnya senang.  Sepulangnya Asrul dan Norma, aktivitas Widy hanya mengajar menari dan angklung di sekolahnya dulu dan di sanggar Yayasan Kebudayaan Naripan.  Dia tahu bahwa istri peka hal-hal yang terjadi di masyarakat.

"Dia juga nggak bilang Ibu, Syafri!"

Rikuo Type 97 itu langsung menuju tempat kos Maria Jasmine Sameh di kawasan Ganesha, tempatnya kuliah kini, jurusan Teknik Arsitektur.

Pas ketika berangkat kuliah, dia masih bersama seorang perempuan masih berusia tiga belas tahun. Buah dadanya masih belum mekar. Perempuan kurus berkepang itu mungil, mengenakan rok dan baju yang tampaknya diberikan Maria kepadanya. Namun wajahnya memang cantik, kulitnya putih. Dia mengenakan sepatunya yang agak lusuh.

"Dia baru tiba malam tadi, kabur dari rumahnya.  Untung tidak apa-apa di jalan, lompat dari truk ke truk.  Dia hanya tahu alamat Maria yang tak sengaja mencatatnya ketika main ke rumah bibiku," tutur Widy. "Subuh tadi, Maria telepon aku, Kang Syafri masih tidur."

"Nggak mau kawin sama laki-laki sepantar Abah untuk bayar utang!" teriak Dinni sambil memeluk Widy.

"Belum akad kan? Ayo ikut teteh," kata Widy.

"Belum," sahut Dinni.

Syafri geleng-geleng kepala. "Cari perkara saja. Kau bisa dituduh menculik. Itu juragan kan orang kaya, nanti keluargamu dipersulit?" kata Syafri.

Widy untuk pertama kali melotot. Tetapi kemudian tersenyum. "Aku nggak takut.  Memang masih ada bibiku di situ.  Nama juragan itu Anom Subarkah. Bukankah kakang melayani Ratumu?" katanya merayu.

Syafri tidak berkutik. Dia paham Widy sangat peka terhadap nasib perempuan kalau dianggapnya diperlakukan tidak adil.. Mereka kemudian gedung parlemen DPRD Jawa Barat.

Empat anggota DPRD Jawa Barat, Sutarsih Rachman, Tjahjati Setiasih, bersama H. Mansyur dan A.H. Sjaron baru saja mengajukan petisi kepada pemerintah pusat agar dibuat peraturan yang membatasi umur perempuan menikah paling rendah lima belas tahun.

"Untuk aku menikahi anjeun ketika berumur delapan belas tahun malah lebih sedikit," kata Syafri ketika ia masuk ke dalam gedung menemani Widy mengantar Dinni.

"Kan aku yang mau dan Kang Syafri pilihanku, laki-laki yang mau menghormati perempuan kok," ucap Widy.

"Kalau aku mah mau dijadikan istri ketiga oleh juragan," keluh Dinni.

Mereka mulanya bingung mencari orang yang tepat, tetapi yang mereka cari ada di belakang menyimak percakapan itu.

"Juragan itu tidak akan menunjukkan surat izin dari istri pertama dan keduanya kan?" ucap seorang ibu dari belakang.  Disusul seorang ibu lainnya juga memakai kebaya.  Mereka tampaknya habis rapat.  Ibu itu berbisik dengan temannya dan kemudian mengajak Syafri, Widy dan Dinni berbicara.

Syafri ingin pamit. Tetapi Sutarsih dan Tjahjati mendorong masuk ke sebuah ruangan. "Kamu laki-laki baik harus dengar dulu!"

Widy menatapnya dengan memperlihatkan giginya. "Ntar kami temenin deh ke Tjiwidey, Dinni sementara tinggal dulu sama kita, kan ada kamar kosong. Bapaknya segan sama bapakku kok. Aman nggak akan perkara."

Kalau Widy yang meminta begitu Syafri menurut.  Sutarsih dan Tjahjati mengacungkan jempol.  Akhirnya setelah berbicara banyak hal, mereka mau memberikan perlindungan kepada Dinni.

"Kami bantu cari orang di Cianjur yang bisa mengurus perkara ini. Utang Bapakmu kami sama anggota DPRD urunan," kata Sutarsih.

Syafri terkejut ketika Sutarsih angka perceraian di Kota Bandung pada triwulan pertama 1957.

"Anjeun lihat itu dari 2.360 pernikahan, 1.057 cerai!"

"Itu kan hampir separuhnya," sahut Syafri.

"Penyebab karena ekonomi hingga tidak mau dimadu bahkan karena perbedaan politik," kata Tjahjati.

"Dinni beruntung punya kenalan seperti Nak Widy yang bisa membuatnya tidak dipaksa menikah muda.  Di pelosok sana masih banyak yang tidak seberuntung itu. Untung belum akad nikah!"

Keduanya membantu mencarikan orang-orang partai di Cianjur yang membantu terutama dari PNI untuk memberikan perlindungan pada Dinni. Jadi dukungannya kuat dari ayah Widy, orang partai dan masalah utangnya teratasi.   Namun memang Dinni harus tinggal di Bandung dulu. Ayahnya Dinni hanya petani penggarap. Dia masih ada dua adiknya masih kecil-kecil.

"Dia bisa sekamar dengan Kinan.  Biasanya aku kan yang menemaninya, kalau tidak ada kamar kosong," kata Widy.

Setelah mengobrol sekitar sejam, Syafri mengajak keduanya bergegas. Hari ini sudah menunjukkan pukul sembilan. Takut terlalu siang ke Ciwidey.

Namun baru keluar gedung, mereka berpapasan dengan tiga orang pemuda. Satu di antaranya Hendri Jasmin mengenali Syafri. "He, wahang jangan suko dansa-dansa seperti kapitalis itu! Ambo danga wahang sama Belanda itu juga!" tegurnya."Urang urang sedang susah,  wahang dan teman-teman basanang-sanang.  Belanda tidak mau mengembalikan Irian Barat, wahang bakawan juo."

Syafri hanya tersenyum."Berteman apa salahnya Uda? Berdansa juga apo salahnya? Aku tetap Republik."

"Mudahan-mudahan begitu. Kapan kita mengobrol tentang partai ambo, PKI."

Syafri tidak menjawab, tetapi dia menghormati kawannya, lalu pamit.

"PKI? Di Cianjur dan di selatan mereka banyak musuhnya," kata Widy.

"Iyalah,  mereka juga lawannya santri di selatan Priangan. Aku dengar tentara juga benci dan PKI menyebabkan daerah asalku dan Minahasa berang."

Ketiganya sudah di areal parkir motor.

"Anjeun mau jadi pembela perempuan atau meneliti budaya?" tanya Syafri sambil membantu Dinni naik ke samping Widy.  

"Dua-duanya.  Aku pernah mengobrol pelacur jalanan di Kota Bandung dan di Cianjur juga," sahut Widy.

"Apa yang bisa anjeun lakukan?"

"Belum tahu. Tetapi memang seperti Kang Syafri pernah bilang, perempuan juga harus mandiri secara ekonomi."

"Memang aku pernah ngomong begitu, tetapi iya, sih. Peremuan juga harus maju!" Syafri menghidupkan motor gandengnya.

Ciwidey, 1957 sekitar pukul 11.00

Mereka kemudian meluncur ke Ciwidey dari Gedung DPRD di dekat Gedung Sate. Dinni merasa lega dan tak henti memeluk Widy. "Terima kasih Teteh."

Sesampainya di kebun milik paman Syafri dan rekannya, mereka langsung mengangkut sayur mayur bahkan diajak makan siang dulu ayam goreng dengan nasi merah, serta sayur kangkung, tahu goreng dan susu hangat. 

Dinni makan dengan lahap. Dia jarang menikmati makanan lezat seperti ini. Syafri menatapnya iba.  Apalagi Widy kadang menyuapinya.  Mereka juga disuguhi stroberi segar.

"Bawa sebagian stroberinya buat oleh-oleh," kata Kang Usman kepala kebun di sana.

"Hatur nuhun. Kinan pasti senang," kata Syafri.

"Makin perhatian sama adikku. Jangan semua keinginannya dituruti yaa?" timpal Widy. Lalu dia berpaling ke Kang Usman. "Satu keranjang kecil, hatur nuhun Kang!"

"Syok atuh, salam buat paman Kang Syafri, Pak Salim."

Setelah itu Syafri mengangkut hampir setengah ton sayur. Widy dan Dinni bersedia ikut memegang, karena bagian belakang penuh.

Mereka pun pulang ke Bandung.  Setelah mengantar sayur-sayuran barulah ketiganya pulang ke rumah orangtua Widy. Tentu saja bapak dan ibu Widy terperanjat melihat Dinni.  Namun perempuan itu dengan tangkas bercerita.  Mereka memang kenal Dinni ketika masih kecil, waktu masih tinggal di Cianjur. 

Kinan malah mengajak Dinni ke kamarnya untuk beristirahat.  Dia bisa meminjam baju Widy yang sudah tidak muat.

"Yuuk, kita jalan ketemuan geng kita," ajak Widy. "Mereka kumpul di tempat Hein."

"Aku hampir lupa, ini ulang tahun Utari. Dia ingin merayakan dengan dansa."

"Dansa!!! Ikut!!" teriak Kinan sambil menarik Dinni.

Syafri menyesal uccapan terlalu keras suaranya.

"Aduuh!" Widy menyeringai. Syafri pun mengiyakan.  Keempat segera mandi. Mereka  berempat  naik sepeda ke Cipaganti. Widy membonceng Dinni. Sementara Syafri membonceng Kinan.

"Syafri hati-hati, satu anak gila sudah cukup kau bawa, kini tambah  satu lagi!" teriak Ayah Widy tertawa.

Syafri tersenyum bangga. Dia sebetulnya tidak takut pada juragan itu sebagai mantan jurnalis.  Teman-temannya akan membela dia kalau sampai Widy berurusan.

 

Cipaganti, 16 Mei 1957, sekitar 16.00

Rumah Hein sudah ada Angga, Utari, Paramitha, Yoga, Rinitje menunggu. Yoga juga membawa adiknya yang laki-laki yang seumur Dinni. 

Mulanya Dinni canggung, namun Widy mengajarnya dengan sabar.  Dansa dibuka dengan lagu Be Bob A Lula, Widy dengan Syafri, Yoga dengan Paramitha, Angga dengan Utari, Hein dengan Rinitje, Dinni dengan adiknya Yoga. Kinan mulanya hanya menonton.

Kemudian diikuti lagu Tutti Frutti  dari Little Richard yang energik.  Kinan mulai gelisah dan kakinya mulai begerak.  Ketika lagu Eddy Cochran "Twenty Flight  Rock" baru melantun satu bait, Kinan mendorong Widy dan mengambil Syafri.

Syafri menurut, karena melihat Widy hanya tertawa.

Tentu saja ada lagu "Rock Around The Clock" yang merupakan favorit  geng Bandung Memang Hebat.  Tak kurang dua kali Kinan mencuri Syafri dari Widy.

Mereka berdansa  hingga berhenti azan maghrib. Setelah  yang muslim salat, keluarga Hein mengajak makan malam Sup Kacang Merah dengan es kacang merah.  Dinni makan dengan lahap.  Widy duduk di sebelahnya kadang berbisik agar tidak berlebihan. Namun teman-temannya mengisyaratkan membiarkan.

Pukul tujuh malam mereka pulang, Syafri membonceng Kinan, Widy membonceng Dinni ke dago atas. Namun karena khawatir Angga, Yoga, Paramitha dan adik Yoga membuntuti dengan mobil.  Crossboy masih berkeliaran di Bandung. (bersambung)

Irvan Sjafari

Foto: Radar Surya/ https://jabar.tribunnews.com/2015/04/11/bekas-gedung-dprd-dijadikan-galeri-proyek-pembangunan-kota-bandung#google_vignette

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun