Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis Bagian Ketujuh

27 Juni 2024   17:27 Diperbarui: 27 Juni 2024   17:28 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasirkaliki, Bandung, 18 Maret 1957

"Widy!  Syafrie! Bangun kalian tidak Salat Subuh!  Katanya juga mau berenang!"  Ibu Syafri mengetuk pintu.

Widy terbangun lebih dulu, ia membangunkan Syafri yang memeluknya dalam selimut. "Kang Syafri bangun!"

Syafri menggeliat."Sudah Subuh ya?"

"Terlalu asyik dansa...klasik. Jadi tidak terdengar..! Nggak seperti kemarin rock n roll.  Kamu teriaknya keras , hingga Kintan di kamar sebelah  pindah  ke kamar Ibu!" kata Widy dengan suara renyah. "Atau aku mau panggil Uda?"

Mereka kemudian berpakaian dan membawa handuk masing-masing. Ibu Syafri sudah menyediakannya.  Mereka mandi bergantian, salat subuh dan sarapan bersama.

"Apa ini lontong sayur nangka dengan dan daun...?" tanya Widy.

"Ah, itu daun pakis. Kami pakai kerupuk merah!"  Bapak Syafri dengan logat Minang kental menjelaskan. "Etek Salma memasak kusus untuk kalian.  Dia  baru datang kemarin malam, ketika kalian sudah tidur?"

"Etek Salma? Sudah lama tidak bertemu?"

"Iyoo!" Seorang perempuan setengah baya masuk membawakan beberapa gelas teh telur. "Ini untuk stamina," ucapnya.

"Susah transportasi kemari?"

"Susah Nak! Busnya telat tiba di Bandung  tengah malam."

Syafri menyantap lontong sayur. Widy malah lebih cepat karena dia baru merasakan hidangan ini. "Sambalnya enak, pedas. Kasih resepnya Etek."

Widy dengan cepat beradaptasi.

"Syafri bilang kamu bisa masak dendeng balado," kata Ibunya Syafri.

"Ibu Sunda?" tanya Widy.

"Ibu saya Sunda, Ayah Padang juga. Tetapi keluarga kami separuh Minang, separuh Sunda," ujar Sang Ibu.

Etek Salma kemudian ke sebuah kamar dan keluar membawa sehelai kain songket. "Ini dari Etek buat kamu."  Dia memberikannya ke Widy.

"Wah, mahal kan?" Widy terperanjat.

Dan "Ini dari Mamak Syafri yang tidak bisa datang," tambahnya mengeluarkan kantung untuk kalian berdua.

Syafri dan Widy membuka kantung, ada dua keping emas.

"Urang Minang suka menyimpan emasnya di bawah lemari dan tempat tidur.  Mamak Syafri sudah menjatahkan setiap keponakannya yang menikah mendapat masing-masing dua keping emas untuk dia dan untuk pasangannya."

"Berat Etek," kata Syafri.

"Masing-masing   dari kalian mendapat koin tujuh gram emas 24 karat," jelas Etek Salma.

Syafri dan Widy berpandangan.  Besar sekali bagi mereka.

"Untuk bekal kalian berumah tangga."

Mereka makan bersama. Tak lama kemudian muncul  seorang perempuan putri Etek Salma, usianya sebaya Widy. Dia duduk di samping Widy. Usia mereka sebaya.

"Aku Sakinah," katanya mengulurkan tangan pada Widy.

"Widy!"

Setelah ke kamar keduanya kemudian menyimpan kain songket. Syafri memberikan dua keping emas itu kepada Widy.

"Kok kamu kasih dua-duanya ke aku?" Widy heran.

"Kan dalam adat Minang untuk perempuan semua?"

"Tidak bisa begitu atuuh! Akang simpan satu, itu buat Akang. Biar Akang ada harta juga," ucap Widy tersenyum sambil mengembalikan satu keping emas. "Yang diberikan padaku sudah cukup. Ini keperluan Kang Syafri sendiri."

Setelah beristirahat sebentar, Syafri dan Widy pamit naik sepeda ke Kolam Renang Cihampelas.  Kedua masing-masing mengendarai sepeda. Anak-anak SMA Belitung teman-temannya patungan membelikan Widy  sepeda sebagai hadiah pernikahan agar bisa sama-sama berjuang sebagai suami-isteri.

Kini mereka bersepeda berdampingan dengan santai agar bisa mengobrol. Kebetulan jalan lagi sepi.

"Itu yang dikasih Etek Salma adalah songket silungkang. Buatnya dari benang emas. Berisiko membawa barang-barang itu di bus," kata Syafri. "Tapi Uda Daus, dari Aceh ikut mereka. Dia mengungsi ke kampung Bapak karena pemberontakan Daud Bereueh."

"Orang-orang Aceh itu bergabung dengan Kartosuwiryo, kang?"

"Iya, Orang Makassar dan Banjar juga. Ini pemberontakan besar, tetapi waktu di kampus, kami ragu motif bukan karena ideologis."

"Bukankah di sana Islam fanatik?"

"Di Minang juga, tetapi orang-orangnya tidak mau ikut.  Jawa Timur juga banyak pesantren tetapi juga tidak setuju."

"Akang setuju dengan negara Islam?"

"Nggak. Tidak mungkin untuk Republik ini.  Kalau cuma Aceh bisa!" katanya.   

"Oh, ya tadi Uda Daus, tidak muncul!"

"Mungkin keluar. Dia suka melayap.  Umurnya 15 tahun ikut  pelatihan tentara Jepang. Ketika perang dia ikut  geriliya di Sumatera Baratdan pernah dalam tahanan tentara Belanda.  Hidupnya keras, keluar masuk hutan mencari damar.  Hanya sekolah madrasah.  Dia di atas aku 2 atau 3 tahun. Aku hanya bertemu dia sewaktu kecil, badannya sudah besar."

Mereka tiba di Kolam Renang Cihampelas dan kemudian memarkir sepedanya lalu masuk ke ruang ganti masing-masing. Baru kemudian berenang.  Hanya mereka berdua orang dewasa yang lain anak-anak.

"Yuuk, kita bertanding!" tantang Widy.

Keduanya seimbang.  Terkadang Widy, terkadang Syafri menang.  Tetapi setelah berapa putaran Widy unggul. 

"Sudah aku menyerah! Kamu lebih sering berenang!"

"Sekali lagi ya? Ceritanya kamu bebek jantan kejar bebek betina!"

Syafri mampu dan Widy membantunya keluar dari kolam renang.  " Hampir tiga  jam  kita berenang. Kita bilas dulu lalu istirahat di rumah sebelum latihan angklung?"

"Di SMA Belitung?"

"Tidak di Yayasan Kebudayaan Indonesia, Jalan Naripan. Kami mau sedang latihan menggelar pertunjukkan!"

"Siap menemani Tuan Putri Widy!"

Keduanya kemudian pulang naik sepeda  ke rumah orangtua Syafri.  Setelah mandi lagi, mereka sudah disediakan makan siang  nasi ikan cuka dan sayur asam. 

"Wuuah jadi ngantuk," ucap Syafri.

"Aku juga," kata Widy.

"Ngopi dulu!" Ibu Syafri membuatkan kopi buat mereka setelah makan siang.

Yayasan Pusat  Kebudayaan di Naripan Sekitar Pukul 13.00

"Widy datang!!!" seru kawan-kawannya.

Syafri hanya tahu Maria dan Putri.  Tetapi kali ini ia dikenalkan dengan Hanafiah Martasasmita,  Siswanti Wulandari, Kamaratih, Adam Prasetya,  Lie Yen Yen, Taufik Kartawiria.  Bahkan dia baru nama lengkap Maria adalah Maria Jasmine Sameh, keturunan Arab dan Putri Nur Narita, nama lengkapnya.

Pelatih angklung mereka Mang Ali pernah berguru dengan Mang Koko menyalami Syafri.

"Sok atuh duduk di sana!" katanya ramah.

Anak-anak SMA Belitung, adik-adik kelas mereka  baru pulang sekolah ikut berlatih menjadi tim kedua selain alumni. Kintan juga hadir melihat kakaknya bahkan dia yang memberikan Syafri minum dan kue-kue.

"Aku boleh duduk sebelah dia Teteh!" teriak Kintan dengan genit.

Widy." Sok atuuh! Awas kamu godain anak kecil!"

Mereka memainkan lagu-lagu Mang Koko dengan piawai.

Syafri sangat mengapresiasi ketika tim Widy tampil, kadang bertepuk tangan sambil aplaus.

"Kang Syafri bertepuk tangan untuk kita atau Widy!!" seru  Maria menggoda.

Syafri sadar cuma dia sendiri yang menonton bertepuk tangan.   

Dia terkejut ternyata mantan rekan sekantornya Jaka Gumelar sudah duduk di sebelahnya. Dia hanya memberikan sehelai kertas di tangan Syafri.  Kemudian dia pamit. Syafri membacanya. Ada sebuah namanya Yuk Su, Toko Beras Mulia, Cikampek.

Kemudian dia berlalu.

Widy cemberut melihat wajah Jaka begitu serius. Ketika melihat Syafri membacanya juga serius. Dia paham Syafri tidak ingin meninggalkan dunia wartawan sepenuhnya.  Namun Syafri terus menyaksikan latihan angklung.

Kintan yang mulai bosan. "Teteh, boleh pinjam Kang Syafri nggak!" dia menarik tangannya. "Dekat-dekat sini saja. Aku mau ajak dia keliling!"

Widy mengangguk. "Jagain adik aku ya kang Syafri... !"

"Beres Paduka Ratu, Titah Hamba laksanakan!" Syafri membungkuk seperti punggawa istana.

"Syok atuuh! Laksanakan perintah Ratu yaa!!"

Kintan dengan cepat mengajak Syafri  dan membonceng sepedanya  berjalan-jalan di Braga.

"Dia tidak punya kakak laki-laki yang dekat," kata Widy pada Putri. "Kang Herland jauh sekali umurnya. Lagian mana sempat!"

"Nggak apa-apa kan? Anak kecil ini,"

"Nggak apa-apa sih.  Tetapi Kintan  itu baong pisan. Tiap laki-laki yang main ke rumahku  digodain, kemudian diajaknya jalan untuk traktir dia. Suka azas manfaat, bisa telat nanti nonton di Elita."

Putri dan teman-temannya tertawa.

Sementara itu Syafri mengira Kintan hanya mengajak ke Braga,   namun ternyata lebih jauh ke Taman Sari. Lalu ketika hendak kembali ke Braga melalui Dipati Ukur, Syafri melihat bangunan Universitas Padjadjaran.

"Ke Wastu Kencana yuuk belikan Kintan bunga, sekalian buat Teteh!" Kintan tertawa renyah.

"Ialah," Syafri senang bisa membuat iparnya menjadi riang. Dia melarikan sepedanya ke Wastukencana. 

Ketika Kintan sedang memilih bunga, Syafri mengawasi.  Dia tidak menyadari beberapa pemuda mendatanginya.

"Ini dia kawannya sih Yoga!"

Mereka crossboy yang berkelahi dengan dia di Dago Atas. Syafri terkejut. Tetapi dia tenang. "Belum kapok dibawa ke Jalan Aceh?"

"Kami ingin tahu apa kamu sejagoan itu membela perempuan itu!"

Syafri khawatir. Kintan melihatnya.

Namun sebelum salah seorang dari crossboy itu menyentuh sebuah sepeda dengan kencang menubruk crossboy itu hingga terjengkang.

Seorang pemuda berbadan besar turun dari sepeda. "Ayo lawan Aku!" dengan logat Aceh. "Main senjata tajam boleh, aku punya rencong!  Di Sumatera tentara Belanda ada yang aku matiin dengan rencong ini !" teriaknya.

"Uda Daus!"

"Maju bersama-sama boleh. Biar aku bikin remuk satu demi satu!"

Lalu dia menoleh ke Syafri. "Wahang paii dari siko!" Perintahnya.

Laki-laki itu mengenalinya.  Syafri sempat melihat dia membanting seorang crossboy dengan kencang hingga bergulingan. Celananya sobek bergesekan dengan pasir kerikil dan sikutnya lecet-lecet.  Yang lain lari terbirit-birit ketika crossboy kedua dipatahkan jari tangannya. Dia tahu saudaranya yang satu ini biasa dengan kekerasan dan hobinya berkelahi sejak kecil.  

Dia belajar Judoka sekaligus silat Minang. Kintan berteriak ngeri ketika crossboy itu menjerit kesakitan begitu juga orang-orang di sana.  Namun Daus sempat meraih crossboy ketiga dan menghajarnya  di muka hingga hidungnya berdarah, sebelum lari dengan sepeda mereka.

Syafri kemudian membawa Kintan pergi secepatnya setelah membayar beberapa ikat bunga mawar dan anggrek.

"Jangan cerita ke Teteh ya?" bisik Syafri.

Kintan mengangguk.  Dia menyesal.  Dia belum pernah melihat jalanan yang keras.

Syafri dan Kintan kembali ke Gedung Pusat Kebudayaan seolah tidak terjadi apa-apa.  Widy yang tadi cemberut jadi ceriah ketika Syafri memberikan berapa kuntum mawar. Lalu dia menunjuk adiknya. "Kamu itu..!!"

Sekitar  kemudian Herland datang menjemput Kintan. Dia kali ini memakai sepeda motor dan melihat Syafri. "yang di kantor Polisi Cicendo itu saudaramu ya? Dia ditangkap bersama lima orang crossboy dan kelima-limanya babak belur." Rupanya sama Daus dikejar kelompok itu.

Syafri mengangguk. "Harusnya aku yang babak belur. Namanya Firdaus Syam, mantan gerilyawan di Sumatera bukan tentara. Rada sadis."

Herland mengangguk. "Aku yang beresin. Dia memincingkan matanya kepada Syafri, saudaramu bebas kok. Itu crossboy kena batunya."Tadinya saya yang ingin membuat mereka seperti, tetapi tidak sesadis saudaramu!"

"Jangan kasih tahu Widy ya?"

"Tentu tidak. Bisa dimarahi  habis  adiknya."

Kemudian Syafri duduk di samping Widy. "Jadi kita nonton di Elita?"

Widy mengangguk. "Kamu dan Kintan nggak apa-apa? Jangan ada disembunyikan. Aku tahu Akang melindungi dia. Adikku bangor pisan. Kalau main suka kelamaan!"

Mereka nonton film habis Asar dan pulang sesudah maghrib ke  Pasirkaliki. "Mengapa tidak ke Dago Atas?"

"Besok pagi ke Cikampek. Kalau dari Dago Atas jauh..!" Syafri sebetulnya ingin Widy tidak mengorek Kintan.

Namun sewaktu makan malam, Ibu Syafri dan Etek Salma cerita bahwa Uda Daus ditangkap. Syafri mulai khawatir.  Letnan Herland  juga datang ke rumah bersama Kinan yang menangis bahwa Uda  Daus ditahan karena membela mereka. Itu salah dia mengajak Syafri berkeliaran dan usil di jalan. Rupanya dia dimarahi habis oleh ayah dan ibunya.

Widy melirik Syafri karena seharusnya dia cerita. Tetapi dia memaklumi, Syafri ingin melindungi Kinan.  Dia malah menghampiri Kinan. "Kamu sekolah saja yang benar!"

Lalu dia menghampiri Syafri. "Ayo ke kantor polisi Cicendo bersama Kang Herlandn. Kinan, kamu juga ikut! Beri kesaksian, agar Uda Daus bebas!"

 

Kantor Polisi Cicendo  sekitar pukul 21.00

Delapan crossboy itu pucat pasi ketika Letnan Herland datang bersama Syafri, Kinan dan Widy.  Angga, Hein dan Yoga datang mereka semua menjelaskan.  Akhirnya Daus dibebaskan dengan wajib lapor.

Herland kemudian menghampiri crossboy yang jemari kesakitan. "Harusnya kamu keroyok saya berudak. Saya itu iri sama dia, pasti seru waktu di Dago atas. Kok di Barak kalian semua jadi pendiam!"

Crossboy menunduk.  Yoga cerita soal perilaku para crossboy yang pernah menganggu dia dan Utari, serta menyerang dia dan teman-temannya ketika berada di Jalan Riau pada tahun baru lalu.

Mereka hanya bisa menunduk.  Polisi yang memeriksa mencatat semua keterangan. "Kalian itu bukan kenakalan lagi tapi kriminal, tetapi Bung juga tidak boleh bertindak di luar hukum!" katanya pada Daus.

Seorang tentara memasuki ruang pemeriksaan dengan wajah merah padam. Pangkatnya sersan, ketika bertemu Letnan Herland dia memberi hormat. Namanya di dada Dadan Supriatna.

"Loh kenapa kamu di sini?" tanya Herland. "Tadi kan kamu dihukum karena tidak membawa kopel?"

"Maaf Dan. Kopel saya dibawa anak itu," kata Sersan Dadan berang, memandang salah seoran crossboy yang belum terluka.

Lalu seorang polisi menunjukkan kopel di tempat barang bukti. Ini disita dari tempat perkelahian. Tentara itu pasrah. Artinya dia dapat hukuman penundaan kenaikan pangkat karena lalai.  Itu ancaman komandannya bila besok tidak bisa membawa kpoel. 

Sersan itu marah sekali. Dia menarik baju anak itu untuk berdiri lalu ditamparnya dua kali.  Crossboy itu menangis. Kemudian duduk lagi.

"Gara-gara kamu kenaikan pangkat Bapak ditunda!"

"Ampun Bapak!"

Tetapi dia malah ditampar sekali lagi.

"Urus saja dirimu sendiri! Adik-adik kamu banyak tahu! Kamu tidak sekolah ya selama ini?  Tadi Ibumu juga marah-marah, gurunya melaporkan!"

Setelah hormat kembali pada Herland dan polisi. Lalu dia pergi.

Widy kemudian bertanya pada salah seorang crossboy. "Mengapa kamu benci sama aku?"

"Kamu pacarnya Hardja kan? Dia pernah menghajar aku karena menyerempet otonya dengan sepeda motor hingga kaca spionnya pecah. Waktu itu kamu ada di sana, di Hotel Grand Preanger malam hari."

Widy terkejut. "Oh, Iya? Tetapi aku sudah menikah dengan dia.  Aku sudah lama putus dengan Hardja! Jangan ganggu aku lagi, apalagi suamiku!"

Herland memandang Widy.  Dia berbisik. "Grand Preanger? Waktu itu kamu pulang pagi? Ibumu menelpon aku? Laki-laki itu berbuat apa padamu? Kamu kok nggak cerita!"

"Sudahlah! Kang Syafri juga tahu dan sudah menerimanya." Widy mulai menitik air mata.

"Sudahlah Ratuku!" ucap Syafri.

Herland memandang Syafri. "Kapan-kapan kalian cerita ya? Kalau soal kehormatan, tidak boleh dibiarkan!"

Angga juga melihat Widy dan Syafri. "Kok kalian tidak cerita!"

"Sudahlah, Widy sudah jadi istriku. Apa pun hanya terjadi, dia tetap istriku sampai nafas terakhir!"

Pemeriksaan selesai menjelang tengah malam.  Rencananya Herland mengantarkan Widy, Syafri dan Daus ke Pasir Kaliki lalu Kintan ke rumah orangtua Widy.

"Hardja menodaimu?" tanya Herland dalam perjalanan.  Dia melihat Kintan sudah tertidur. Jadi aman menanyakan hal itu.

Widy tidak menjawab. Dia hanya menyembunyikan kepalanya di badan Syafri.

Daus hanya menepuk pundaknya. "Ya, sudah wahang jaga dia saja!"

Syafri mengangguk terlihat di kaca spion dan Syafri memandang ke arah kaca spion. Herland tahu itu konfirmasi dugaannya.  

Namun ketika turun dari mobil jipnya. Widy berbisik pada Herland. "Hardja memang bajingan, tetapi sudahlah. Aku nggak mau memperpanjang masalah."

Herland diam saja  Tetapi Widy tahu, dia tidak menerima sepupunya dicampakan begitu saja.  Dia melihat mata Herland kecewa.

"Aku pikir kalian putus baik-baik. Aku yang mengenalkan kamu ke Hardja."

Widy tak menjawab. Dia turun dari mobil.  Syafri membawanya ke dalam rumah, diikuti Daus. Lalu Herland pergi. Sementara Kinan tertidur di jok belakang.

 

Irvan Sjafari

 

 

Foto: https://sikn.jabarprov.go.id/index.php/gedung-pusat-kebudayaan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun