Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis Bagian Keenam

25 Juni 2024   00:07 Diperbarui: 25 Juni 2024   00:09 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gua Belana-Foto: Irvan Sjafari 

Taman Hutan Raya, Bandung, 1 Agustus 2014

Dalam hutan kota tersisa.

Aku ingin senyap dalam lembab habis hujan, larut dalam embun dan humus

Menikmati teriakan monyet ekor panjang berlompatan di antara pohon

Menikmati pita morbius putaran berikutnya


Aku check out pagi-pagi dari hostel. Sudah bisa dipastikan tidak jadi wawancara Annisa Indah. Pukul 8 pagi tiba di gerbang Dago Pakar dan mulai perjalanan hiking hingga tiba di jembatan perbatasan menuju Maribaya  pukul 9.20.  Tetapi aku memutuskan tidak menemus Maribaya, melainkan turun kembali setelah singgah di saung makan nasi merah timbel dengan dadar dan ikan peda.  Makanan enak untuk mengisi energi sebelum turun jalan kaki.

Pada perjalanan naik dan turun aku melihat longsor menutupi jalan setapak dan ada jalan amblas. Untung kejadian ini ketika tidak orang lewat.

Waktu turun, bersama tiga cewek muda mengaku alumni SMK 22 Kebayoran, Jakarta. Rata-rata kelahiran 1995 atau 1996.   Mereka mengeluh habis "dikerjain" waktu lewat Goa Belanda, bukan saja harus bayar lampu senter Rp5.000 tetapi juga pemandu Rp25.000. Rupanya para guide dadakan ini mengira semua orang Jakarta itu orang kaya. "Kami seperti dipaksa," katanya.

Ketiga cewek itu nekat berangkat jam 12 malam dan tiba di Bandung pukul 3 pagi. Jadi mereka belum tidur dan bertekad tidak menginap.  Kuat sekali fisik mereka bahkan mereka malam nanti malam nanti mau ke Bukit Moko.  Lah, setelah itu kan harus tidur? Masa langsung pulang?

Kami mengobrol soal backpacker. Salah seorang di antaranya bernama Rika cerita enaknya jadi backpacker di perjalanan selalu dapat teman baru. Tidak harus tukar-menukar nomor ponsel. Bahkan kalau yang naik gunung saling tolong menolong.

Itulah backpacker.  Ya, mereka langsung pulang. Hitung-hitungannya 24 jam tidak tidur. Mungkinn anti terlelap di travel.

Saya memilih Salat Jumat di Masjid Salman ITB.  Sebetulnya nostalgia. Waktu kecil ketika ke Bandung diajak salat Jumat pamanku staf pengajar ITB salat Jumat di sini.

Kemudian aku makan lontong kari di kaki lima kawasan Ganesha. Seorang pria setengah baya dduduk di sampingku. Ia berpakaian gamis.  Rambutnya sudah putih.  Rasanya dia tadi duduk di sampingku.

"Assalamulaikum. Antum tadi dari Taman Hutan Raya?"

"Walaikumsalam.  Kok tahu? Abang tadi ikut hiking?"

"Tidak. Tadi aku sama "R" duduk di Taman Junghunh melihat antum berjalan. Dia sudah cerita tentang antum. Bahkan waktu di McDonald, aku sama dia tapi "R" bilang ingin bicara sama kamu."

"Abang kakaknya?"

"Tidak. Pamannya.  Saya melihat antum masih orang baik."

Aku tertawa dan menebak arah pembicaraannya. "Di sisi itu, iya. Aku tidak mau macam-macam, meskipun godaan besar, kalau itu yang Abang maksud? Apalagi aku suka naik gunung.  Senior aku bilang syarat selamat di gunung itu tidak merokok, tidak minum dan tidak main perempuan."

Kini dia yang tertawa. "Perspektif antum beda dengan kami. Tetapi aku bisa menerima. "R" juga.  Kamu menentang perusakan di Kawasan Bandung Raya. Kami juga resah dengan ekspansi pariwisata."

"Bukankah menjaga lingkungan hidup didukung semua agama. Semua sepakat, iya. "

"Wartawan banyak yang nakal. Mengapa antum tidak?"

Dia menginterogasi aku. "Iya, seperti tadi. Okelah, tidak usah menurut moral. Tetapi  aku percaya kalau menjaga diri dengan baik maka alam pun akan menjaga dengan baik. Ya, soal wartawan yang nakal. Aku pernah di Sulawesi sekamar dengan seorang wartawan sebuah acara.  Dia butuh hiburan membawa perempuan dan aku diminta ikut pesta  atau keluar kamar."

"Antum pilih keluar kamar dan menunggu pesta selesai. Baru masuk lagi.  Karena antum takut nanti di perjalanan akan celaka."

"Hanya dua jam tidur.  Pada malam berikutnya dia tidak mau satu kamar dengan aku karena dianggap tidak fleksibel. Yang aku kesal sebelum pesta dia telepon istrinya bahwa dia bermalam bersama kawan wartawan. Bahkan berkata Sayang."

Pria itu terdiam. "Antum tidak akan melakukan itu kalau sudah menikah?"    

"Selingkuh? Untuk apa?  Asalkan perempuannya pilihan aku dan keputusanku bukan karena pertimbangan ketentuan masyarakat harus begini-begitu.  Bukan karena dijodoh-jodohin.  Jujur, aku memang lebih suka yang jauh lebih muda walaupun sulit dapat, tetapi tidak ada alasan untuk selingkuh. Bagiku kalau sudah dapat yang cantik, pilihan sendiri,  lebih muda, tetapi masih selingkuh juga itu serakah.  Sama dengan orang yang merusak hutan di Kawasan Bandung Raya karena serakah."

"Menarik juga antum. Lalu bagaimana apa mengalami kecelakaan waktu perjalanan ke Sulawesi."

"Waktu dari Toraja ke Makassar,  kaca mobil yang aku tumpangi pecah karena kerikil yang terhempas  seperti ditembak hingga harus dilepas. Akibat kaca bagian belakang juga pecah.  Tetapi tiga orang yang di dalam mobil termasuk aku tidak cidera sama sekali padahal sebagian kacanya berhamburan ke dalam kabin.

"Allah melindungimu antum! "R" ingin tahu kamu lebih banyak.  Assalamulaikum!"

Dia meninggalkan aku, dia menyantap batagor makan lebih cepat. 

Setelah itu kembali ke hostel karena barang aku titipin di situ sebelum ke Cihampelas ke Pool X-Trans.  Ke Bintaro Full booking, akhirnya naik bus cadangan 29 sheet. 

Apakah saya kecewa? Tidak justru menyenangkan. Kawan seperjalananku seorang anak muda tertawa-tawa. Bagi dia tidak apa asalkan pegang smartphone yang baterainya penuh, bisa main facebook, bisa chatting, browsing dan perjalanan tidak akan membosankan mendengarkan lagu dari headset.

Kami tiba di Pondok Indah, sekitar pukul 20.30. 

Dia mengajak aku naik taksi ke Fatmawati. Backpacker cewek tadi benar: Di perjalanan selalu dapat kawan baru.  Seperti anak gunung yang saling tolong menolong di jalan.

 

Dago Atas, Bandung, 16 Maret 1957

 

Syafri merasa lega. Dia berhasil melewati Ijab Kabul di Ruang Tamu Rumah Widy. Dia menyerahkan 10 gram emas hasil tabungannya sebagai mas kawin dan belinya baru kemarin di Pasar Baru dengan kawalan ketat dari  Zainal dan Herland takut dirampok. Tabungannya habis sama sekali untuk mempersunting Mojang pujaannya.

Geng Bandung Memang Hebat hadir semua termasuk Mitha anggota baru. Sebagian keluarga Syafri dan keluarga Widy dan tentunya rekan-rekan Widy.  Acaranya dihadiri orang terbatas.   Atasan Syafri, Agung Iskandar dan Jaka Gumelar ikut hadir. Tetapi Syafri lebih memilih Zainal jadi saksinya dan Widy memilih Herland.  Klop! Pantas mereka mengawal dia dan memastikan agar semua berjalan lancar.    

Geng Bandung Memang Hebat bertepuk tangan. Mereka yang paling seru di acara itu.  

"Akhirnya ada yang jadian!" seru Hein.

"Jadi kita kapan nih?" Rinitje mencubitnya.

"Iya, nantilah.."

Mereka makan siang bersama.  Hidangannya campuran Minang-Sunda Plus Manado dan Belanda. Kok bisa? Ya,bisa Hein dan Rinitje  menyumbang makanan.

Mereka yang muslim salat berjamaah bersama di musala dekat rumah Widy. Namun rupanya itu permintaan Widy.

"Aku masih punya satu permintaan untuk Kang Syafri. Kan Kang Syafri pemuja Sukarno.  Kalau yang  Kang Syafri ucapkan di Sasak Bereum itu kan seperti proklamasi? Deklarasinya ini dong seperti Pembukaan Undang-undang Dasar 1945."

Widy menyodorkan Quran dengan halaman surat Arrahman.  "Kita baca bersama."

Syafri terperanjat tetapi dia menurut.  Keduanya membaca saling sambung-menyambung.  Hadirin juga terperanjat. Tetapi mereka mendengarkan. Syafri agak gugup awalnya, tetapi Widy lancar. Baru pada pertengahan lancar.

"Apa maksudnya?" bisik Yoga pada Angga.

"Widy ingin Syafri tidak berdusta atas ucapannya.  Bukankah kalimat tidak berdusta itu sering disebut?"  Seorang kerabat Syafri ada di sampingnya menjawab. Dia guru agama di Padang.

"Lebih kuat dari sumpah di alam?"

"Cobalah Wahang melakukannya lalu melanggar," kerabat itu tersenyum. "Itu urusan dunia dan akherat."

Setelah itu Widy menarik tangan Syafri kembali ke rumah. Dia melambaikan tangan ke arah kawan-kawannya.

"Kalian tidak kumpul dulu sama kita-kita," kata Yoga.

"Nggak. Aku sudah janji berdansa dengan Kang Syafri di kamar aku!

"Maksudnya apa?" tanya Yoga.

"Ya, itu acara mereka," kata Utari tertawa.

"Widy pulang dia mengajak Syafri berdansa di kamarnya setelah akad," kata Maria.

"Berdansa?" tanya Yoga. "Kenapa nggak sama kita-kita? Rock n roll atau klasik. Tinggal bilang sama Hein!"

Angga dan Hein tidak bisa menahan tawanya. "Iya, nggak begitu kawan. Bisa dua-duanya dan tempatnya juga bukan di lantai saja. Perlu diperjelas!" Angga tertawa geli.

"Ya, sudah kita pulang. Jangan ganggu acara mereka. Kita berdansa di rumahku."

"Ikut!!" teriak Maria dan Putri.

"Syok atuh!" kata Angga.

 

Dago Atas, 17 Maret 1957

"Kang! Mandi sana!" Sudah itu kita salat subuh bersama." Widy membangunkan Angga dari tidurnya.

Syafri segera bangun.  Istrinya sudah selesai mandi dan menunggu dengan mekenahnya.  Dia keluar kamar menuju kamar mandi. Kemudian kembali ke kamar. Setelah berpakaian dia jadi imam Widy.

"Sekarang apa acaranya? Ke hutan dekat sini? Deklarasi sudah, dansa yang seru juga sudah. Jalan berdua pagi ini Yuuk!"

Widy mengangguk.  "Ya, sudah sarapan dulu. Ibu sudah menyiapkan sarapan."

Mereka mendengarkan siaran radio tentang kabinet Ali  Sastroamidjojo jatuh.

"Kabinet jatuh lagi? Siapa yang menggantikannya?" tanya Widy.

"Kemarin Kang Jaka bilang, kabarnya Djuanda naik jadi Perdana Menteri!"

"Masih mau jadi wartawan? Bukannya sudah mengundurkan diri? Fokus kerja di paman Akang?"

"Jumat hari terakhir. Aku banyak dapat uang dari kawan-kawan sekantor. Tetapi masih utang satu liputan. Kita sudah bicarakan?"

Widy mengangguk. "Aku ikut kan? Kita kan sudah janji sama-sama menanggung?"

"Iya, Mojang Geulis!" Syafri membungkuk.

Mereka pamit kepada  Ayah dan Ibu Widy.  Sama-sama mengenakan celana dengan bahan sama dipakai tentara dengan kemeja dan kaos dalam, serta mengenakan topi.

"Pulang sebelum siang ya?"

"Iya, kami mau hiking ke Maribaya, lalu turun lagi."

Keduanya bergerak cepat. Ayah dan Ibu Widy memandang dengan khawatir. Tetapi Herland sudah di samping mereka. "Tenang sudah diamankan.  Dua anak buahku sudah dalam hutan  di tempat tersembunyi. Memangnya aku tidak tahu rencana mereka?"

Herland memperlihat rencana. Kertas yang ditulis tangan oleh Syafri dan Widy.

 

Sabtu, 16 Maret

Akad, Makan-makan,  dansa, dansa dan "dansa".  Keluar hanya Salat Asar, Salat Mahgrib dan Salat Isya.

Minggu, 17 Maret 

Jelajah hutan dampai Maribaya, turun lagi.

Sore sepedaan ke  Alun-alun. Mampir ke Pasir Kliki menginap di sana.

Senin 18 Maret 

Ikut Widy berenang di Cihampelas. Makan siang di Cihampelas.  Ke Belitung main angklung. Sore nonton di Elita.Filmnya terserah Widy.

Selasa 19 Maret 

Acara Syafri. Widy ikut ke Cikampek.  Tugas terakhir yang masih utang.  

Rabu 20 Maret

Acaranya ditentukan Widy.

Kamis 21- Sabtu  23 Maret

Ke Jakarta. Ke Tempat Saudara Syafri, Binaria, Lapangan Banteng, Kebayoran

"Mereka rapi sekali buat rencana," gumam Bapak Widy.

"Yang, saya mau cari tahu apa tugas terakhir itu? Firasatku buruk sekali. Kemungkinan melacak spekulan beras. Kalau di Jawa Barat apalagi kalau bukan itu? Jelas Syafri tidak mau membawa Widy kalau urusan dengan gerombolan."

"Aman kah Herland?" tanya Ibu Widy.

"Itu yang tidak tahu. Siapa yang terlibat."

Hutan Dago 8.00

Syafri dan Widy dengan saling susul menyusul memasuki hutan. Mereka sudah memasuki gua Belanda.   Mereka disambut monyet berekor panjang dan suara burung-burung.

"Mengapa laki-laki Minang memilih perempuan Sunda sebagai istrinya atau Jawa? Apa karena merantau dan sekolah di sini?" tanya Widy.

"Itu satu Widy. Tetapi aku curiga ada alasan lain. Kalau dalam adat ayahku, laki-laki itu ikut perempuan dan dia tidak bisa mendapatkan harta. Semua milik perempuan. Jadi kalau mereka bercerai, ya rumah milik istri."

"Kekuasaan perempuan besar?" tanya Widy. "Aku mau jadi perempuan Minang?"

"Tetapi poligami akan merusaknya. Di sana masih ada yang ingin beristri banyak."

"Kan enak? Mengapa Kang Syafri tidak memilih perempuan sana."

"Tidak semua mau Widy. Hanya kalau laki-lakinya pulang kampung, perempuan sebaiknya ikut."

"Mengapa?"

"Nanti mereka bisa dijodohin oleh kerabatnya."

"Kalau kamu pulang kampung, aku ikut."

"Ialah. Aku hanya kataji pada Widy. Sudahlah...aku cuma mau sama kamu," kata Syafri.

"Iya, kamu sudah janji.."

Setegah jam kemudian mereka semakin menanjak.  Seekor rusa melintas mereka dengan santainya.

"Masih ada macan tutul di sini?" tanya Syafri.

"Nggaklah," kata Widy. "Lagi pula mereka takut pada manusia."

"Yang berbahaya justru manusia, spesies yang paling berbahaya di muka Bumi."

"Nah!"

 Mereka tidak menyadari dua orang bersenjata berpakaian hitam mengamati. Seorang mengelurkan pistol. Seorang lagi mengeluarkan golok.  Tetapi baru saja melangkah ingin mendekat, mereka merasa ada benda dingin di leher.

"Jangan berisik. Ikut kami!"

Keduanya menurut.  Senjata mereka golok dan pistol diambil.

Beberapa tentara sudah menggiring mereka.

"Kami sudah mengikuti dari bawah."

"Bawa ke pos. Aku masih mengawasi mereka."

Syafri dan Widy terus berjalan.  Berapa monyet mengawasi ketika mereka makan.

"Jangan dikasih nanti kebiasaan!" kata Widy.

"Siap Nona petualang!"

"Nona? Aku sudah jadi Nyonyamu. Masa lupa? Ingin aku ajak berdansa lagi?"

"Sebentar lagi curug, kalau ada warung kita makan."

"Iya..lupa bawa bekal. Hanya roti pemberian Hein kemarin."

Mereka singgah di warung untuk makan nasi merah dan goreng asin.  Ibu tukang warung dengan ramah melayani. 

"Sepi Bu?" tanya Syafri.

"Hanya petugas hutan dan orang seperti kalian," kata ibu itu.

Dia ingin memberitahu bahwa ada tentara di belakang dapur. Tetapi tentara itu memberi isyarat untuk tidak diberi tahu. Tentara itu ikut makan. Seorang laki-laki berpakaian hitam-hitam diikat dan mulutnya disumpal. Wajahnya memar.

"Kalau kamu mau makan nanti di markas," bisiknya.

Mereka melanjutkan perjalanan hingga ke curug.  Airnya begitu jernih bahka  Syafri dan Widy mengisi tempat minum mereka dengan air sungai.

"Aku harap masa mendatang sungai ini masih bersih," kata Syafri.

"Amin!" sahut Widy.

Sekitar pukul 10 mereka tiba di permandian air hangat Maribaya.  Keduanya beredam bersama dengan pakaian renang.  Sekitar satu jam.Keduanya keluar.  

"Baru merasakan pemandian air panas? Ada lagi yang lebih panas?"

Tetapi baru keluar Herland dan beberapa tentara sudah menunggu dengan sepeda motor.

"Kalian pulang!" Perintah Herland. "Ikut mereka naik motor!"

"Ada apa Kang?"

"Gerombolan menyerang petugas hutan. Mereka membunuh rusa untuk makan."

Syafri dan Widy tanpa bertanya lagi ikut membonceng sepeda motor yang dikendarai tentara. Di belakang mereka Letnan Herlanda dan berapa tentara naik motor.

Betul juga, ketika turun ada yang menembaki mereka.  Tetapi tentara segera membalas.  Herland meminta motor yang dikendarai Syafri dan Widy berhenti dan keduanya merunduk.

"Tanpa jadi wartawan pun bahaya mencarimu!" celetuk Widy."Mencari aku juga!"

Sekitar lima belas menit tembak menembak. Gerombolan mengundurkan diri.

"Sudah kalian di rumah dulu!" kata Herland.

Syafri dan Widy menurut.

"Acara sore tetap sesuai agenda," bisik Syafri.

"Kalau itu terus saja!" kata Herland tertawa.

"Ya, sepupumu tahu," kata Syafri.

"Aku yang kasih kertas itu pada dia. Salinannya pada sepupumu yang tentara itu juga."

"Untung juga." (Bersambung)

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun