"Anjeun, tahu aku di sini?" Â tanyaku.
"R" tidak menanggapi, dia tetap menyantap makanan. Â Tak lama kemudian, seorang anak perempuan usia sekira sepuluh tahun duduk di sebelahnya.
"Ini Om, yang Mama sering cerita, ya?" tanyanya. "Assalamulaikum Om, dia meraih telapak tanganku dan menciumnya."
Kami tidak berkata-kata. Sang bocah baru pulang sekolah ikut menyantap nasi gorengnya.  Rasanya aku nyaman walau tidak saling bicara. Bahkan sampai selesai makan.  Mereka ikut berjalan menemaniku hingga  masuk mobil travel tepat pada waktunya.
                                                 ****
Kiara Condong, Bandung, 30 Desember 2000.  Gadis berjilbab itu menundukan wajahnya dengan aura menyejukan, sambil melempar senyum dalam angkot.  Ketika itu aku baru pulang menonton film  "Syukur 21", sebuah film Malaysia bersama dua adik perempuan aku di Kiara21.  Wajahnya aku tebak peranakan  Arab-Sunda. Tak ada perkenalan.  Gadis itu  mengingatkan aku pada  Wiet, staf perpustakaan di kantorku yang aku taksir. Namun aku belum tahu serius atau tidak. Namun tampaknya dia lebih muda. Â
Tetapi salah seorang adik aku menegur: "Hei, matanya lihatin siapa?"Â
Kami turun lebih dulu bersama kedua adikku untuk melanjutkan perjalanan ke Cicendo dengan angkot lain. Â Gadis itu tetap di angkot itu, tetapi dia sempat melihatku.
Besoknya, 31 Desember  sore aku ke tempat dia naik, berkeliling.  Barangkali dia  ada di sana. Siapa dia tinggal di sana.  Setengah jam mengitari lokasi sekitar bioskop Kiara 21,  tidak ada perempuan berhijab.  Akhirnya aku memutuskan untuk kembali. Â
Lalu aku ke alun-alun juga dengan perasaan kesal. Â Palaguna begitu kumuh dan tak terurus, merosot kualitasnya. Kemudian mampir ke Masjid Agung untuk Salat Asar.Â
Aku kemudian mencari warung makan di dekat masjid, memilih gerobak batagor. Pesannya hanya steengah porsi sekadar ngemil. Ungkapan jantung terasa melompat terjadi pada diriku, perempuan itu ada di antara pengunjung bersama temannya yang juga berhijab. Mereka tersenyum.