SEPULUH
Balas Dendam dan Balas Jasa
Jumat pagi, Adinda, Laksmi dan Ujang pulang ke Bandung menggunakan mobil dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi setelah sarapan pagi bersama Presiden.Â
Mendikti Ristek Faisal Firdaus terlebih dahulu mengadakan jumpa pers sambil memperlihatkan beberapa berita  media daring yang menuding seorang remaja mirip pemenang Olimpiade Biologi Adinda Sundari Rivai melakukan penganiayaan terhadap anak anggota dewan dan stafnya.
"Kemarin malam saudari Adinda bersama saya dan ratusan saksi mata lain, termasuk wartawan juga. Jelas! Jadi kalian jangan kejar  dia lagi!" ucap Faisal merah mukanya. Â
Di antara mereka ada Ganang Wicaksono dari Membaca Indonesia, pucat pasi.
Dia ikut menulis atas keterangan pengacara Anton Maryanto dan juga atas perintah korlipnya  Mat Setiawan yang dekat dengan pengacara itu.
Tetapi Adinda hanya senyum-senyum saja sambil melambaikan tangan. Dia sudah baca tulisan itu.
Ganang merasa ada yang bicara dengannya melalui telepati.
Mas dulu naksir ibu saya kan dulu? Pengen ngajak chek-in tetapi nggak bisa  ya, karena kawanmu Rivai jagain banget reporter kesayangannya.
Adinda tersenyum, mengetahui wajah Ganang menunjukkan kegelisahan takut Adinda membuka kartu itu di depan teman wartawan.
Tetapi  Ibu pernah cerita Mas Ganang sebetulnya baik sama ayah dan ibu saya, pernah menolong waktu liputan dan kasih informasi malam Ibu akan dibunuh. Itu sebabnya Ibu mengajak ayah menemaninya.
Ganang takjub anak itu bisa bicara melalui pikirannya.
Ada balas jasanya loh Mas, tunggu saja di Bali. Â Ada penugasan kan ke sana?
Apa maksudnya, pikir Ganang.
                                                      ***
Pagi itu juga Anton Maryanto dalam pesawat menuju Bangkok dengan jet pribadi milik kolega ayahnya. Â
Dia disuruh ayahnya untuk berada di Bangkok dalam jangka waktu seminggu.
Anton hanya ditemani Mister Wang, kolega ayahnya dan seorang pramugari belia.
Mister Wang ini juga terbang ke Bangkok untuk  wisata libido.  Dia baru saja diceraikan istrinya karena kelakuannnya.
Anton melirik wajah pramugari yang tubuhnya sekitar 158 cm dan rambutnya dicat pirang memberinya minuman tonik.
"Siapa kamu?"
"Fajar Jayagiri," sahut Wang. "Dia baru lulus SMA, tetapi terampil membuat minuman dan rasanya lezat. Kawan saya merekrutnya dari hotel di Batam."
Anton mencicipi koktail yang diberikan  Fajar  berwarna merah muda.  Rasanya manis dan campuran alkoholnya tepat. Â
Dia  merasa badannya segar. Sebetulnya setelah serangan cipik nafsu makannya  terus bertambahnya.  Masalahnya  nafsu seksual tinggi  karena makan banyak itu.
"Bagaimana kamu membuat minuman ini?"
"Nanti aku terangkan, aku ambil snack dulu ya?" ucapnya ke belakang.
Anton merasa wajahnya mengingatnya pada sesuatu.
Dia kemudian memeriksa ponsel cerdasnya. Ada pesan yang belum dibaca.
Itu dari Chris Yunanto, yang  memberinya semangat dan mengingatkan dia punya waktu seminggu di Bangkok.
"Santai Bro, nggak ada Chateline, istrimu Kan?"
Itu isi chat Wa-nya. Â Anton senyum.Â
Namun ponsel menyala  dan ada  Chat Wa lagi dari nomor tak dikenal, tetapi ikon akun dengan wajah mirip Adinda.
 "Aku sebetulnya cinta damai.  Kecuali sama musuh ayah dan ibuku dulu. Selamat jalan Mas Anton, sudah saatnya bom waktu dalam tubuhmu meledak."
Anton pucat. Dia merasa ada yang menjalar keluar dari telinga, hidung, duburnya geli. Cipik-cipik kecil. Â Jumlahnya mulanya beberapa, tetapi kemudian berpuluh-puluh.
Kolega ayahnya Mister Wang juga terkejut  melihat banyaknya mahluk itu di lantai pesawat.
"Fajar tolong!"
Fajar memang datang  dan duduk berhadapan dengan mereka.  Dia membuka wignya dan terlihat wajah seperti Adinda.
"Minuman itu dari buah di planet kami yang mengandung zat  tidak disukai cipik-cipik. Sebetulnya mereka senang bersarang di tubuh Mas Anton, lalu keluar ratusan demi ratusan jika tubuh Mas Anton terasa sesak.
Namun zat ini memaksa ribuan cipik untuk keluar tentunya membawa  akibat tidak baik, karena membawa daging-daging di dalam tubuh Mas Anton."
Darah mengalir dari telinga, hidung dan mulutnya.
"Siapa kamu?"
"Bagian orang yang menyerang Mas Anton dan kawanan bodyguard Mas di Bandung tadi malam."
Wang sebetulnya ingin menghajar Fajar, tetapi cipik-cipik ingin inang baru menjalar tubuhnya dan dia merasa kesakitan.
Fajar lalu menatap Wang. "Sayang Anda juga bagian dari komplotan yang membunuh Sundari dan Rivai berapa tahun lalu."
"Kamu akan ditangkap polisi, kamu Adinda ya?" tanya Anton menuding.
"Tidak sepenuhnya salah, ya, semacam belahan jiwanya seperti yang menyerang Mas kemarin?"
Anton dan Wang berpadangan. Mereka sadar menghadapi kekuatan yang lebih maju.
Fajar mengoles sesuatu di kulit  kakinya hingga cipik-cipik tidak menjalar di tubuhnya tetapi menganggu cockpit.  Pilot melakukan pendaratan darurat di sebuah pulau.
Anton koma. Â Wang berguling kesakitan.
Pesawat terhempas di hamparan pasir putih. Fajar dengan tenang duduk di kursi dengan sabuk, sementara Wang terpental membentur dinding hingga tewas.
Pilot dan Copilot terkejut melihat pemandangan, Anton tewas juga Wang dikerubuti Cipik.
"Mahluk dari mana itu? Ayo Dik Fajar,kita keluar segera."
Mereka berlari dari pintu pesawat.
Kedua laki-laki melarikan Fajar karena merasa takut dengan ribuan mahluk yang memenuhi kabin pesawat.
"Bilang saja pesawat  jatuh," ucap salah seorang dari mereka.
Sebetulnya itu pengaruh pikiran dari Fajar.
Salah seorang dari mereka membawa pistol suar dan menembakannya ke dalam pesawat hingga terbakar dan kemudian meledak.
"Mahluk-mahluk harus musnah," kata pilot itu.
Kedua pilot itu kemudian mengelilingi pulau meninggalkan Fajar di tepi pantai.
Mereka hanya tahu Fajar tewas di dalam pesawat karena kekuatan pikiran gadis itu memasuki otak keduanya.
Fajar membuka seragam pramugarinya dan berganti pakaian kasual dan melemparnya ke dalam api.
Dia kemudian berjalan dengan tas ranselnya seperti seorang wisatawan dengan celana pendek dan kaos putih.
Beberapa orang yang usianya di atasnya datang ke lokasi melihat asap pesawat.
"Ada pesawat jatuh!" kata Fajar.
"Waduh! Â Lapor Komandan?" kata salah seorang dari mereka.
"Kamu siapa?"
"Prima Yustina, traveller nekat,"Fajar memperkenalkan diri.
                                                            ***
Sorenya Ganang Wicaksono sudah berada di Pantai Kuta untuk memenuhi undangan pengusaha kapal pesiar Romeo Pamungkas bersama sejumlah wartawan.
Romeo Pamungkas, eksekutif muda, usia 40 tahun mengajak para koleganya meresmikan pembukaan resort yang dengan fasilitas paracycling dan jet ski model terbaru.
Mereka akan mengunjungi Nusa Penida dengan jet ski ke resort milik Romeo lainnya. Jadi menghubungkan satu garis.
Tetapi acara baru besok pagi, Ganang dan para wartawan yang diundang diberikan kamar satu orang satu.
Mereka disambut  Charles Bronson, Manajer Komunikasi Romeo Group  yang langsung mengumpulkan wartawan di Kafe Permai untuk membagikan kamar, sekaligus makan malam.
Hanya ada sepuluh wartawan dan semua laki-laki. Â Mereka dekat dengan Romeo selama bertahun-tahun.
"Wah, kita bakal dapat teman lagi nih," ujar Sukri, wartawan media daring wisata  Blue Indonesia.
Ganang tersenyum.
Benar saja, ada belasan perempuan muda duduk di kafe itu dan diperkenalkan pada para wartawan.
Delapan sudah memilih, kecuali Ganang dan Fikri Djauhari.
Kalau Fikri memang setia pada pasangannya dan selalu membawa anak perempuan yang berusia tujuh tahun  kalau diundang acara seperti itu.
Dia sebetulnya wartawan lingkungan hidup, tetapi kerap terkait dengan bisnis Romeo yang pasang iklan di medianya.
"Wah, kencan lagi kawan kita dengan  Laila," kata Marlon wartawan sebuah media ekonomi.
Nama anaknya Laila Latifah.
Sang Anak senang-senang saja diajak ayahnya. Â Jagain Laila baik-baik, kata istrinya seorang aktivis lingkungan yang kebetulan sedang bertugas ke Kalimantan.Â
Bukan Fikri menjaga Laila, tetapi sebaliknya Laila lah penjaga Fikri.
Kalau Ganang lain lagi, dia agak bingung memilih satu di antara tiga cewek tersisa, karena mereka rata-rata Indo.
Tiba-tiba ada seorang remaja berusia delapan belas tahun duduk di sampingnya mengenakan celana jins rampel dan kaos kasual mengenakan topi.
"Mas Ganang, ya?" sapanya.
Ganang menoleh. Dia terperanjat. Â Remaja mirip Adinda, mirip Sundari. Cuma dia benar-benar jadi Sundari yang dulu dikejarnya, pakaian tomboy dan berkacamata serta rambut pendek.
"Siapa adik?" tanya Ganang genit yang merasa bahwa Charles tahu seleranya.
 "Katarina Amalia. Panggil Katrin," ucapnya tersenyum manis. "Aku anak SMK Pariwisata  di Ciamis  mau menulis tugas akhir soal wisata kapal pesiar."
"Jauh amat kamu ke sini? Kok saya dipilih?"
"Ada kawan yang rekomendasi, katanya Mas Ganang itu paling piawai," katanya.
"Kamu sendiri kemari?"
Katarina mengangguk. "Aku anak tunggal, Papa kawin lagi, Mama juga juga. Nggak ada peduli aku."
"Lah, siapa yang membiayai kamu ke sini? Nginap di mana?"
"Dikasih teman cukup untuk tiga malam empat hari, baru datang tadi. Belum tahu mau nginap di mana."
Ganang bersorak dalam hatinya. Anak broken home nih!
"Sama aku saja ya?" Ganang siap ditampar hal yang biasa dia dapat.
Tetapi Katrin hanya tersenyum. Lalu mengangguk. Â "Ajarin aku nulis ya?" Pintanya.
Ganang melirik ransel serta tas travel gadis itu  diletakan di kaki.  Dia juga membawa  ransel dan tas travel.
"Sudah kita letakan barang dulu ke kamar," ajak Ganang semakin girang.
Dia pun tidak ragu mengambil makanan kepada Katrin.
Cewek itu hanya mengangguk sopan. "Terima kasih."
Dia menyantap dengan santun.Â
Beberapa cewek melihat dia dengan heran. Ada yang berbisik. "Kamu kenal?"
Cewek menggeleng. "Anak baru kali!"
Berapa wartawan sudah masuk kamar bersama pasangan pilihannya.
Fikri malah mengajak Laila melihat pantai sunset.
Marlon juga belum beranjak, dia koordinator wartawan berbisik pada Charles. "Itu gandengan Ganang, anak buah You?"
Charles melihat mereka dari belakang sudah meninggalkan Kafe Permai.
"Oh, mungkin, Â tetapi juga bisa bukan cewek yang kita pesan. Tetapi kalau Mas Ganang memilih gadis itu, ya tetap kita kasih tips buat tuh cewek."
Ganang memasuki kamar nomor 315 bersama Katrin.
Resor itu hanya memiliki tiga lantai  berbentuk huruf R, dengan kolam di tengah bulatan.
Katrin mandi dan sikat gigi setelah Ganang. Â Lalu keluar dengan hanya memakai celana pendek dan kaos lebih ketat.
Dia mengeluarkan laptop kecil dan Ganang menempati janji mengajarinya membuat tema tulisan lalu lead dan mengupas perjalanan.
Katrin duduk dan Ganang di belakangnya, sambil mengendus harum rambutnya dan parfum tubuhnya. Berahinya menggelegak.
Tetapi dia tetap menjaga wibawa. Takut jebakan seperti pernah diingatkan temannya.
Katrin sudah selesai menulis.
"Mas Ganang periksa, gentian duduk," katanya.
Ganang pun duduk. Dia takjub gadis itu cerdas dan mampu menulis seperti anak yang baru lulus kuliah.
Tiba-tiba Katrin duduk di pangkuannya. Â Dia melihat tulisan yang hampir tanpa koreksian.
Ganang berusaha menahan diri.Â
Tiba-tiba Katrin tergelak, dia merasakan sesuatu di bokongnya yang  begitu ketat menempel di pangkuan Ganang..Â
"Ya, sudah ayo, kalau Mas Mau!"
Dia berdiri dan Ganang pun mengajaknya  ke tempat tidur besar.
Ganang merasa mendapat bidadari runtuh. Â
Kalau itu bidadari.
                                                    ***
Chris Yunanto dan Robert Wijaya baru datang ke hotel bersama berapa bodyguard mereka Dodot, Juan dan pimpinannya Philip.
"Tim SAR hanya menemukan  dua jasad  hangus.  Tim forensik baru melakukan identifikasi. Jadi masih tiga hilang, tidak tahu siapa yang mati dan siapa yang hilang," ujar Chris.
"Mudah-mudahan Anton selamat!"
"Besok sore kita ke Tanjung Pinang, nggak enak sama Om Maryanto," kata Robert.
"Kalau bukan Romeo teman baik kita," katanya.
Charles pun menemui mereka dan membagikan kamar.
Tetapi Juan minta izin di pantai sendirian. Kakinya masih pincang sewaktu perkelahian di Bandung. Â Dia kehilangan sahabatnya baiknya Gio yang tewas tertembak di belakang kepala.
Christ, Robert dan Philip memaklumi.
Pantai Kuta masih ramai malam itu. Â Ada pesta barbeque beberapa puluh orang.
Juan melihat seorang perempuan yang mirip dengan yang menyerangnya di Bandung. Â Dia orang yang dilatih punya ingatan kuat.
Gadis itu menoleh dan melambaikan tangan dan bisa berbicara bahasa telepati. "Jumpa lagi ya Bang. Ayo kita selesaikan di ujung pantai yang sepi."
Dia berjalan dengan santai meninggalkan keramaian, Juan mengikuti dengan geram. Â Dia sudah menyiapkan pisau komando yang disembunyikan di sepatunya.
 Dara itu sudah menunggu di satu sudut hanya dengan sebatang bambu yang baru dia temukan.
Juan berlari sambil menghunus pisau, dia tidak peduli melanggar pantangannya berkelahi dengan perempuan.Â
Tetapi dia hanya menembus ruang kosong dan dia merasa dadanya dihantam bambu yang keras dan gadis itu di samping.
"Yaa, bambunya pecah!" ucap gadis itu tenang.
Juan merasa pembuluh darah di dadanya pecah dan dia limbung. Pisau komandonya terlepas.
Dia jatuh berlutut di hadapan gadis itu. "Kamu ada ya sewaktu pembunuhan Sundari dan Rivai?"
"Dari mana kamu tahu, memang saya ikut memepet mobil membawa cewek sok tahu itu, tetapi separuh kawanku diambil monster. Aku lari bersama Gio dan Phillip," ujar Juan yang merasa pikirannya dikuras.
"Sementara lagi Abang menyusul. Lihatlah mendung menutupi bulan dan darah Abang memancing kedatangan mereka."
Gadis itu dengan santai meninggalkan Juan yang dadanya merasa sakit dan masih berlutut. Â
Beberapa mahluk dengan mulut bertaring bersayap ukuran lebih besar dari dia tiba di pantai.
Juan ingin berteriak ketika salah satu mahluk itu menjilat darah yang keluar dari hidung dan mulutnya, lalu kemudian mencengkeramnya dan membawanya terbang entah ke mana.
Gadis itu berjalan mendekati resort milik Romeo. Â Dia melihat jendela di lantai tiga terbuka.
Aku sudah menyelesaikan tugasku. Kita Tunggu kabar nomor tiga masih di Singapura. Â Bagaimana dengan tugasmu di kamar itu Nomor Satu, menyenangkan?
Dua babak, dia sudah tertidur pulas. Padahal aku masih mau. Â Aku baru merasakan jadi manusia sejak tidur hibernatus.
Gadis itu kemudian kembali ke pesta barbeque di mana seorang pria sudah menunggu. "Dari mana kamu Ninda?"
"Nyepi sebentar," jawabnya.
"Besok pagi kita kembali ke Denpasar, kamu pulang ke Bandung  kan sore hari."
Ninda mengangguk. "Terima kasih Mas Dadan atas kebaikanmu."
Dua perempuan muda dan seorang laki-laki lain menghampirinya.
"Ini Ninda yang ditelantarkan cowoknya di Kuta, kurang ajar!" kata yang perempuan itu.
"Ma kasih Mbak Dewi Tania baik sekali mau kasih saya penginapan," kata Ninda.
"Ala, kita senasib."
Hujan turun rintik-rintik.
"Ayo kembali ke hotel sebentar lagi hujan deras! Untuk barbeque sudah selesai!"
Mereka meninggalkan pantai dan kembali ke hotel yang tak jauh dari Resort Romeo persis ketika hujan turun.
Namun telinga gadis yang dipanggil Ninda itu mendengar jeritan Juan di suatu tempat sepi puluhan kilometer dari situ.
Mahluk-mahluk itu sedang berpesta.
 (Bersambung).
Irvan Sjafari
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H