"Taruh saja uangnya di dekat kasir. Uang pas yaa..!!" terdengar ada suara dari dalam.
Syukur ada orang. Tetapi di mana dia? Mungkin lagi ke belakang. Berarti kami nggak sendirian di Bandung? Tapi kok orang-orang tidak ada di jalan?
"Gantian," ucap Sundari merogoh kantong dan  menaruh uang pas di meja kasir.
Aku membiarkan saja, karena memang biasa kalau kami jalan begitu. Sundari tidak mau kalau cowok punya kewajib membayar cewek. "Itu nggak fair! Bisa jadi pembenaran bahwa cowok lebih dari cewek!" ucap dia, yang gusar karena aku sebagai redaktur dan juga laki-laki ingin jadi pelindung.
Kami keluar dan menelusuri jalan Braga ke arah alun-alun, tapi tidak ada mobil yang lewat. Bahkan alun-alun pun senyap.
"Ke mana semua orang? Kalau ini tempat transisi ke arah dunia setelah hidup kok persis benar seperti Kota Bandung, bisa minum susu kaleng," kata Sundari sambil meneguk.
"Lalu suara siapa di minimarket itu? Hantu?"
"Alien lagi, Ah, si Akang ada-ada saja bikin rudet parusing, Â haiyaa..!!" katanya.
Aku mengikuti membuka susu kaleng dan membukanya. Lalu kami mencari tempat sampah di alun-alun dan membuangnya. Konsisten sebagai orang yang peduli lingkungan hidup.
Tapi tidak ada orang di sekitar alun-alun. Masjid Agung, Dian Theater, Kantor Pos, Pendopo masih di tempatnya. Namun yang ada di Timur, bukan bangunan megah tetapi Palaguna masih utuh, hanya saja sepih.
"Sejak kapan Palaguna dibangun kembali?" ujar Sundari. "Apa kita terdampar ke masa lalu?