"Pertanyaan Akang, sama dengan aku," ujar Sundari.
Dia sudah tidak tegang lagi, seolah lepas dari beban. Setelah kami sarapan, Sundari mengajak aku melihat pemandangan dari atas roof bangunan hotel di Braga di luar tempat makan, tampak panorama kota Bandung pagi hari dengan matahari yang cerah.
"Ada yang aneh?" tanya Sundari menunjuk ke luar. "Seluruh bangunan ada seperti biasa kita lihat, tapi  sepertinya hanya kita berdua di Kota Bandung."
"Jangan-jangan kita sudah mati waktu kecelakaan dan ini tempat transisi menuju dunia lain, karena kita orang baik, disiapkan tempat yang menyenangkan," aku mencoba merasionalkan kejadian ini.
"Lalu ini apa?" Sundari memperlihatkan ponsel cerdasnya yang masih utuh di saku. Masih ada  pesan WhatApp yang tersimpan, termasuk dari grup "After Midnight".
Dia juga membawa ponsel cerdasku dan memberikan padaku. "Bukan aku lancang, tapi rasa ingin tahuku juga seperti Akang. Di ponsel itu masih ada foto resepsi kemarin kan?"
Anak itu berbakat jadi jurnalis. Â Tapi aku khawatir membaca WA ku kepada seorang kawan bahwa aku diam-diam suka sama dia. Namun Sundari tidak pernah mengungkit hal itu, bahkan menyindir pun tidak.
"Ya, sudah kita cari tahu. Aku antar kamu ke Antapani seperti biasanya. Kamu sudah telepon Mama atau Papa?"
Sundari mengangguk. "Itu dia, tidak diangkat. WA nggak dijawab. Ada centrang sudah terkirim, tapi belum diterima."
"Masa?"
Aku kemudian menghubungi nomor rumah di Jakarta, tetapi tidak diangkat walaupun masuk. WA ke Mat Setiawan atau rekan lain masuk, tapi belum ada centrangan diterima.