Baru pada 15 Juni, 250 tentara  dengan beberapa artileri dan insinyur datang membantu menduduki Pengaron dan orang-orang itu dibebaskan.
Peristiwa lainnya pada 1859
Pada hari-hari pertama  Juni 1859  telah tiba: 5 kompi dari batalion infanteri kesembilan, 43 artileri dengan 4 meriam perunggu, 2 howitzer, 2 mortir dan setengah kompi penyapu ranjau. Sementara itu, Kolonel Andresen telah diangkat menjadi panglima tertinggi dan komisaris pemerintah dan residen digantikan oleh Tuan Bosch.
Hidayatullah bermarkas  di Martapura dan Kolonel Andresen percaya bahwa perdamaian akan segera pulih ketika Tamjidllah  sebagai sultan memberi jalan kepada Hidayat, yang benar-benar dapat menuntut lebih banyak hak atas takhta dan didambakan oleh rakyat.
Untuk menghubungi pangeran ini Andresen memutuskan untuk bergerak ke Martapura. Tanpa menemui perlawanan apapun, kelompok terdepan dari angkatan bersenjata Belanda menguasai Kraton, sedangkan kelompok utama berkemah di dekatnya.
Andresen bersikeras agar Hidayat naik takhta ketika dia ditemukan tidak bersalah dan terlibat atas serangan terhadap orang sipil Eropa.
Pada 25 Juni, Sultan Tamjidllah yang berkuasa turun tahta tetapi gangguan terus berlanjut. Gudang garam di Pulu Petak, di sungai, sedikit lebih tinggi dari kampung, ditempati oleh Letnan Bichon dengan 60 orang dan ditempatkan di pertahanan terbaik diserang pada 23 dan 24 Agustus  di mana Letnan Bichon terluka parah oleh serangan tombak.  Perwira ini tewas karena luka itu.
Para penyerang dipukul mundur dan Letnan Komandan Clifford Kocq van Breugel untuk sementara mengambil alih komando.
Demang Lehman, musuh yang akan segera menjadi jiwa pemberontakan, mencoba menyerang markas Belanda di Martapura pada  30 Agustus, sore hari.  Belanda tidak menduga pasukan Lehman  maju dengan hampir 1.000 orang Dayak menuju Kraton dan berhasil menembus ke dalam benteng. secara kebetulan, ada pemeriksaan senjata dan karena itu pasukan sedang bergerak. Maka penyerangan itu dipukul mundur, meskipun pemberontak yang telah membuka pintu gerbang sudah masuk ke kediaman Komandan Boon van Ostade.
Keberanian para pemberontak semakin meningkat dan mereka menduduki benteng di Tabanio yang sempat dievakuasi oleh pasukan Belanda pada 1854. Untuk mengusir musuh dan juga untuk mendapatkan Demang Lehman yang berbahaya, seorang kapten-letnan di laut dari Hasselt dikirim ke sana dengan kapal uap Ardjoeno, Montrado, Celebes, Onrust dan Boni. Sementara sebuah detasemen dari 70 infanteri disediakan untuknya. Benteng itu lega tetapi para pemberontak berhasil melarikan diri.
Pada 27 September 1859 pertempuran terjadi  di benteng Gunung Lawak yang dipertahankan oleh Kiai Demang Leman dan kawan-kawan. Dalam pertempuran ini kekuatan pasukan Kiai Demang Lehman ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan musuh sehingga ia terpaksa mengundurkan diri.