Intervensi Belanda pada urusan internal Kesultanan Banjarmasin bermotif ekonomi. Â Belanda melakukan investasinya dalam pertambangan batu bara "Oranye Nassau" di Pengaron, dan "Julia Hermina" di Banyu Ireng. Kedua tambang ini mendatangkan hasil yang cukup banyak. Karena itu Belanda memerlukan sultan yang dapat mereka kendalikan.
Tambang Batu Bara Julia Hermina diusahakan oleh Hindia Belanda pada 1853. Lokasi situs ini di Kalangan dan Desa Banyu Irang, Kecamatan Bati Bati, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Ketika didirikan, lokasi tambang ini menempati wilayah milik Kesultanan Banjarmasin dan termasuk Distrik Maluka.
Daerah-daerah tempat tambang batubara tersebut baik Tambang Batu Bara Oranje Nassau maupun Tambang Batu Bara Julia Hermina merupakan tanah lungguh yang diberikan oleh Sultan Adam kepada mangkubumi bernama Ratoe Anom Mangkoe Boemi Kentjana. Namun karena diambil Belanda, maka sebagai gantinya mangkubumi mendapatkan empat puluh gulden  untuk setiap ton batubara yang dihasilkan.
Batubara pada pertengahan abad ke 19 menjadi  komoditas dan primadona baru yang sangat diperlukan untuk menggerakan berbagai mesin industri. Batubara juga menjadi bahan bakar untuk kapal-kapal yang berlayar, sehingga mahal harganya. Sementara, kapal-kapal Belanda, baik kapal dagang maupun kapal perang yang memerlukan batubara untuk bahan bakar mesin uapnya.
Di satu sisi terlalu mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk mendatangkan batubara dari negara Eropa lain. Dengan keberhasilan eksplorasi, batubara yang sangat besar potensinya di Tanah Banjar. Belanda mengabaikan bahwa batubara telah ditambang oleh rakyat secara tradisional.
Tambang Batubara Oranje Nassau di Pengaron adalah tambang batubara pertama yang didirikan oleh Belanda pada 1849. Tambang batubara ini menjadi simbol penguasaan kolonialisme.
Selain rakyat yang menjadi penambang batubara tradisional, dari pihak rakyat Banjar, kelompok haji dan pedagang juga merasa dirugikan, karena pengaruh kekuasaan, dan monopoli perdagangan Belanda yang semakin lama semakin luas, merupakan satu dari kelompok yang sangat keras melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Pangeran Tamjidlah.
Belanda mengatur harga beli dan kewajiban pedagang untuk menjual komoditas tertentu hanya kepada Belanda; sebaliknya para pedagang Banjar juga harus membeli komoditi tertentu kepada Belanda dengan harga yang telah ditetapkan oleh Belanda.
Itu sebabnya selain didorong oleh motif keagamaan, terdapat motif ekonomi. Perlawanan rakyat Banjar juga didukung  sejumlah besar pedagang Banjar.  Di antaranya terdapat nama para pedagang yang berasal dari Marabahan.Â
Di antara nama-nama pedagangseperti , Datu Aling sebagai tokoh masyarakat berpengaruh di daerah Muning  H. Matarif, H. Matamin, dan Kyai Masdipati Jaya yang merupakan pedagang besar dari suku Dayak Bakumpai. Sebagai pedagang besar, mereka memiliki jaringan dagang bahkan sampai ke Singapura.
Â