Lalu kami melihat sesuatu yang tidak terlihat meninggalkan jejak di lapangan yang basah karena hujan. Tapak harimau.
"Terus, kita mau bilang apa? Yang pegang kendali mereka," kata Ambu. "Kita merasa jadi langit di atas mereka. Padahal tidak, merekalah di atas kita."
Lalu di mana Manuk Dadali itu?
Kami  sarapan sekaligus makan siang di sebuah rumah makan di sana. Kehidupan ekonomi mulai pulih, walau untuk sementara memakai koin emas hasil rampasan dari Rezim Indrajaya.
"Emas? Mungkin karena ini Purbaendah mau kerja sama dengan Indrajaya," kataku baru sadar. "Sebagian emas dari tentara Indrajaya dibajaknya."
"Bukan untuk uang, anjeun, mereka ingin buat Garuda Raksasa disepuh emas," kata teteh Ira.
Diputuskan aku, Purbasari, Samuel ke Gedung Indonesia menggugat. Â Teteh Ira dan Teteh Mayang mengawasi dari jauh dengan teropong virtual siapa tahu ada Kanaya di situ.
                                               Â
Pukul setengah empat sore. Gedung Indonesia Menggugat benar-benar seperti yang kami punya di Preanger Satu, walau lebih tua karena otentik.  Hanya saja pembangunan Bandung sebelum eksodus besar-besaran ke planet lain  membuat satu gedung yang tinggi di belakang Bangunan Indonesia Menggugat menjadi tanda tanya. Tidak cocok untuk karakter Bandung.
Bangunan itu yang ditutupi daun-daun pasti terbengkalai  tampaknya, seperti gedung di alun-alun timur. Tingginya lebih dari seratusan meter. Mungkin juga proyek mangkrak pada zaman dulu. Â