Faisal mengangguk. "Dugaan kami pesawat berbentuk burung garuda. Â Ada orang kami yang sempat melihatnya."
Ira  dan Mayang berpandangan. "Tentu saja Kanaya dan orangnya mau bersekutu. Apa mereka ingin ke Titanium dengan Manuk Dadali?"
"Waduh, mengapa tidak berunding dengan kita saja! Masa Bagus tidak kasih tahu!" Samuel menggeleng kepala.
Aku berpikir keras. "Karena mereka tidak mau diatur!"
"Kakakku yang satu sifatnya begitu," kata Purbasari.
"Ya, sudah kita bawa saja mereka. Sekaligus tangkap itu Indrajaya dan siapa tuh...Brutus!" kata Samuel. Â
"Beratnya, Bagus dan mungkin ada orang lain dari Titanium teman kita. Ada kanaya pula di sana. Belum lagi kakaknya. Semua orang-orang yang susah diajak omong, walau sekarang bukan ancaman," kata Ira. "Kalau Indrajaya, apalagi Brutus dan gerombolan orang asing itu sikat saja!"
"Kalian bisa dialek Sunda? Nggak hilang!"
"Nggak lah Neng, kawan kita Samuel tetap pakai dialek Papuanya, ada yang pakai logat Minang dan Jawa, di sana mah bebas-bebas saja," jawab Teteh Mayang.
Tuan rumah menyuguhi kami makanan nasi merah, potongan ikan dan sayur asem. Memang perut kami keroncongan.
"Masih bisa menanam padi dan sayuran, juga ikan?" tanya aku.