Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (10)

26 September 2020   14:57 Diperbarui: 26 September 2020   15:06 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: Ceritaanakdunia.com

SEPULUH

Dua hari kemudian Purbabarang disidang oleh dewan istana.  Beberapa sesepuh mengusulkannya dibuang. Purbararang hanya menunduk, tidak bicara.  Tetapi Purbasari justru membela. Lagipula dia hamil. Akhirnya sesepuh mengampuni, dengan syarat  Purbararang tetap di istana tanpa kekuasaan, tetapi suaminya harus dihukum berat, karena melakukan pembunuhan keji. 

Purbaendah juga harus dibawa untuk mempertanggungjawabkan keterlibatannya, sekalipun dia juga mendapat pengampunannya.  Sidang memutuskan Purbararang untuk sementara tidak ke luar kamarnya atau keputrennnya dan dijaga ketat, hingga suaminya ditangkap.

Sidang kemudian dlianjutkan diikuti para pejabat istana dan orang-orang Titanium. Juga dibahas bagaimana strategi menaklukan sisa musuh di sana.

"Pertanyaannya, bagaimana membawa beliau-beliau itu ke mari? Bisa lebih seru kalau kita ke Kabandungan untuk menangkap mereka.  Ada kawan kita Bagus di situ, pasti bela kekasihnya, yang mungkin sudah jadi istrinya. Iya, kalau hanya Bagus, kalau dia bawa orang Titanium juga  dan di situ juga ada manusia dari koloni planet lain?" Samuel memberikan pandangannya.

Masa aku berhadapan dengan Bagus. Lagipula dia tidak bermaksud jahat, malah dia ikut berperan mempertemukanku dengan Purbasari?

"Aku ikut dalam ekspedisi. Kalau Bagus melihat akan menghindar pertumpahan darah!" sahutku.

"Aku ikut!" sambung Purbasari.

"Aku juga!" Ambu melihat kami dengan khawatir. "Bagus juga tahu aku!'

Teteh Ira dan Teteh Mayang juga. Mereka penasaran, karena diduga keturunan Sang Kuriang ada di sana.

Gigin kemudian berdiri, dia berkata,"Teliksandi bilang, Indrajaya dan Brutus juga menyiapkan pasukan di sana di salah satu bagian dari Kabandungan. Itu kota dengan bangunan sebagian besar hancur. Tetapi Purbaendah dan pengikutnya ada di bagian lain."

"Ingin tahu seperti apa kotanya? Besar?"

Gigin mengangguk. "Lebih besar dari ibu kota Pasir Batang. Ada penduduknya yang berbeda dengan kita di sini."

Kemudian Mamo muncul membawa drone. Dia memberikan gambar tiga dimensi  di tengah sidang. "Kalian harus lihat ini. Ini satu drone yang selamat. Yang satu lagi tampaknya ditembak hancur."

Gambar virtual muncul, walau hanya seitar tiga puluh detik, diambil dari atas, tampak bangunan yang tidak menyerupai  bangunan di Pasir Batang, bahkan mirip di Preanger Satu yang sebagian fotokopi Bandung.

"Ya, Tuhan!  Ini kerja keturunan Sang Kuriang, Kapten Ginanjar dulu?" ucap Ira. "Itu yang aku dan teteh Mayang lihat dari kejauhan."

"Kalau itu kerjaan orang kita tidak akan sebesar ini dan bangunannya utuh!" terang Mamo.

"Kita nggak berada di masa lalu, tetapi di masa depan, ini Bandung beratus tahun setelah Bumi ramai-ramai ditinggal manusia," aku menduga pasrah. "Purbasari cerita bahwa, orang Pasir Batang asalnya dari sini. Dugaanku, mereka lari dari situ. Ada sesuatu yang terjadi seratus tahun lalu, pasca  perang besar di Bumi dan mereka mendirikan kerajaan dengan kembali ke masa nenek moyang mereka."

Purbasari hanya terdiam. "Kalau pun benar, nenek moyang kami ingin mengubur masa lalu!"

"Kita harus melihat sendiri, seperti apa kota itu kalau dugaan anjeun benar," Ira tidak mau kehilangan harapan bertemu keturunan anaknya, Kinanti.

Merebut  Kabandungan.                                                                        

Pagi hari, tiga hari setelah ibu kota kami kuasai,  dewan istana gabungan orang-orang dari Preanger memutuskan untuk memasuki Kabandungan dengan tim kecil menggunakan dua jip terbang dan empat motor capung terbang.  

Jip pertama berisi aku, Guru Minda, Purbasari yang berkeras ikut, karena ingin menyakinkan kakaknya Purbaendah dan juga aku ingin tahu apa maunya Bagus Sucahyana dari mulutnya sendiri, bukan menduga-duga. Di Jip itu ikut Samuel Wanggai,  Ambu dan prajurit Tika Dayanthi, serta dua pengawal Purbasari.  Kami juga bawa dua robot anjing.

Pada Jip kedua, dikemudikan Mamo, ada prajurit Pratikto, serta Serma Malik, Gigin dan dua prajurit Purbasari.  Jip itu juga dilengkapi dengan dua robot anjing. 

Sementara teteh Ira dan teteh Mayang mengendarai motor capung terbang, diikuti teteh Sisil dan seorang prajurit Purbararang.

Di darat, pasukan gabungan Purbasari, Purbakencana dan Purbadewata, bergerak dengan kuda dan diperkirakan empat jam setelah kami tiba.

Sejauh ini aman radar virtual di jip menggambarkan denah kota  dengan berapa titik oranya tandanya ada kerumunan manusia.  Lokasinya di sekitar tempat yang dulunya alun-alun dan kemungkinan Jalan Braga dan Suniaraja, lalu ada di kawasan Cicendo, Dago, dan sebagian lagi di sekitar Gedung Sate dan berapa titik kecil.

Pertanyaannya di mana Bagus dan Purbaendah berada dan di mana Indrajaya dan sisa pasukan asing itu dan kerumunan lain siapa?

"Kalau bukan orang Atlantis, orang-orang asing itu dari mana? Apakah seluruh peradaban  Bumi runtuh dan tersisa para warlord yang bertebaran untuk bertahan hidup dan orang asing itu keturunan Warlord dari Eropa atau Amerika?"  tanya Samuel.

"Kita cari tahu nanti."

Kami memutuskan mendarat di alun-alun bagian selatan.  Tampak lapangan rumput yang terbengkalai. Rumput sintetis  dalam dokumen sejarah, ternyata masih ada sebagian dan di sela-selanya ditumbuhi rumput liar dan ada yang bopeng. 

Masjid Agung relatif utuh, terawat tetapi relatif tua. Itu pertanda ada yang masih salat.  Ada bangunan di pinggir alun-alun timur terbengkalai tetapi utuh.  Namun bangunan di Timur gedung tinggi  sebagian besar runtuh.

Berapa orang menyaksikan kami dengan pakaian yang berbeda dengan orang Pasir Batang.  Entah pakaian abad ke berapa.  Mereka tidak menganggu. Kami menyebar menuju utara dari arah Barat dipimpin Serma Malik dan bagian Timur dipimpin Samuel di mana aku dan Purbasari serta Ambu ikut.

Pukul enam pagi.  Sangat menegangkan. Kompas virtual aku dan Tika terus dihidupkan. Begitu juga radar anjing robot. Khawatir ada sniper di atas lantai gedung yang runtuh.  Gedung-gedung itu ditumbuhi lumut dan tanaman yang menjalar, tanda tidak lagi ditempati. 

Radar memberi tahu ada orang di atas gedung dan anjing robot menyalak.  Tika Dayanthi menembak dengan tangkas sambil menghindari  tembakan laser yang mengenai aspal.  High voltase terlepas menuju sasaran dan sesosok jatuh dari atas gedung.

"Seperti di film,"  ucap Mamo.

 Orang-orang Kabandungan sebagian lari, tetapi sebagian melongo. Walau kami berpakaian seperti orang Pasir Batang.  Rombongan aku dan Samuel memasuki Braga dan rombongan lain masuk melalui Cikapundung Barat.  Purbasari menunjuk Gedung Merdeka yang tiruannya di Preanger Satu, begitu juga kawasan alun-alun ini.  Jadi kami dari Titanium hapal denahnya.

"Brutus, yuhuuu! Di manakah engkau berada!"  Samuel menggunakan suara dari sebuah alat yang diletakan di mulutnya. Walau kami mengenakan pakaian rakyat Pasir Batang, tetapi peralatan canggihh kami gunakan termasuk sepatu dan helm. Juga prajurit Pasir Batang.

Berapa bangunan masih berfungsi, dan masih ada orang yang tinggal, tetapi sebagian ditutupi tanaman merambat.   Ada yang datang, radar memberitahu ada yang bergerak cukup cepat.  Tampaknya sebuah kendaraan baja yang tua seperti dimodifikasi bergerak, tank.

"Ya, masih dipakai?"  Mamo heran.

Tank itu membidikan meriamnya ke arah kami, namun kami menghindar dan hanya menghancurkan sebuah kendaraan yang terbengkalai di pinggir jalan. Sebaliknya tembakan high voltase dari Samuel dan aku mampu membuatnya terbakar dan meledak. Dua prajurit asing meloncat ke luar dan berguling memadamkan api, namun mereka tewas.

Sebagian lagi menggunakan senapan mesin tua tampaknya berlindung di belakang tank. Cukup banyak.  Tetapi dari atas gedung sebuah ruko di Braga ada tembakan senapan api juga, peluru berhamburan. Kami dibantu warga Kabandungan?

Sementara di pihak lawan ada yang menggunakan senjata laser, seseorang dari atas gedung jatuh, juga seorang prajurit Purbasari. Namun high voltase kami membalas.  Sebuah tank lagi muncul robot anjing melompat sambil menembak  bersamaan dengan tank. Robot anjing itu hancur, tetapi begitu juga tank.

Hanya lima belas menit.  Pasukan lawan mundur meninggalkan delapan tubuh yang hangus.  Kalau ditambah tank yang pertama jadi sepuluh.

Orang dari atas gedung turun, mereka penuh tanda tanya, tetapi tidak terkejut.  Seorang laki dan seorang perempuan muda dengan hijab maju. Wajah mereka ramah setelah mengamati kami beebrapa detik.  Lalau diikuti beberapa laki-laki dan perempuan, ada yang menggunakan senjata laser, mungkin hasil rampasan, ada AK 47 yang sudah tua, tetapi dimodifikasi.

"Kalian keturunan yang dulu pergi dari Bumi?" ujar yang perempuan. "Aku Rani  dan ini suamiku Faisal."

Ambu menyambut mereka. "Tahun berapa ini? Kami  saja tidak ingat kapan nenek moyang kami pergi, yang jelas dua ratus tahun di Titanium."

"Ada yang ke Titanium, ada yang ke Kuantum XX, ada yang ikut orang Amerika entah ke planet mana, ada yang ikut orang Jepang kami tidak tahu, eksodus terakhir dari Gedebage Bandung Technopolis tiga ratus tahun yang lalu dan yang terakhir dari Bumi yang ikut orang Jepang seratus lima puluh tahun lalu!" jelas Faisal.

"Kalian bertahan hidup!" Ira dan Mayang muncul dengan tergesa-gesa karena mendengar tembakan.

Faisal dan Rani mengangguk.  Dari gedung itu orang-orang lain berdatangan. Sebagian geriliyawan, sebagian mungkin warga berlindung.

"Anjeun semua yang mundur ke Kulon?" tanya Gigin.

Faisal mengangguk. "Kami kembali empat bulan lalu, setelah buat perjanjian dengan penguasa baru Kabandungan."

Penguasa baru? Purbaendah?

"Orang-orang asing  yang menyerang tadi itu?" tanya Samuel.

"Mereka sisa peradaban Barat yang runtuh, tak ada lagi pemerintahan di Bumi. Alat telekomunikasi semakin rusak bahkan kalau digunakan memancing pasukan asing ke mari," jawab Rani.

Kami diajak berbincang di bekas sebuah restoran.  Orang-orangnya berjaga.

"Mereka juga bertahan hidup.  Bumi sedang menyembuhkan diri dari kerusakan besar akibat perang tiga ratus tahun lalu.  Seluruh negara runtuh, yang ada ribuan negara kota dan para warlord," Papar Faisal.

"Pasir Batang?"

"Kami hanya mendengar, karena kami lama tidak keluar. Dulu ada  ceritaperjanjian antara orang Kabandungan dengan orang selatan tidak saling menganggu.  Kami hidup dengan cara kami sendiri, mereka juga hidup dengan cara mereka sendiri, seperti pakaian yang kalian kenakan," Faisal.

"Pernah lihat yang pakai motor terbang?" tanya Ira.

Rani mengangguk. "Namanya Kanaya, dia katanya keturunan orang Titanium, kalian ya? Tetapi terdampar di masa lalu, mencoba keluar dari Bumi, tetapi gagal malah terdampar ke waktu ini."

"Kapan dia tiba?" Ira ingin tahu.

"Empat tahun lalu.  Dia juga juga membawa beberapa orang menggunakan senjata seperti kalian. Namun dia dan orang-orangnya ada di Dago sana.  "Mereka bukan satu-satunya orang dari atas sana yang datang ke sini, ada berapa pesawat yang jatuh, di antaranya dekat Gedebage."

"Orang Selatan menyerang kami tahun lalu.  Tetapi pimpinan mereka sepertinya setengah hati, sepertinya mereka ingin membuka jalan ke Gedebage," kata orang Kabandungan lain, bersama Rulliansyah.

"Tetapi orang asing terakhir ini sungguh-sungguh memerangi kami, sudah tiga bulan kami kucing-kucingan. Jumlah mereka besar dan kami terpaksa geriliya. Pindah-pindah tempat di Kabandungan."

"Di mana orang-orang asing itu? " tanya Samuel.

"Mereka membuat pertahanan di atas, terutama yang baru datang sekitar seminggu lalu. Mereka lari dari kalian, ya?" tanya Rani.

Samuel tergelak.  Pembicaraan mereka terputus, seorang perempuan datang dengan tergesa-gesa. Perempuan berambut ikal, mirip Samuel, namun kulitnya putih.

"Ini  Jane  Tamahela kawan kami!"

"Halo!", dia menyandang senapannya. "Saya dengar ada tembakan, lalu kemari!"

Ira masih penasaran. "Apa yang diperbuat Kanaya?"

"Entahlah. Aneh juga, dia bersekutu dengan orang seperti kalian dan seorang perempuan dari selatan yang dulu memimpin penyerang ke Kabandungan. Sepertinya ada kepentingan yang sama enam bulan yang lalu.  Mereka bolak-balik dari Dago ke Gedebage. Sejak persekutuan itu musuh kami hanya orang-orang asing yang itu!"

Ira dan Mayang berpelukan, lalu dia memeluk Ambuh dan Purbasari. "Anakku dan kakakmu bersekutu  juga kawan kita dari Titanium itu, kawanmu Guru Minda!"

Rani, Faisal, Jane dan satu lagi mengaku bernama Budiman hanya tersenyum.

"Apa yang mereka mau perbuat?" tanya Ira.

"Tidak tahu, kakak!" sahut Jane.  Orang-orang mereka tidak menganggu kami kalau berpapasan di jalan, tetapi kalau memasuki areal Gadebage, mereka galak dan tak segan menembak!" Jane mencoba menjawab. "Tapi kami mendengar soal Manuk Dadali."

"Burung Garuda?"

Faisal mengangguk. "Dugaan kami pesawat berbentuk burung garuda.  Ada orang kami yang sempat melihatnya."

Ira  dan Mayang berpandangan. "Tentu saja Kanaya dan orangnya mau bersekutu. Apa mereka ingin ke Titanium dengan Manuk Dadali?"

"Waduh, mengapa tidak berunding dengan kita saja! Masa Bagus tidak kasih tahu!" Samuel menggeleng kepala.

Aku berpikir keras. "Karena mereka tidak mau diatur!"

"Kakakku yang satu sifatnya begitu," kata Purbasari.

"Ya, sudah kita bawa saja mereka. Sekaligus tangkap itu Indrajaya dan siapa tuh...Brutus!" kata Samuel.  

"Beratnya, Bagus dan mungkin ada orang lain dari Titanium teman kita. Ada kanaya pula di sana. Belum lagi kakaknya. Semua orang-orang yang susah diajak omong, walau sekarang bukan ancaman," kata Ira. "Kalau Indrajaya, apalagi Brutus dan gerombolan orang asing itu sikat saja!"

"Kalian bisa dialek Sunda? Nggak hilang!"

"Nggak lah Neng, kawan kita Samuel tetap pakai dialek Papuanya, ada yang pakai logat Minang dan Jawa, di sana mah bebas-bebas saja," jawab Teteh Mayang.

Tuan rumah menyuguhi kami makanan nasi merah, potongan ikan dan sayur asem. Memang perut kami keroncongan.

"Masih bisa menanam padi dan sayuran, juga ikan?" tanya aku.

"Ada berapa lahan yang kami kuasai,  juga tanaman di atas gedung untuk sayuran dan ada kolam di berapa tempat tersembunyi."

"Berapa populasi Kabandungan?" tanya Ambu.

"Seribuan orang, sisa manusia yang tersisa, yang lain mungkin masih ada di tempat lain dan punya warlord sendiri, tetapi kita sulit kontak. Telekomunikasi mati," kata Faisal. "Listrik masih ada, dengan tenaga matahari, air kalau bukan musim kemarau dan sebagian lagi dengan tenaga sampah. Hanya cukup untuk seperlima kota."

"Bensin?"

"Langka.  Orang asing itu menggunakan minyak sawit untuk menggerakan tank, tetapi lebih lamban dan kalau berhadapan dengan senjata seperti kalian, mudah dihancurkan."

Setelah makan kami berpisah. Mereka harus berpindah tempat, diputuskan kami ke kawasan ke Dago dulu.  Dari drone  kami tahu bahwa sisa pasukan Indrajaya  ada di sekitar Gedung Sate. Kami mengendarai jip dan motor terbang melewati bekas Jembatan Pasupati yang lenggang dan kusam, berapa bagian rusak.  Di tempat kami Preanger Satu tentunya lebih gemerlap.

Di atas jembatan berapa prajurit Indrajaya menembak dengan laser. Tentunya kami menghindari dan motor capung terbang Ira dan Mayang mudah melumpuhkan mereka dan sebuah kendaraan tua mereka terbakar.

"Ternyata masih ada bensin."

"Padahal listrik hanya sebagian jalan, kalian dengar cerita orang Kabandungan tadi? Mereka juga gunakan energi sampah dan baterai matahari walau generasi pertama, yang jauh di bawah kita," papar Ambu.

Purbasari masih terperangah. Dia juga takut melihat pertempuran itu.  Namun dia senang melihat sebagian berkuda sudah datang di jembatan Pasupati dan melambaikan tangan kepada kami.

Image caption
Image caption

Sebelum kami ke utara, kami melihat  bekas bandara terbengkalai. Beberapa bangkai pesawat bergeletakan begitu saja dan ada kubangan air di beberapa tempat. Tak ada tanda-tanda pesawat angkasa mendarat di sini atau diberangkatkan dari sini. Dimanakah Bagus mendarat? Atau membuat proyek dengan Purbaendah-nya.

Radar memberitahu kami ada pertempuran di sekitar Gedung Sate. Rupanya orang-orang Purbasari sudah memasuki kota. Kami bergegas ke sana. Walaupun Ira dan Mayang menggerutu. Mereka ingin lebih dulu menemukan cucu mereka.  Jip terbang dan motor capung terbang ke sana.

Kami segera berloncatan. Ada berapa tank terbakar dan sebuah motor capung kena laser. Untung Ira tangkas meloncat. Rupanya dia ingin melindungi prajurit Titanium.

 Samuel juga berlari dengan gesit ketika melihat orang yang jadi sasarannya. "Brutus! Popeye datang!" teriaknya.

Brutus terperanjat melihat kedatangan Samuel mereka berkelahi di pelataran Gedung Sate yang relatif masih utuh. Orang Kabandungan masih memelihara.

"Oii, tembakan jangan merusak gedung!"

Aku juga mencari Indrajaya.  Purbasari diminta menunggu di jip dengan janji, aku tidak melukainya.

"Oii, Indrajaya, katanya mau adu tampan!" kataku kesal. "Jantan tidaklah, anjeun lari meninggalkan istri."

Aku mengalahkan sejumlah pengawalnya dengan tembakan high voltase dan ada yang tangan kosong.  Ira yang menjagaku diminta Ambu  ganti takjub.  Kami ke ruangan atas dan terkejut ketika dalam sebuah ruangan menemukan Indrajaya sudah terikat di sebuah ruangan. 

Purbaendah dan Bagus melihat aku sambil melambaikan tangan.

"Tanda damai dari kami. Pengkihanat kakakku!" teriak Purbaendah, dia menjewer telinga iparnya. "Pengecut!"

Purbaendah berpakaian seperti orang Titanium juga Bagus. Purbaendah tidak ubahnya seperti gadis Titanium. Dia sepertinya sudah lama menantikan hal ini.

"Bagus, Purbaendah, kita omong-omonglah! Semua bisa dirundingkan!"

"Jangan sekarang, besok pagi  kami tunggu di Ganesha. Hanya kau dan Purbasari. Bawa teteh Ira dan teteh Mayang dan bilang ada yang menunggunya di sana. Tapi urusan lain!"

Aku mau mengajar, tetapi motor capung terbang milik Bagus berboncengan dengan Purbaendah sudah melesat.  Aku hanya bisa melihat mereka dari balkon. Tampak ada beberapa motor capung terbang ikut menyapu pasukan asing dari Indrajaya, sebelum mengikuti Bagus dan Purbaendah.

Di bawah, hanya tinggal Samuel dan Brutus berkelahi dengan muka saling babak belur.  Tapi akhirnya  Samuel merobohkan musuhnya dengan tangan kosong.

"Popeye menang!" teriaknya.

Di beberapa bagian kota masih terjadi pertempuran baik antara orang Kabandungan dengan orang asing, maupun orang-orang Pasir Batang dengan tentara asing.

Sore hari kami memastikan pasukan Indrajaya sudah dihancurkan.  Ada banyak bangkai tank dan mobil rakitan baja, semua terbakar.  Bahkan ada helikopter yang pecah di jalan. Jelas ada yang membantu kami. Mungkin Bagus dan Purbaendah. Tapi apa hanya mereka berdua?

 Korban dari pasukan Indrajaya seratus orang, lima puluh ditawan dan Titanium kehilangan lagi satu orang, sementara orang Pasir Batang kehilangan puluhan orang gugur atau luka.

Faisal, Rani, Budiman dan Jane datang ke Gedung Sate sore hari. Kami makan apa adanya.

"Apa? Bagus dan Purbaendah meminta anjeun sama istri  berdua saja. Teteh Ira dan teteh Mayang juga?" ujar Samuel geleng-geleng kepala. "Apalagi agenda mereka!"

"Percaya. Nggak ada pilihan!"

Teteh Ira dan tetah Mayang mengangguk. "Kami dibolehkan ikut? Kanaya menunggu di sana?"

Aku mengangguk. 

Rapat memutuskan Samuel, Sisil, Mamo mengikuti dari jauh.  Kami tidur di rumah yang terbengkalai tetapi masih bisa dihuni untuk pertama kali bagi siapa pun, baik orang Pasir Batang, maupun dari Titanium, tempat tidur asing.  Rumah yang hanya bisa kami lihat dalam dokumentasi sejarah.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun