"Sekalian kami mau memberikan penghormatan pada rekan-rekan kita yang lain," kata Sisil.
"Bagaimana dengan jenazah suamiku," ucap aku dengan nada sedih.
"Sudah dibawa orang-orang Atlantis ke selatan," bisik Ginanjar.
Setelah makan kami memakamkan Andrian di tempat yang direncanakan. Harun memimpin doa. Â Kanaya ikut dan berdiri di sampingku. Â Taruma, Iskanti, Andiran dikuburkan jauh dari tempat kelahirannya, tetapi di tempat asal nenek moyang kami, Bumi. Â Entah ini bisa dibilang tragis atau tidak.
Kanaya tidak tampak takut. Justru aku yang takut, anak ini jadi biasa melihat kematian karena perang dan itu berpengaruh pada jiwanya. Â Di samping Andrian, kerajaan kehilangan sepuluh orang lainnya. Â Mereka juga dimakamkan di tempat yang sama. Â Aku baru tahu bahwa kerajaan sudah kehilangan hampir seratus orang dalam dua perang dengan Atlantis.
Secara militer jumlah itu kecil, karena Atlantis malah kehilangan tiga kali lipat. Â Itu kabar dari punggawa yang mendampingi kami.Â
"Satu persoalan, bagaimana kita kembali ke Titanium dengan Elang dan anak ini atau tanpa mereka, sementara pesawat kita rusak?" tanyaku.
"Nanti kami betulkan, kerusakan hanya pada pintu," ujar Mamo.
 "Sebetulnya ada Guru Minda Delapan di danau, bisa dipakai. Pertanyaannya, bagaimana mengeluarkannya," kata Andrian.
"Solusi yang lain," sahut Mamo.
Kami berpisah, Mamo dan Sisil menggunakan motor capung kembali ke lokasi pesawat. Daerah itu sudah direbut kembali oleh orang-orang Parahyangan. Mereka membawa perbekalan.