Sang Kuriang geram. "Hiyang menolong kita?"
"Tidak, kebetulan. Kecerobohan pasukan mereka," kata Ginanjar.
Hari itu kami beristirahat di istana. Aku melihat Harun, Ginanjar salat di ruangannya. Mungkin mereka sudah melakukan sejak kemarin. Sementara aku belum bisa karena berhalangan. Ira sebetulnya salat, tapi aku tidak lihat. Â Kami tidak memperdulikan ada di zaman mana.
Kanaya kemudian mengajak aku bermain di tepi danau. Ira tidak mau ketinggalan, karena itu juga cucu dia. Â Sang Kuriang tidak menganggu, malah dia senang.
Beri dia syarat membuat kapal untuk mengarungi danau malam ini juga. Katakan untuk bulan madu.
Ada suara yang membisikan kepadaku. Entah siapa. Hiyang?
Percayalah kami memberikan jalan keluar bagi kamu. Tapi Anakmu harus tinggal di sini. Dia dibutuhkan di sini. Begitu juga cucu kalian.
"Aku ingin kapal untuk mengarungi danau Sri Paduka Sang Kuriang, " pintaku.
Sang Kuriang terdiam. Dia memegang tanganku. "Kalau itu syaratmu, dikabulkan! Malam ini juga aku kerjakan."
Membuat kapal dalam semalam? Aku takjub.