"Sok ...!" Mereka meminta kami mengikuti.
Ada delapan hingga sepuluh orang. Sebetulnya dengan pelontar listrik kami bisa melumpuhkan orang. Sumpah aku mendengar kata Sang Kuriang, Itu peran yang sering dibawakan Elang. Apa mungkin? Urang kahyangan? Kami dianggap dari langit.
Kami menelusuri punggung gunung. Kemudian menurun menelusuri jalan tak jauh dari tepi danau di pinggir hutan. Aku pernah melihat foto-foto Bandung Utara di perpustakaan, rasanya tidak selebat hutan ini. Aku terpesona memandang danau terhampar di bawah. Menurut buku dan foto harusnya itu Kota Bandung ada di dalam danau.
Matahari mulai tinggi ketika kami akhirnya tiba di tempat yang agak terbuka. Sebuah gerbang dari susunan batu menunggu kami. Sekitar dua puluh prajurit dengan seragam serupa dengan yang membawa kami menunggu.
Aku dan Ira berpandangan. Tanpa berkata, ia menunjuk bangunan gerbang itu. Persis seperti istana pasir yang dibangun Elang, Iskanti dan kawan-kawannya.
Kami digiring memasuki gerbang melalui jalan di antara rumah-rumah panggung seperti hunian kami di Planet Titanium, cuma bangunannya tanpa teknologi seperti kami. Â Apa pun itu, kami lega bertemu manusia setidaknya tidak memusuhi kami. Â Paling tidak untuk sementara.
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H