"Tampaknya iklim tropis, tapi entah di mana. Mungkin negara sudah tidak ada. Sepi begini." Ira mengemudi dengan tangkas, sebagai seorang patroli keamanan yang piawai.
"Gunung kapur makin jelas," kata aku. "Di mana ini, Ira? Betulkah kita kembali ke Bumi?"
Ira belum sempat menjawab.
"Berhenti sebentar ada sebuah gua." Suara Kapten Ginanjar dari radio.
Kami menoleh ke arah yang dimaksud sebuah gua. Beberapa sosok mahluk seperti manusia melihat kami. Seperti yang tadi mengamati kami. Tetapi kini lebih jelas. Berbeda dengan manusia mereka menggegam sesuatu mungkin batu dan kemudian dengan ketakutan menghilang dalam gua.
"Rasanya aku pernah melihat goa itu di salah satu buku digital. Bentuk mukanya, " kata dokter Harun.
"Mungkin manusia sudah punah dan mereka menggantikannya," celetuk Ira.
"Evolusi maksud kamu?" sahut Harun.
Namun Kapten Ginanjar tidak mampir meneruskan perjalanan memintas danau Barat, setelah melewati daratab kami tiba di danau kedua yang amboi tak kalah indahnya. Akhirnya kami melihat sebuah daratan di tepian danau yang rimbun dengan pepohonan. Aku memastikannya pinus, karena ada contohnya di Titanium dan di buku.
Kompas virtual sudah memberikan nokta merah konfirmasi dengan informasi di dahboard Jip Terbang.
Di Planet Titanium pinus juga ditanam oleh para perintis dan kami punya hutan kecil di Preanger Lima yang berada di tempat yang agak tinggi. Luasnya paling-paling  sepuluh hektare dan dilengkapi rumput, serta belasan rusa, puluhan kelinci yang dibiarkan lepas agar kami merasa planet Titanium seperti bumi. Sebetulnya persedian makan kami, kalau populasi mereka berlebih.