Aku bergidik. Ira, menyiapkan senjata juga.
"Manusia?" tanyaku.
"Mungkin, menyerupai..." jawab Ginanjar.
Aku menoleh dengan penuh rasa ingin tahu. Ada beberapa sosok menyerupai manusia dengan banyak bulu di atas batu. Tidak mungkin kera. Â Mereka tertengun dan kemudian menghilang masuk gua.
"Mereka takut pada kita?" ucap Mamo.
"Kalau mereka bermaksud jahat, kita sudah mati sejak tadi. Kau lihat ada jejak di sekitar pesawat? Menyerupai manusia. Mereka hanya melihat, tetapi tidak berani menyentuh apa pun," kata Harun.
Syukurlah. Dokter itu benar. Ada jejak sekitar pesawat. Jejak yang mengitari.
"Baiklah, misi kita bukan mencari mahluk itu, tetapi mencari anak-anak dari dua ibu ini dan kawan kita Taruma," Kapten Ginanjar mengingatkan.
Diputuskan Sisil dan Mamo berjaga di pesawat. Aku, Ira dan dokter Harun mengendarai jip. Sementara Ginanjar dan Andrian mengawal dengan motor capung yang juga dipersenjatai pelontar listrik.
Kami masing-masing membawa kompas virtual yang mampu menggambarkan konstur tanah tiga dimensi. Astaga atau dua danau, sebelah barat  dan sebelah timur yang nyaris dua kali lebih besar. Ada daratan seperti pematang yang cukup lebar memisahkan.Â
Tapi kompas tidak bisa menggambarkan detailnya, karena hanya lima kilometer jarak virtualnya. Â Ginanjar memberikan peta koordinat garis besar di dashboard jip diunduh dari pesawat.