Dia bersama Kopral Andrian mempersiapkan peralatan, termasuk senjata.
Kami melihat sekeliling tepian air yang luas. Amboi indahnya. Danau yang jernih dan asri terbentang luas sementara kami di perbukitan.
Cahaya matahari begitu hangat. Tetapi udaranya dingin, sepertinya kami di atas ketinggian.
Kapten Ginanjar kemudian menghidupkan peralatan pelacak, gambar Guru Minda Delapan dimasukan. Radar kemudian mencari dan memberi satu titik. Â Perangkat bahkan memberikan informasi luasnya danau. Â Panjangnya saja sampai lima puluh kilometer dan lebarnya 30 kilometer.
"Berapa kali lipat Kota Preanger Satu," ucap aku.
"Pelacak di peralatan pesawat menunjukan Guru Minda Delapan cukup jauh dari tempat ini, tetapi dalam radius sekitar tiga belas mil agak ke arah tenggara di danau kedua, sebelah timur. Kita keluarkan kendaraan motor capung dan jip terbang kita," kata Ginanjar.
"Dua danau besar? Di kawasan mana kita?" Â Ira terperanjat.
Entah mengapa disebut motor capung. Kata tetua sudah dari Gedebage seperti itu dan terus dimodifikasi. Menggunakan energi matahahari yang tersimpan untuk dua hari dua malam waktu Titanium. Jip terbang karena bisa melayang dua meter di atas tanah.
Kami menikmati makanan perbekalan dan cuci muka dengan air, walau ada risiko tubuh tidak biasa dengan iklim di bumi. Adanya air membuat kami bisa mudah buang air di tanah yang digali dan sekaligus membersihkannya. Tentu tidak di danau, karena kami diajarkan untuk tidak mencemari.
Posisi pesawat jatuh sepertinya di kaki bukit yang warnanya didominasi putih. Â Ginanjar melihat sekeliling menggunaan peralatanya untuk menganalisis jenis tanah. Informasinya ada kapur.
"Ada kehidupan di atas sana. Mereka menyaksikan kita," bisik Ginanjar.