"Gunung seperti perahu terbalik, aku juga pernah lihat di buku yang menyebut sebagai Tangkubanprahu, setidaknya mirip," kata Ira.
Aku juga pernah baca itu. Kalau benar itu Tangkubanprahu menurut buku aku baca, harusnya ada Kota Bandung kami lewati dan Gedebage asal pangkalan nenek moyang kami.
"Salah planet atau dimensi pararel?" celetuk aku.
"Atau bisa jadi Kota Bandung sudah tenggelam. Bumi sudah berubah," jawab Ira.
Kami mendarat di tepi danau. Sinyal keberadaan pesawat Guru Minda Delapan berbunyi kencang. Kapten Ginanjar memimpin kami mencari. Tapi tak menemukan.
"Tidak dalam hutan, radar dashboard capung maupun jip menandakan ada di sekitar tepian danau."
"Bagaimana kalau di dalam air."
Kopral Andrian melepaskan pakaian dan peralatannya. Dia mengambil masker yang sebetulnya untuk di bulan, tetapi bisa digunakan di dalam air. Dia mengeluarkan pakaian khusus dan memakainya. Baru menyelam.
Cukup lama, lalu keluar lagi. "Tidak terlalu dalam Guru Minda Delapan ada dalam air utuh. Tidak ada mayat. Pesawat terkunci kedap air. Seperti disembunyikan. Pertanyaannya, bagaimana cara mereka menenggelamkannya dalam air dengan begitu rapi?"
Aku dan Ira berpandangan. Artinya?
"Ada bekas lumut di badan pesawat. Kemungkinan sudah bertahun-tahun di sini," kata Andrian.