TIGA
Entah berapa lama aku pingsan. Sesuatu yang basah menyentuh wajahku. Aku segera bangun, rupanya wajah aku menyentuh tepian air. Begitu menyegarkan. Bersamaan dengan sinar matahari menerpa wajah aku.
Ketika aku membuka mata dan bangkit setengah tubuhku sudah di dalam air. Untung saja pakaian luar aku seperti teman-teman yang lain berlapis bahan tidak tembus air, sekaligus bisa beradaptasi dengan suhu dingin maupun panas.
Aku di luar pesawat, euy? Tanpa helm, yang harusnya dilakukan para penjelajah Guru Minda bila singgah di suatu planet karena belum tentu atmosfernya mengandung oksigen, bahkan bisa beracun. Tetapi kini aku bisa bernafas? Â
Aku melihat sekeliling. Guru Minda Enam terkapar rusak dengan posisi miring di atas bebatuan dan bagian yang miring dekat tepi air terlepas pintunya, Mungkin akibat benturan keras. Kursi tempat duduku bahkan sampai terlepas ikut ke luar. Pantas aku terguling hingga tepi air.
Di planet manakah ini? Setahu aku selain Planet Titanium yang bisa didiami dengan aman, hanya tempat asal nenek moyang kami, Bumi.Â
Aku segera  meraba tas yang terkait di samping bajuku masih utuh. Ada air minum, makanan dan yang penting ada pistol pelontar listrik. Segera aku memasuki pesawat. Ira segera kubangunkan, begitu juga dokter Harun, Kapten Ginanjar dan Kopral Andrian , Pilot Mamo, serta Pilot Caecilia (Sisil) masih hidup, Mereka tidak cedera.
"Alhamdullilah, bayangkan kalau terdampar di planet yang tidak ada oksigennya? Entah tubuh kita sudah pecah atau pesawat di angkasa," ucap Harun sambil sujud syukur mencium tanah.
"Ya, kemungkinan kita di Bumi. Entah di benua mana dan entah berapa ribu tahun setelah nenek moyang kita berangkat dari Gedebage," ujar Sisil.
"Pertanyaannya kalau ada di Bumi, di manakah manusia lain?" celetuk Mamo.
"Jangan-jangan manusia sudah punah," ucap Kapten Ginanjar sambil menyiapkan senapan pelontar listrik. "Bisa jadi juga di planet lain."