Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (21-22)

6 Mei 2017   21:37 Diperbarui: 6 Mei 2017   21:51 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koloni oleh Irvan Sjafari

Segmen 2

Memukul Sarang Lebah dengan tangan telanjang, Menginjak Sarang Semut dengan kaki telanjang

DUA PULUH SATU

Waktu tak diketahui, tempat tidak diketahui

Alif tak tahu jam berapa persisnya. Tetapi matahari masih menyapanya lemah lembut ketika dia berjalan menuju Rumah Mahkota. Zahra pergi ke tempat bekerja. Kehidupan yang baru sudah dimulai. Alif disambut Andro dan mengantarkannya ke tempat ruangan dengan berapa perangkat komputer dan televisi. 

Di sana dia disambut seorang pria mungkin umur 25 tahun, berkacamata, rambutnya gondrong.  Dia teringat akan Daniel teman kuliahnya.   Namun dia lebih kurus dan jangkung.

“Kamu Kak Alif, aku Anis, lengkapnya Anisoptera Odonata lengkapnya.” Dia tersenyum. “Kak Alif akan membantu saya di sini.”

“Anisoptera kan capung alias sibar-sibar…?”

“Ha...Ha…Kebetulan. Tetapi aku bukan pembuat capung rekayasa. Aku ahli IT. Aku sempat kuliah di Teknik Elektro ITB.  Ayahku menamakan aku demikian karena aku kurus seperti capung…”

“Ayah Anda, ahli serangga seperti Pak Nanang?”

Nggak tetapi lulusan pertanian. Dia kerja di sebuah perusahaan pembasmi serangga multi nasional. Pak Nanang itu teman ayahku waktu SMA.”

“Ah, kamu kan sepantaran aku sebetulnya. Tetapi mengapa aku di sini. Apakah bidadari juga yang menculikmu seperti aku?”

Anis terdiam. Tetapi kemudian dia tertawa. “Iya juga, tetapi tidak juga. Pasanganku  Harum Mawar, nanti aku kenalkan. Dia berusia sama dengan aku. “

Alif tertengun. “Rasanya aku pernah mendengar nama Harum. Bahkan pernah kenal.  Astaga juga Anis aku juga pernah dengar. Ahmadi, kawanku pernah cerita dia ikut tim penyelamat hilangnya sepasang mahasiswa pencinta alam dari Bandung, kalau nggaksalah….”

“Ha...Ha...Ha...Gagal, kan?”

“Kalau begitu...?”

“Kawin lari. Kami merekayasa hilang di gunung padahal bergabung ke tempat ini. Itu lima tahun yang lalu. Oh, ya, aku yang mengkliping tulisan-tulisan kamu waktu kuliah dan membawanya ke sini...”

“Mengapa, kalian menghilang?” Alif tahu Anis mengalihkan pembicaraan.

“Seperti Kak Alif tahu?  Kasus Harum Mawar bukan?  Dia hamil di luar kehendaknya? Kasus itu melibatkan anak orang kaya, orang berpengaruh?”

Alif tersentak.  Suatu kali warga koloni berhubungan dengan masa lalunya.

“Harum di sini?”

“Iya, dia ingin bertemu Kak Alif,” jawab Anis.

Alif sebetulnya ingat kasus itu. Kasus yang ingin dilupakannya. Ayah Harum hanya seorang petani, tidak berdaya. Tetapi dia punya otak pintar hingga mampu kuliah.

Cerita klise sih, anak orang kaya itu lolos dari jerat hukum. Bapaknya bisa bayar pengacara mahal untuk menyudutkan Harum sebagai mahasiswi yang nyambi.

“Kami dekat sewaktu sama-sama di pencinta alam.  Aku mencintai dia. Waktu itu Aku ingin mengawininya dan siap. Tetapi ayahku tidak setuju. Tetapi sebetulnya bukan aku yang diharapkannya? Sebetulnya aku juga mengharapkan orang itu jadi pahlawannya,”

Alif tertengun dan dia duduk berhadapan dengan anak yang tanpa tandeng aling menceritakan sikap hidupnya. Kisah hidup isterinya nyaris serupa dengan ibunya Zahra. Hanya saja ada pahlawan yang mau berkorban untuk dia.

“Kekuatan apa yang mendorongnya mau mengorbankan hidupnya untuk perempuan itu dan mau mengorbankan masa depannya. Cinta?” kata Alif.

“Ha...ha...ha...Yang membuat aku marah bukan karena ayahku melarang aku mengawini perempuan hamil bukan oleh perbuatan aku. Tetapi karena ayahku munafik.  Dia mengkihanati ibuku dengan menghamili perempuan lain…”

“Gila… kamu ingin memberikan keadilan pada ibumu dengan cara memberikan keadilan pada istrimu itu?”

“Kamu bisa menebak, kawan.  Tetapi aku mencintai Harum, karena dia anak bersemangat. Dia ingin jadi wartawan seperti kamu.  Ketika dia melaksanakan tugas kuliah mewawancarai putra seorang pejabat, dia dijebak. Kamu mungkin akan mengingatnya?”

“Kamu memelihara anaknya, kawan?”

“Ya, dia melahirkan di koloni ini. Selama di sini dia juga memberikan aku seorang anak lagi. Tetapi dua-duanya tetap anakku.  Oh, ya Harum juga pengagummu”

Alif terdiam. Satu ceritanya seperti bangkit dari kubur.

“Harum bertemu kamu ketika kamu masih kuliah dan ketika dia magang di sebuah harian di Bandung. Dia suka pada liputan kamu soal human trafficking. Rupanya sejak lama kamu berminat pada masalah itu.”

Alif tidak menggubris pujian itu.

“Dari mana kamu mengetahui tempat ini?”

“Aku adalah mata para orangtua untuk mencari tahu soal bayi-bayi yang dibuang, kalau tidak ada kami tampung di suatu tempat. Ketika itu sudah ada belasan bayi baru lagi dibawa ke tempat ini. Kami tidak tahu daya tampungnya.”

“Caranya?”

“Rahasia Kak! Kamu tetap orang luar, kawan. Kamu diterima di sini karena Zahra dan sebagian koloni ini ada karena berkat kamu, Kak. Harum juga ingin kamu di sini.”

“Jadi semuanya kebetulan, Aku mendapatkan kecelakaan dan terdampar di tempat ini?”

Dia mengacungkan jari telunjuk dan jempol seperti pistol ke muka Alif. “Tepat kawan. Sekarang lihat apa yang bisa kamu kerjakan.  Tetapi lihat dulu kabar televisi masih tentang kamu...”

Alif meneteskan air matanya menyaksikan berita wawancara televisi dengan ibunya mengenai kecelakaan pesawat Archipelago Airlines. Dia juga melihat Nanda mewawancarai adiknya Frisca. Alif tidak menangkap isi wawancaranya. Tetapi adiknya cemas kalau kakaknya benar-benar tiada. Masalahnya Alif tahu itu bukan siaran langsung, tetapi rekaman video. Mungkin juga diunggah dan bisa kapan saja.

Dia sebetulnya ingin kembali ke Bandung, setidaknya ingin mengabarkan bahwa ia selamat. Tetapi hati yang lain ia jatuh hati pada surga ini.

Nggak ada yang bisa menemukan kalian di sini?”

“Pertanyaan bagus. Aku dan beberapa teman membuat teknologi yang bisa membuat pulau itu tidak bisa dilihat dari satelit. Sama seperti kapal yang tidak bisa ditangkap radar. Teknologi di sini sudah tinggi kawan, tidak kalah dengan dunia luar.”

“Mereka tidak pernah menonton televisi? Bagaimana mereka mendapatkan hiburan.”

“Pertanyaan bagus. Itulah pekerjaannya Harum Mawar. Dia merancang kegiatan rekreatif setiap beberapa waktu sekali. Tentunya kakak juga heran bagaimana anak-anak mendapatkan pengetahuan seksualitasnya begitu sempurna sejak akil balik? Itu rancangan Ibu Latifah dan kemudian Harum.”

Pantas saja Zahra begitu pandai menyenangkannya. Alif terkagum. Dia pribadi sebetulnya tidak pernah mempersoalkan virginity.  Tetapi ia yakin Zahra hanya memilih dia. Namun Zahra pandai membuat dirinya seperti di surga. Masyarakat ini dirancang dengan rapi.

“Ah, bengong!” Anis meledek. “Sekalipun pandai melayani laki-laki, jangan salah sangka dulu. Perempuan di sini punya martabat, mereka hanya mau sama satu laki-laki. Dan mereka nggak suka diduakan. Tidak seperti orang-orang di dunia kita dulu, Alif,” Anis ngakak.

“Dunia kita dahulu? Memangnya aku dibawa ke planet lain?  Kalian menggunakan pesawat luar angkasa?”

Anis tak menjawab.

Di dalam ruangan itu ada dua anak muda lainnya.  Di antaranya seorang perempuan keturunan Tionghoa Lidya Wijayakusuma. Demikian yang dibaca Alif di boks ruang kerjanya.  Usianya tidak jauh dari Anis.

“Aku Lidya. Aku juga dulu kuliah di Bandung, Teknik Informatika,” katanya ramah. “Harum suka cerita tentang kamu.”

“Kamu mengapa di sini, Dik? Lari juga?”

“Berlindung. Aku dikejar laki-laki yang memaksa aku jadi gundiknya. Ayah tiri aku menjual aku. Ya, senasib dengan isterinya Kak Anis, tak berdaya.”

Lidya begitu tegar bercerita. Dia sudah kuat. Justru Alif yang menahan air mata.  Human traficking lagi.

Seorang lagi Faiz Edwin, keturunan Arab tampaknya. Kulitnya legam, kekar, tetapi pendek.

“Faiz, dulu kuliah Teknik Mesin tidak tamat. Lari ke sini untuk melindungi adik perempuan saya yang mau diperistri secara paksa.”

Warga koloni benar-benar kombinasi menakjubkan. Yang satu ingin menghindar dan melindungi. Yang kedua adalah orang-orang yang lahir tidak dikehendaki.  Pertanyaan Alif belum terjawab di mana persisnya tempat ini.

Anis mengajarkan Alif beberapa program penyusunan data, memantau berita yang ada. Selain berita misteri jatuhnya Archipelago Airlines, ketegangan politik dunia, hingga munculnya virus misterius bernama Razov.

“Dalam data ditunjukkan populasi pulau ini sudah mencapai 700 jiwa, sekitar 500 usia 15-21 tahun, generasi pertama anak-anak itu. Sisanya orang dewasa yang bergabung termasuk saya, serta anak-anak mereka.”

“Ada saatnya mereka akan punya pemimpin. Masih percaya sama demokrasi?”

“Yuup.  Demokrasi cara yang terbaik memilih pemimpin,” celetuk Lidya,

“Ada saatnya...” kata Anis.

Alif ditempatkan bagian data base, mengolah data yang di belahan dunia dan kemudian disusun kembali oleh Lidya.  Sistemnya Anis yang membuat.  Tapi hari itu Anis hanya memperkenalkan sistem.

Satu yang aneh. Semua acara televisi rekaman. Berarti bisa diambil kapan saja. Kalau begitu pertanyaannya di mana, saat ini kapan?  Berapa lama setelah dia hilang? Di tempat manakah dia? Bagaimana mereka bisa ke mari?

DUA PULUH DUA

Pemilihan Ketua Senat FIB UI

Ketika Alif Berumur Dua Puluh Satu Tahun

Sebetulnya cukup gemetar Alif berdiri di podium. Ada empat kandidat. Sebetulnya dia tidak enak melawan kawan-kawannya sendiri di HMI. Anak-anak HMI ingin calon yang super alim dan calon mereka Mustaqim Salman didukung oleh para alumni secara dana. 

Program mereka ideal, tetapi sebetulnya hanya menguntungkan kelompoknya sendiri. Hingga anak-anak HMI yang lebih fleksibel kurang menyukainya. Isu era 1980-an, menurut mereka yang fleksibel. Tidak cocok dengan dunia yang makin global.

Kubu leftian pun terpecah dua. Mereka memajukan calon yang dianggap progresif dan revolusioner. Namanya Andre Sutalaksana.  Tetapi sebagian lagi dimotori oleh Daniel dan kawan-kawan Alif dari Klub Orang Gila menganggapnya sama saja esensinya dengan Mustaqim: membela kelompoknya, bahkan punya agenda tersembunyi.

Kubu yang satu lagi perwakilan anak-anak borju ingin program senat realistis, alias pesta, pesta dan pesta. Namanya Nicolhas Mayo, dipanggil Nico. Mereka punya tempat di fakultas ini.

Jadi keputusan nekad Alif, maju tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada panas mencengangkan namun akhirnya karena butuh calon alternatif, ya didukung juga oleh berbagai kelompok mahasiswa yang berseberangan. Sekalipun pengalaman organisasi Alif nol besar.

Di mata anak-anak musala, Alif bersih. Salat rajin. Kegiatan religi kerap datang, sekalipun tidak sering-sering. Namun pandangannya kerap dianggap “aneh”. Sementara bagi anak-anal leftian, Alif dianggap bisa menjembatani persoalan mereka dengan anak-anak masjid yang selama ini memecah gerakan mahasiswa. Walaupun mereka sendiri ragu, bagaimana praktiknya.

“Gila luhLif, sebetulnya motivasi luh apa sih? Majunya last minutes lagi.  Tapi kami sudah kesal sama Andre, arogan merasa pintar. Dalam diskusi nggak pernah mau ngalah. Sama saja dengan si Mustaqim,” ujar Daniel.

Gacoan luh, anak Jepang itu, namanya Ningrum Olivia itu mendukung nggak?  Lagian luhnekad dekatin anak orang kaya itu,” celetuk Yola.

Alif tidak menjawab. Dia sudah senang sebagian teman-temannya di HMI mau kumpul dengan anak-anak leftian. Mereka tidak lagi mempersoalkan ideologi.

Program kerja Alif mencakup kedua pihak dengan cukup memuaskan.  Sekalipun tim suksesinya cukup cemas karena Alif hanya konsultasi beberapa kali dan tiba-tiba sudah jadi.

“Tapi bisa juga luh bikin program, “Achmady menggelengkan kepala. Dia sebetulnya paling stress. Di sampingnya Ikhsan Maulana, salah satu pentolan anak masjid mengangguk puas. “Pas sih… luh mau bikin festival film Islam dari berbagai negara muslim, bahkan dari negara Barat yang bercerita tentang kehidupan muslim pun.  Rinci sekali. Nggak kayak Mustaqim, kaku banget bikin program. ”

Luh mengartikan film religi dari berbagai sudut pandang. Kalau begitu yang non muslim pasti mau datang,” kata Yola. “Memangnya enak dijejali film Hollywood terus nih otak.  Gila luh menyebutnya film L’hainedari Mathieuw Makovitz tentang orang Aljazair yang ditindas di Paris sebagai film Islam.”

Tiba saatnya dia mengemukakan program visi dan misi. Alif dengan agak gugup maju di podium.  Dia melihat tim suksesinya lengkap. Sementara lawan-lawannya juga sudah siap melahapnya. Pandangan mereka menganggap remeh.  Alif tidak peduli. Yang penting yang paling disenanginya Ningrum, gadis yang ditaksirnya juga menatapnya dari bangku belakang. Dia rupanya ingin mendengarkan pula.

“Seharusnya kampus cermin realitas masyarakatnya, bukan hanya sebagai tempat elite intelektual yang bisa berkoar tetapi tidak bisa mempraktikkan apa yang dikatakannya.  Untuk itu visi dan misi saya mencerminkan realitas yang ada dalam masyarakat dalam ruang lingkup kampus. Untuk itu kegiatannya juga harus pas...”

Daniel dan Ahmady berbisik.“Mudah-mudahan dia tidak ngawur.”

Ikshan Maulana juga ada di samping Nola. “Ayo, sentuh soal Islam…” harapnya.

“Islam tidak memusuhi agama lain. Islam adalah rahmatan alamanin. Musuh besar Islam adalah keserakahan.  Untuk itu saya menawarkan kegiatan seperti diskusi antara penganut Islam dan agama lain memecahkan persoalan yang kongkrit bagi masyarakat. Bagaimana memberdayakan masyarakat, bukan seperti sinterklas. Bukan lagi mempersoalkan masalah teologis yang debatnya tidak pernah habis selama berabad-abad….”

Piuuh, benar juga…” bisik Yola.

Mereka menyadari seorang perempuan muda yang asing bagi mereka hadir. Di sampingnya seorang pria bertubuh tinggi kurus.Perempuan itu berambut melewati sebahu. Tingginya sekitar 158 cm dengan berat ideal, ditaksir 50 atau 51 kg. Dia begitu seksama memperhatikan pidato itu. Tampaknya masih di tingkat satu. Di sampingnya pria bertubuh jangkung, kurus.

“Siapa mereka? Bukan anak FIB bahkan bukan anak UI?”

“ Oh. Itu.Tamunya anak-anak Mapala. Mereka dari Bandung..”

Tiba di forum tanya jawab. Perempuan itu menyerobot duluan mengacung jarinya.

“Harum Semerbak Mawar. Saya bukan anak FIB UI.  Saya dari Fakultas Ilmu Komunikasi di Bandung, Jurusan Jurnalistik. Saya boleh ikut bertanya pada Kang Alif…?”  Suaranya lantang.

Satu podium seolah terdiam. Pertama suaranya terdengar berwibawa dan dia perempuan. Namanya juga tidak lazim den membuat beberapa mahasiswa tertawa tertahan. Tetapi moderator menyilahkan.

“Kita kedatangan tamu dari Bandung.  He...dia boleh bertanya.”

“Bagaimana pandangan Kang Alif soal apakah perempuan lebih lemah dari laki-laki?  Bukankah Kitab Suci menempatkan laki-laki pemimpin perempuan. Lalu bagaimana programnya untuk perempuan.. ?”

Pertanyaan sebetulnya untuk diskusi bukan kampanye ketua senat. Daniel, Yola, Achmady, serta Ikshan Maulana tersentak.

“Mmmmh… menurut saya memang ada kalanya benar perempuan lebih lemah dari laki-laki pada saat tertentu. Misalnya ketika mendapatkan haid, sedang hamil. Tetapi lemahnya perempuan dari laki-laki lebih banyak soal persepsi. Karena sejak kecil mereka disosialisasikan demikian.

Perempuan diberikan boneka, tidak boleh main perang-perangan. Bagaimana kalau sebaliknya? Saya misalnya belajar Bangau Putih dan banyak perempuan di perguruan saya yang jago silat.  Saya pernah menyaksikan seorang karateka perempuan menghajar preman pasar. Jadi perempuan tidak lemah.

Kalau soal pemimpin itu kan yang dimaksud pemimpin dalam rumah tangga. Sampai saat ini saya mengakui soal menasipasi dan kesetaraan gender. Tetapi laki-laki tetap imam dalam rumah tangga dengan memberikan kekebasan berekspresi pada isterinya. Seberapa besar berekspresinya, bergantung kesepakatan. Bukankah rumah tangga itu komitmen?  

Nah kalau pemimpin dalam Republik, itu beda. Pemimpin dalam Republik  seperti ini, tidak tunggal, tetapi ada eksekutif, legislatif, yudikatif.  Bukankah Kesultanan Aceh dulu pernah dipimpin perempuan? Lalu kalau perempuan hanya eksekutif, lalu apa masalahnya?

Kalau soal program, saya bisa saja membuat kegiatan lomba memasak untuk laki-laki dan lomba perang paintball untuk perempuan. Kalau perlu main paintball lintas gender untuk membuktikan, apakah perempuan benar-benar lebih lemah dari laki-laki? Kawan saya Ahmady tahu bertapa berbahayanya Inong Balee waktu Perang Aceh?”

“Juga waktu GAM,” celetuk Ahmady.

“Nah, bagi saya tidak salahnya kalau suami dan isteri bisa di dapur dan semua bisa ke luar, sama-sama mencari nafkah?”

Naïf sih.  khsan Maulana khawatir bisa  jadi bumerang bagi Alif. Tetapi Harum tampaknya mendengarkan dengan baik. Dia kemudian berkata dengan pandangan tajam.

“Kalau seandainya konstruksi itu dibalik bagaimana? Bagiamana kalau kami berkuasa dan membalikan itu semua?”

“Calon feminist ini anak,” bisik Daniel.

Alif memberikan jempol. “Saya menghargai pandangan adik Harum. Tetapi kalau kau melakukan hal itu, sebaiknya…jangan kau melakukan. Cukup dalam wacana. Kalau kamu melakukan hal itu maka adik Harum seperti memukul sarang lebah dengan tangan telanjang dan menginjak sarang semut tanpa alas kaki. Kamu membuat kegaduhan besar dan mungkin kamu harus melakukan revolusi.  Kemungkinan itu juga ada, keruntuhan patriaki bisa terjadi kalau jumlah laki-laki terlalu sedikit.”

“Mulai di awang-awang,” bisik Daniel.

Moderator langsung memotong karena dianggap tidak relevan. Tetapi Harum merasa tidak perlu protes Dia tampaknya  puas dengan jawabannya. Lelaki di sampingnya menariknya. “Keumaha...ini kampus orang tahu!”

“Kang Alif masih separuh patriaki,” katanya. Kemudian dia pamit.

Harum pulang. Gara-gara perdebatannya dengan Harum. Alif dibantai habis-habisan sebagai seorang feminist dan tidak realistis. Namun perdebatan itu memancing marah Yola, apalagi pendukung Andre bahwa rata-rata perempuan sulit untuk diajak berdaya.

Seminggu kemudian penghitungan suara. Mustaqim mendapatkan 448 suara dan Alif mendapatkan 415 suara. Itu karena  Andre dan Nico mengundurkan diri sebelum penghitungan suara. Mereka memberikan suara pengikutnya untuk Mustaqim. Kalah. Tetapi kubu Alif puas.

Prek”. Yolanda mencibir meledek gambar Andre dengan lampiran surat pernyataan mengundurkan dirinya. “Dasar laki-laki! Munafik.! Sok kiri! Sok pro emansipasi! Mengaku intelektual muda! Di forum  ketahuan dia menunjukkan superioritas laki-lakinya dan dia takut Alif mendapatkan suara perempuan di FIB yang menjadi mayoritas. Sayang Ningrum tidak memihak kita, dia sebarkan gosip tentang kecengengan Alif dengan dia dan itu kelemahan teman kita. Perempuan… ”

“Saya sudah dapat feeling tentang anak itu . Tipe senior-seniornya, radikal di kala mahasiswa, ketika sudah naik dia menjadi konservatif,” gumam Daniel.

Alif yang berada di sebelah mereka malah seperti  tersenyum lega.

“Mengapa sih luh malah senang kalau kalah? Seperti apa sih motif luh maju pemilihan,”

 Sebetulnya patah hati sih? Gueditolak Ningrum….” bisik Alif.Dia mengira teman-temannya bakal marah.

Daniel malah ngakak. Teman-temannya juga tertawa. “Gile luh! Jadi mereka begitu serius melawan orang yang patah hati! Guebayangin  muka Mustaqiim dan Andre bila tahu, bisa nyengirseperti  kuda mendengarnya. Tapi kayaknya luhsudah punya pengagum. Mengapa tidak kau kejar saja ke Bandung? Dia smart, mendingan dia dari Ningrum menurut gue sih?”

“Iya, Lif, anak tingkat satu. Gue kan Mapala, dia anak pencinta alam juga. Bisa gue dapatkan info buat luh?Bagaimana?” Achmady menghibur Alif.

“Entahlah Bro! Rasanya ada yang menakutkan di matanya. Aku menatap matanya dalam beberapa detik. Dia sepertinya bukan bidadari impianku. Selain itu aku rasa ada yang dia inginkan dari aku dan itu bukan cinta. Feelingaku, dia mungkin terkait dengan hidupku nanti. Tetapi bukan sebagai pasangan kekasih…”

 “Woow.wwoow. !” kata Achmady. “Sok futuristik..Milih-milih..!”

“Tapi aku setuju kita ke Bandung. Kan rumah aku di sana. Kalian bisa menginap di rumah kakak ibuku selama dua atau tiga hari mumpung belum ujian. Bolos kuliah sekali-sekali?”

“Ok! Bro!” Ahmady dan Daniel merangkulnya. 

(BERSAMBUNG)

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun