“Siapa mereka? Bukan anak FIB bahkan bukan anak UI?”
“ Oh. Itu.Tamunya anak-anak Mapala. Mereka dari Bandung..”
Tiba di forum tanya jawab. Perempuan itu menyerobot duluan mengacung jarinya.
“Harum Semerbak Mawar. Saya bukan anak FIB UI. Saya dari Fakultas Ilmu Komunikasi di Bandung, Jurusan Jurnalistik. Saya boleh ikut bertanya pada Kang Alif…?” Suaranya lantang.
Satu podium seolah terdiam. Pertama suaranya terdengar berwibawa dan dia perempuan. Namanya juga tidak lazim den membuat beberapa mahasiswa tertawa tertahan. Tetapi moderator menyilahkan.
“Kita kedatangan tamu dari Bandung. He...dia boleh bertanya.”
“Bagaimana pandangan Kang Alif soal apakah perempuan lebih lemah dari laki-laki? Bukankah Kitab Suci menempatkan laki-laki pemimpin perempuan. Lalu bagaimana programnya untuk perempuan.. ?”
Pertanyaan sebetulnya untuk diskusi bukan kampanye ketua senat. Daniel, Yola, Achmady, serta Ikshan Maulana tersentak.
“Mmmmh… menurut saya memang ada kalanya benar perempuan lebih lemah dari laki-laki pada saat tertentu. Misalnya ketika mendapatkan haid, sedang hamil. Tetapi lemahnya perempuan dari laki-laki lebih banyak soal persepsi. Karena sejak kecil mereka disosialisasikan demikian.
Perempuan diberikan boneka, tidak boleh main perang-perangan. Bagaimana kalau sebaliknya? Saya misalnya belajar Bangau Putih dan banyak perempuan di perguruan saya yang jago silat. Saya pernah menyaksikan seorang karateka perempuan menghajar preman pasar. Jadi perempuan tidak lemah.
Kalau soal pemimpin itu kan yang dimaksud pemimpin dalam rumah tangga. Sampai saat ini saya mengakui soal menasipasi dan kesetaraan gender. Tetapi laki-laki tetap imam dalam rumah tangga dengan memberikan kekebasan berekspresi pada isterinya. Seberapa besar berekspresinya, bergantung kesepakatan. Bukankah rumah tangga itu komitmen?