Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (21-22)

6 Mei 2017   21:37 Diperbarui: 6 Mei 2017   21:51 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Koloni oleh Irvan Sjafari

“Pertanyaan bagus. Aku dan beberapa teman membuat teknologi yang bisa membuat pulau itu tidak bisa dilihat dari satelit. Sama seperti kapal yang tidak bisa ditangkap radar. Teknologi di sini sudah tinggi kawan, tidak kalah dengan dunia luar.”

“Mereka tidak pernah menonton televisi? Bagaimana mereka mendapatkan hiburan.”

“Pertanyaan bagus. Itulah pekerjaannya Harum Mawar. Dia merancang kegiatan rekreatif setiap beberapa waktu sekali. Tentunya kakak juga heran bagaimana anak-anak mendapatkan pengetahuan seksualitasnya begitu sempurna sejak akil balik? Itu rancangan Ibu Latifah dan kemudian Harum.”

Pantas saja Zahra begitu pandai menyenangkannya. Alif terkagum. Dia pribadi sebetulnya tidak pernah mempersoalkan virginity.  Tetapi ia yakin Zahra hanya memilih dia. Namun Zahra pandai membuat dirinya seperti di surga. Masyarakat ini dirancang dengan rapi.

“Ah, bengong!” Anis meledek. “Sekalipun pandai melayani laki-laki, jangan salah sangka dulu. Perempuan di sini punya martabat, mereka hanya mau sama satu laki-laki. Dan mereka nggak suka diduakan. Tidak seperti orang-orang di dunia kita dulu, Alif,” Anis ngakak.

“Dunia kita dahulu? Memangnya aku dibawa ke planet lain?  Kalian menggunakan pesawat luar angkasa?”

Anis tak menjawab.

Di dalam ruangan itu ada dua anak muda lainnya.  Di antaranya seorang perempuan keturunan Tionghoa Lidya Wijayakusuma. Demikian yang dibaca Alif di boks ruang kerjanya.  Usianya tidak jauh dari Anis.

“Aku Lidya. Aku juga dulu kuliah di Bandung, Teknik Informatika,” katanya ramah. “Harum suka cerita tentang kamu.”

“Kamu mengapa di sini, Dik? Lari juga?”

“Berlindung. Aku dikejar laki-laki yang memaksa aku jadi gundiknya. Ayah tiri aku menjual aku. Ya, senasib dengan isterinya Kak Anis, tak berdaya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun