Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (11-12)

1 Mei 2017   10:02 Diperbarui: 1 Mei 2017   10:16 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEBELAS

Suatu tempat tak diketahui.Waktu tak diketahui.

Alif terjaga dari tidurnya. Dia bermimpi ada di Bandung, di rumah orangtuanya. Namun kini dia terjaga pada waktu subuh dengan badan yang cukup lelah.  Zahra membangunkannya dengan ciuman di keningnya.

Dia segera melupakan mimpinya. Yang diingat justru dia baru tidur pukul tiga pagi. Berarti Berarti hanya dua jam tidur.  Yang diingatnya Zahra menjadi bidadari yang tak pernah dilupakannya dan dia menikmati madu yang lebih manis dari minuman yang kemarin seperti dijanjikan Zahra.

“Selamat pagi Kakanda, suamiku. Belahan jiwaku,” katanya sambil cekikan. “Bukankah kita harus Salat Subuh? Mandi sana, nanti salatnya nggak sah,”

Alif terperanjat. Apa yang dialaminya bukan mimpi. Dia segera ke kamar mandi. Rupanya istrinya baru selesai mandi.

“Ditunggu ya, Imamku.” Terdengar gelak tawa renyahnya.

Alif merasa menjadi lelaki sempurna pagi itu. Setelah salat, Zahra menyediakan sarapan semacam roti yang dirasakannya seperti dibuat dari campuran beras dan gandum.  Zahra mengolesnya dengan semacam selai terbuat dari campuran madu dan buah.

Alif mengunyah rotinya sambil menatap mata yang bening itu. Zahra balas melihat dengan sorotan yang lebih tajam. Iseng Alif menggesek kakinya Zahra dengan kakinya. Perempuan itu membalas menggesek, dengan pandangan mata yang tak lepas.

Rambutnya lurus, ada sedikit ikal tampak indah di matanya. Sorotan matanya paling menggelisahkan karena terekam di memorinya sejak pertemuan di gedung misterius itu.

“Zahra. Kamu kah perempuan yang memakai topeng cahaya itu? “

Dia mengangguk.

“Seram sekali cara kalian menerima tamu?”

Zahra tak segera menjawab terus melihat seolah dia sudah menjadi mainannya.  Tangannya menopang dagunya agar bisa melihat Alif lebih kuat.

“Seram yaa? Aku suka melihat kakanda ketakutan. Tahu nggak, aku tertawa setelah itu.”

“Lalu kok pakai ditiup? Pakai apa? Aku langsung lemas.”

“Serbuk dari sebuah tanaman di tempat ini.  Cahaya ini juga dari bahan yang ada di tempat ini. Agar calon pangeranku tidak bisa melihat aku secara jelas. Aku bisa dan aku memutuskan kakakanda benar-benar pangeranku yang aku mimpikan atau tidak.”

“Kalau tidak?”

“Banyak tanya. Nanti kakanda tahu sendiri. Banyak waktu untuk itu.”

Tempat ini? Pulau? Negeri? Atau?

Zahra terus melihat. Alif jadi canggung. Tetapi dia tetap mengunyah rotinya sambil meneguk air yang dituang Zahra.

“Zahra Putri Fajar, rasanya aku pernah ingat nama itu. Tetapi aku lupa. Apa Déjà vu…”

Déjà vu? Zahra juga pernah lihat wajah kakanda dalam mimpi.”

Mereka semakin intim. Alif mendekatkan wajahnya ke wajah perempuan itu. Zahra tak menghindar sekalipun wajah mereka hanya tinggal berapa senti. Namun ia berkata tanpa bergerak sedikit pun.

“Kakanda mau melihat Rumah Mahkota. Nanti kan kerja di sana? Setelah pulang Kak Alif boleh lihat tempat Zahra kerja.  Hari ini Kak Alif dapat jawaban pertanyaan yang ada di hati Kak Alif. Walau tidak semua.”

Alif menerima ajakan tangan Zahra. “Aku ganti pakaian dulu. Kamu juga ikut. Jangan macam-macam dalam kamar, ya? Jangan sampai kita jalan terlalu panas. Pagi enak buat jalan keliling.”

Zahra kemudian memakai kain penutup kepalanya, tidak terlalu rapat. Tetapi masih memperlihatkan sedikit rambutnya. Dia mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang berwarna oranye cerah dengan border kuning. Bajunya punya terusan yang membelah hingga ke lutut, hingga sekilas tidak terlalu memperlihatkan lekuk tubuhnya. 

Alif mengenakan baju yang hampir serupa. Dia juga mengenakan penutup kepala juga berwarna oranye. Sepatu yang mereka kenakan juga berwarna biru, tampaknya dari campuran kulit mungkin kelinci dengan lapisan kain tebal di dalamnya. Alasnya kemungkinan karet.

“Tidak terlalu banyak beda ya, pakaian laki-laki dan perempuan?”

“Memang penting bagi kak Alif? Kami tidak pernah meributkan hal ini kakanda. Setiap orang sudah punya pasangannya ketika mereka merasa sudah ingin menikah.  Kalau belum menikah memang pakaiannya beda.  Juga yang kecil-kecil.”

  

“Kalian menjodohkan.”

“Tidak kakanda. Biar mereka sendiri menentukannya.  Ayah dan ibu mereka tidak akan memaksa.”

“Jadi, kamu yang memutuskan memilih aku?”

Zahra melihat Alif dengan sorot mata tajamnya dan galak. Tapi kemudian menahan gelak. “Nggak nyesal, kan?”

Zahra tidak perlu menunggu jawaban Alif.

Mereka keluar bersama. Alif tidak tahu jam berapa sekarang.  Seperti serangga, mereka tahu tugas masing-masing. Ada yang pergi ke kebun. Mereka terbang dengan sayap kupu-kupu memetik buah. Entah bagaimana menggerakan sayap itu.

“Bagaimana caranya?”

“Itu pekerjaaanku.  Aku kerja di bagian teknik. Nanti aku jelaskan. ”Zahra terus berjalan.

“Kamu juga yang buat kendaraan lebah dan kereta semut itu?”

Zahra mengangguk. “Tentunya bersama teman-teman lain.”

Perempuan ini menyembunyikan banyak potensinya. Dia tetap rendah hati untukku. Alif bergumam. Benar-benar tipenya. Mungkin tomboi, tetapi masih tampak dominan feminin. Dia merasa semakin kerasan tinggal di tempat yang dianggapnya surga.

Alif juga melihat beberapa remaja seusia Zahra membersihkan jalan dengan kendaraan seperti semut. Laki-laki dan perempuan. Rasa ingin tahunya besar.  Dia melihat bangunan lain menjadi sekolah buat anak-anak kecil. Entah apa yang diajarkan. Tetapi ada yang bertugas sebagai guru.

“Ada berapa anak-anak kecil di sini?”

“Seingat aku ada puluhan,  laki-laki dan perempuan umur 5-7 tahun. Mereka semua lahir di sini.”

“ Kamu?”

Zahra tak menjawab. “Kakanda akan tahu jawabannya nanti di Rumah Mahkota. Tempat para orangtua. Atau kakak sebetulnya sudah tahu.”

Delapan laki-laki dan tujuh perempuan. Berarti ada satu di antara anak-anak itu tidak mendapat pasangannya.

 Menghitung apa? Kami yakin ada pasangan masing-masing akan selalu begitu. Sudah ada yang mengatur. Kakak tahu, kan? Masih ada beberapa bayi. Aku nggak ingat jumlahnya. Ada juga sepantaran aku yang belum punya pasangan. Ada di antara kami yang ditugaskan mengasuh, selagi ayah dan ibu mereka bekerja.”

 “Hebat.” Alif kian terkagum bagaimana negeri ini menata rakyatnya.

“Kamu ingin punya anak, kan?” godanya.

Di ujung jalan seorang remaja pria menunggu keduanya. Andro. Dia mengenakan busana berwarna kuning keemasan. Mereka menuju sebuah bangunan kubah besar berwarna putih. Gedung itu tidak dijaga sekali pun mungkin pusat pemerintahan. Lagi pula buat apa dijaga? 

Mulanya Alif melihat dinding kubah itu rapat. Tetapi begitu mereka naik tangga dan menginjak teras, salah satu dinding membuka. Ruangan utama berwarna putih.  Alif menggigil dan dia ingat sekali ini tempat pertama di pulau ini yang ia singgahi. 

Memorinya kembali memutar ketika Zahra meniupkan serbuk itu. Tiba-tiba dia ingat sewaktu dia mengapung di laut, pesawat itu hilang.  Mungkin meledak.   Mungkin langsung tenggelam.  Ada beberapa penumpang yang mencoba mengapung. Entah berapa lama. Lalu ada belasan kupu-kupu raksasa berbadan manusia entah dari mana datangnya bertubuh manusia. Dua di antaranya menarik dirinya.

“Sudah terkonfirmasi, kan Kakanda?  Kakanda ingat semua. ”Zahra menatapnya.

“Kamu yang ikut menarik setelah mengamati.”

“Aku dan Kak Andro. Kami sudah melihat waktu kendaraan kakanda jatuh terbakar dari pulau.”

Andro mengangguk.  Mulanya para orangtua melarang kami membawa orang asing ke pulau ini. Tapi Zahra berkeras bahwa dia yakin ada pangerannya di dalam pesawat itu. Sepertinya kalian terhubung secara batin.”

“Para orangtua mulanya ragu. Tetapi setelah kami membawa kakanda. Di antara mereka ada yang mengenali kakak dengan baik.”

Alif sebenarnya ingin menangis.

Seorang pria tua muncul dari dinding. “Benar Alif. Dia bayi yang kamu tolong delapan belas tahun yang lalu. Dia balasan atas budi kamu.”

Alif terperanjat dan mengenali orangtua itu.

“Profesor Nanang Sumarna… “

Rasa ingin tahu pertamanya telah terjawab. Pertanyaannya selanjutnya. Siapa merancang masyarakat ini?    Nanang Sumarna mengajak Alif ke dalam. Dia meminta Andro menunggu di luar mengizinkan Zahra mengikuti suaminya. Nanang tahu apa yang ada di benak Alif. 

DUA BELAS

Fakultas Ilmu Budaya UI

Ketika Alif berusia 20 tahun

Pukul 06.30 Alif menyeruput kopinya. Masih ada waktu satu jam sebelum masuk kuliah Seminar Sejarah Lokal.  Sebuah daypack miliknya diletakan di atas meja. Di hadapannya sebuah makalah yang baru selesai ditulis malam tadi, dibacanya ulang. Berharap bisa presentasi.

Seorang temannya muncul melempar sebuah koran Daniel. Si pemuda berambut gondrong itu duduk di depannya.

Gile juga luh!” katanya dengan muka berseri. Daniel memperlihatkan sebuah artikel yang cukup panjang di halaman 5 surat kabar itu berjudul: Akar-akar konflik: Suatu Perspektif Sejarah.  Gue ngak sengaja membuka sebuah koran sore kemarin, Begitu lihat nama luh, gue beli, gue baca semalaman.

Gue ngelihatluh tuh Duvergerian. Luh berangkat dari teori kelangkaan. Konflik politik bersumber dari kelangkaan.Sumber daya alam salah satu di antaranya.Luh kasih contoh perang melibatkan Amerika Serikat sebetulnya berebut minyak daripada isu mengamankan dunia dari didaktor, terorisme atau entah apalah.”  Daniel begitu berapi-api. “Cuma luh berkembang lebih jauh. Guepikir luhMasyumi tulen.”

“Islam tidak menghalangi orang menjadi kaya. Islam hanya tidak menginginkan orang serakah. Itu saja perbedaan guedan pemikiran teman-teman. Kalian mungkin…”

“Ya, kami leftian. Tetapi akhir guengerti, luh tuh sosialis religius.”

“Inilah kompleksitas species manusia. Kalau pada hewan lain bahkan masyarakat primitifperkelahian disebabkan oleh perebutan wilayah perburuan atau sumber makanan, maka pada manusia modern lebih kompleks.”

“Perebutan energi untuk kelompok masyarakatnya, itu yang luh tulis?”

“Nah di situ luh mengadopsi Darwin.”

Alif mengambil nafas. “Manusia adalah spesies yang paling serakah.  Manusia adalah spesies yang mempunyai dua sisi. Sebagai spesies sosial maupun spesies yang paling buas di muka bumi. Karena sifanya ini larinya macam-macam, mulai eksploitasi sesama manusia hingga kerusakan lingkungan hidup.”

Guebaca lagi.  Kalau semua keinginan manusia dipenuhi, tentu sulit.  Mulai dari kebutuhan dasar seperti makan, seks dan naluri agresifitas yang luhbilang stres, kemarahan hingga lebih kompleks maka tidak akan ada perang bahkan tidak akan ada konflik antar manusia. Luh bilang manusia bisa teratur seperti serangga social. “

Guesebetulnya sudah lama mengagumi serangga Niel, sudah lama… gue heran kok lebah-lebah bisa rukun dalam koloninya. Sekalipun serangga sering membuat gue sebal.Apa manusia bisa dibuat seperti itu?”

“Maksud luh rekayasa sosial?”

“Apa mungkin?  Setidaknya dalam bentuk yang lebih kecil.”

Diskusi putus setelah Yola datang. Rupanya dia ada kuliah pagi ini. Cewek tomboi itu mengulurkan tangan. “Selamat gue bangga. Luhmenyebut nama kelompok kita dalam tulisan,” Dia menunjuk artikel yang sama.

Anjrit luh tahu juga,” celetuk Daniel.

“Kan kita satu spesies,” sela gadis itu tersenyum.

Dia duduk di samping Alif.

Luh ada kuliah apa pagi ini?” sapa Alif.

“Sinema Prancis. Mata kuliah favorit gue.Lagipula gue kan ingin buat skripsi soal Francois Ozon.”

“Besok siang kelompok kita kumpul ya di Resto Bakmi langganan kita di Margonda,” ajak Alif. “Habis gueambil honor.”

“Tumben?”  Yola tersenyum manis.

“Biasa kan ingin berbagi resources, berbagi sumber daya? Sisi sosial gue lagi bangkit”

“Sosialis religius lagi.  Ada bagian dari rezeki yang juga hak orang lain…”

(BERSAMBUNG)

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun