“Seingat aku ada puluhan, laki-laki dan perempuan umur 5-7 tahun. Mereka semua lahir di sini.”
“ Kamu?”
Zahra tak menjawab. “Kakanda akan tahu jawabannya nanti di Rumah Mahkota. Tempat para orangtua. Atau kakak sebetulnya sudah tahu.”
Delapan laki-laki dan tujuh perempuan. Berarti ada satu di antara anak-anak itu tidak mendapat pasangannya.
Menghitung apa? Kami yakin ada pasangan masing-masing akan selalu begitu. Sudah ada yang mengatur. Kakak tahu, kan? Masih ada beberapa bayi. Aku nggak ingat jumlahnya. Ada juga sepantaran aku yang belum punya pasangan. Ada di antara kami yang ditugaskan mengasuh, selagi ayah dan ibu mereka bekerja.”
“Hebat.” Alif kian terkagum bagaimana negeri ini menata rakyatnya.
“Kamu ingin punya anak, kan?” godanya.
Di ujung jalan seorang remaja pria menunggu keduanya. Andro. Dia mengenakan busana berwarna kuning keemasan. Mereka menuju sebuah bangunan kubah besar berwarna putih. Gedung itu tidak dijaga sekali pun mungkin pusat pemerintahan. Lagi pula buat apa dijaga?
Mulanya Alif melihat dinding kubah itu rapat. Tetapi begitu mereka naik tangga dan menginjak teras, salah satu dinding membuka. Ruangan utama berwarna putih. Alif menggigil dan dia ingat sekali ini tempat pertama di pulau ini yang ia singgahi.
Memorinya kembali memutar ketika Zahra meniupkan serbuk itu. Tiba-tiba dia ingat sewaktu dia mengapung di laut, pesawat itu hilang. Mungkin meledak. Mungkin langsung tenggelam. Ada beberapa penumpang yang mencoba mengapung. Entah berapa lama. Lalu ada belasan kupu-kupu raksasa berbadan manusia entah dari mana datangnya bertubuh manusia. Dua di antaranya menarik dirinya.
“Sudah terkonfirmasi, kan Kakanda? Kakanda ingat semua. ”Zahra menatapnya.