Ketika Alif berusia 20 tahun
Pukul 06.30 Alif menyeruput kopinya. Masih ada waktu satu jam sebelum masuk kuliah Seminar Sejarah Lokal. Sebuah daypack miliknya diletakan di atas meja. Di hadapannya sebuah makalah yang baru selesai ditulis malam tadi, dibacanya ulang. Berharap bisa presentasi.
Seorang temannya muncul melempar sebuah koran Daniel. Si pemuda berambut gondrong itu duduk di depannya.
“Gile juga luh!” katanya dengan muka berseri. Daniel memperlihatkan sebuah artikel yang cukup panjang di halaman 5 surat kabar itu berjudul: Akar-akar konflik: Suatu Perspektif Sejarah. Gue ngak sengaja membuka sebuah koran sore kemarin, Begitu lihat nama luh, gue beli, gue baca semalaman.
“Gue ngelihatluh tuh Duvergerian. Luh berangkat dari teori kelangkaan. Konflik politik bersumber dari kelangkaan.Sumber daya alam salah satu di antaranya.Luh kasih contoh perang melibatkan Amerika Serikat sebetulnya berebut minyak daripada isu mengamankan dunia dari didaktor, terorisme atau entah apalah.” Daniel begitu berapi-api. “Cuma luh berkembang lebih jauh. Guepikir luhMasyumi tulen.”
“Islam tidak menghalangi orang menjadi kaya. Islam hanya tidak menginginkan orang serakah. Itu saja perbedaan guedan pemikiran teman-teman. Kalian mungkin…”
“Ya, kami leftian. Tetapi akhir guengerti, luh tuh sosialis religius.”
“Inilah kompleksitas species manusia. Kalau pada hewan lain bahkan masyarakat primitifperkelahian disebabkan oleh perebutan wilayah perburuan atau sumber makanan, maka pada manusia modern lebih kompleks.”
“Perebutan energi untuk kelompok masyarakatnya, itu yang luh tulis?”
“Nah di situ luh mengadopsi Darwin.”
Alif mengambil nafas. “Manusia adalah spesies yang paling serakah. Manusia adalah spesies yang mempunyai dua sisi. Sebagai spesies sosial maupun spesies yang paling buas di muka bumi. Karena sifanya ini larinya macam-macam, mulai eksploitasi sesama manusia hingga kerusakan lingkungan hidup.”