Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Anna Lola

1 Juni 2016   18:19 Diperbarui: 2 Juni 2016   16:56 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gondangdia tempo dulu (kerdit foto cucucoret.blogspot.com)

Batavia, Agustus 1890

Perempuan. Kitab Suci bilang dia diciptakan dari tulang rusuk Adam. Dia diciptakan untuk menemani laki-laki dalam kehidupan. Dia melahirkan anak-anak kita, penerus umat manusia di bumi ini. Kadang-kadang saya bertanya: mengapa menempatkannya dalam sebuah struktur: selalu di bawah laki-laki? Apa iya, perempuan tidak bisa mengerjakan hal-hal yang dilakukan laki-laki? Siapa menetapkan perempuan lebih lemah dari laki-laki? Karena fisiknya memang lebih lemah dari laki-laki atau kebudayaan kita saja yang menempatkan laki-laki lebih kuat?

Kalau soal berani saya lihat sendiri di Kebun Binatang Cikini. Minggu pagi, tanggal sepuluh, jam sepuluh, seorang Nona bernama Gladys naik balon gas yang disaksikan puluhan orang. Sudah berkali-kali dia lakukan. Kali ini lebih tinggi sekitar 2000 kaki, kemudian dia turun di Kampung Kwitang. Minggu lalu seorang Nona 19 tahun bernama Valerie malah sempat berakrobat di atas ketinggian 20 hingga 30 depa, kemudian 200-300 depa selama 20-25 menit.

Di atas ketinggian 300 depa Nona Valerie membuka payungnya dan melepas tali balonnya tempat ia bergantung, lalu ia melayang ke kampung Kwitang. Sementara balonnya terbalik miring, keluar asap seperti kereta api dan kemudian jatuh di Gambir.

“Astagfirullah!” sahut bujang saya takjub.

Perempuan pemberani lain adalah Nona Indo bernama Anna lola. Indo seperti saya. Bapaknya orang Belanda dan ibunya Jawa, Ayahnya pemilik toko di Pasar Baru. Mereka tinggal di Weltervreden. Bedanya dengan saya, bapak saya telah lama meninggalkan ibu di Betawi, di Tanabang bersama seorang adik saya. Bapak saya kawin lagi dan tinggal di Bandung. Ibu saya mencari nafkah dengan membuka Warung di Kondangdia. Modalnya dari menjual rumah dan tanah di Tanabang. Berkat ibu saya menjadi polisi di Batavia. Kini kami bertetangga di Kondangdia.

Anna Lola mengingatkan saya seperti ibu berani berpergian sendiri. Dia naik trem ke Meester Cornelis, Tanjung Priuk, Glodok entah untuk keperluan apa. Biasanya dia tidak mau ditemani laki-laki, kakaknya sekalipun. Padahal di Tanah Betawi ini banyak pencuri, perampok yang berkeliaran. Dalam Juli ini puluhan kasus terjadi. Tetapi Anna Lola tidak gentar.

Tetapi dia berapa kali mau ditemani saya naik trem ke Glodok, kalau kebetulan saya hendak ke kantor saya dan menemui pimpinan saya Schout Glodok. Sepanjang perjalanan dia selalu memberikan senyumannya pada setiap penumpang, termasuk pada pria Slam yang bertampang seram sekalipun. Tadinya saya kira pria itu tidak mengganggu karena saya. Namun belakangan saya tahu tidak ada saya pun tidak ada yang mau menganggu Anna Lola.

Kali ini dia berbuat nekat yang lain. Turun dari trem ketika belum berhenti benar. Jantung saya dan beberapa penumpang perempuan lain terasa meloncat.

“Kamu tidak takut mati!”

Dia hanya tertawa lebar memperlihatkan giginya yang bagus. Saya suka wajahnya yang oval, kakinya yang kecil putih, tetapi kokoh. Dia selalu riang gembira. Pemberani, periang, peramah dan sopan, itu semua yang membuat saya suka pada dia. Tetapi apakah Anna Lola mau pada saya? Apa yang dia butuhkan dari saya. Kekayaan? Dia dari keluarga berpunya. Perlindungan fisik? Wah dia pernah berenang di Sungai Cliwung dan membuat kakaknya panggil opas agar dia tidak diganggu. Dia berani ke Depok sendirian naik kereta. Seorang sinyo pernah saya lihat mencolek dia. Anna tersenyum dan kemudian menamparnya.

“Saya cinta kamu Anna Lola,” Saya memberanikan diri suatu ketika mengajaknya minum di kedai kopi.

“Ruud?" dia hanya bilang begitu. Dia tidak menjawab iya atau tidak. Dia membiarkan saya menemani dia dan tidak menampik. Dia menerima saya di rumahnya. Dia menerima apa pun pemberian saya, bunga, buku,potlot dan hanya bilang, “Danks Ruud!”

Kata orang kalau perempuan diam bila dinyatakan cinta oleh seorang laki-laki, tandanya dia menerima. Masalahnya pada si Andre, sang advokat itu. Bart sang jurnalis, dia juga bersikap sama. Entah berapa koleksi bunga, buku dan potlotnya. Pantas saja halaman rumahnya penuh tanaman bunga. Kalau begitu apa yang saya berikan pada dia. Pelajaran menembak? Barangkali dia tertarik.

Dua

Dia tidak menampik tawaran pelajaran menembak dari saya. Dia tertawa gembira.”Sungguh Ruud? Kamu mau mengajarkan saya menembak?”

Kini tiap minggu saya meluangkan waktu ke Ancol, untuk berlatih menembak. Baik pelajaran bagaimana caranya menggunakan single loops maupun revolver. Dia memekik ketika saya berhasil menembak buah kelapa hingga pecah dari jarak 20 meter. Lalu dia mencoba mengisi peluru dan menembak. Luput. Setelah lima kali baru buah kelapanya kena.

“Aduh kena juga!”

Anna Lola tertawa lebar. Tertawanya yang saya suka. Kalau ada pelajaran menembak, kami pulang mahgrib di Kondangdia. Setelah berapa kali menembak, Anna Lola punya rutinitas baru. Saya menunggunya pulang dari gereja untuk pergi berburu.

“Kamu kok nggak ikut masuk ke gereja?” tanyanya.

“Saya Slam ikut ibu,” jawab saya. Sekalipun saya muslim, tetapi saya bukan yang taat.

Saya belum memenangkan persaingan. Mungkin saya menang atas Bart dan Andre. Tetapi Anna dikabarkan punya rutinitas lain dengan seorang laki-laki di Depok. Pantas dia suka ke sana. Yang kasih tahu saya seorang bek bernama Jiran.

“Nona Lola pernah bersama satu kereta api. Dia menemui seorang laki-laki di Depok,” ujar Jiran.

“Londo? Slam? Cina? Jawa?” tanya saya.

Bek Jiran menggeleng. “Mungkin juga sinyo Depok. Saya hanya melihat dari kejauhan,” sahut Jiran.

Cemburu? Mungkin. Pada Andre dan Bart saya tidak cemburu, karena saya tahu sikap Anna Lola: tak lebih dari teman. Tetapi bagaimana dengan seseorang di Depok? Tetapi saya tidak berani menanyakan hal itu pada Anna Lola. Pensaran? Tentu saja. Dia tak pernah cerita soal Depok. Tetapi ibu saya cerita Tuan Tray punya tanah di situ yang mengurus masih famili-nya Anna, Shonder namanya. Namun Shonder sendiri malah jarang ke sana. Yang kerap datang malah Anna.

Akhirnya rasa pensaran tidak tertahankan lagi. Saya ikuti Anna sehabis dia mengikuti misa gereja. Saya memilih duduk di gerbong kereta yang ada di belakangnya. Ruud, cintakah kamu pada dia? Pada schout kamu bilang sedang melakukan penyelidikan adanya kawanan orang jahat yang merencanakan perampokan, hingga saya leluasa. Bahkan diberikan uang saku.

Hari ini penampilannya agak aneh. Dia memakai celana sans kulot seperti laki-laki. Lalu dia memakai topi bak onderneimer. Sepintas dia seperti laki-laki. Dia menggunakan sepatu boots. Sepertinya dia hendak ke hutan. Anna, apa yang hendak kamu lakukan? Berani sekali dia ada di gerbong yang penuh pribumi. Tapi tak ada yang menganggu dia. Malah dia mengeluarkan gelang emasnya dan memasukannya ke saku.

Sekitar satu jam perjalanan dari Gambir, kereta kami tiba di stasiun Depok. Anna Lola berjalan agak tergesa-gesa. Seorang laki-laki Slam mengikuti dia. Saya meraih revolver dalam saku takut kalau laki-laki itu hendak berniat jahat. Oh, tidak Anna Lola malah berbicara padanya entah untuk apa. Pantas dia berani, ada yang mengawalnya. Mungkin seorang jagoan yang ia kenal. Mereka kemudian naik dokar.

Saya menyewa sebuah dokar lainnya dan meminta kusirnya mengikuti dokar Anna. Dokar yang mereka tumpangi tiba di sebuah kebun yang agak terpencil. Di sana dia ditunggu seorang Slam lain. Saya juga turun dari dokar dengan jarak seratus meter dan membayar dokar itu lebih dari ongkosnya.

“Hati-hati, Tuan, tempat itu suka ada begalnya,” nasihat sang kusir.

Berani Anna Lola rupanya. Seorang gadis Indo ditemani orang Slam masuk ke daerah begal. Polisi seperti saya harus berhitung. Saya menyaksikan di kebun itu ada sebuah pondok. Di sana Anna Lola menemui seorang Slam lainnya. Kakinya tampak buntung. Dia pakai penyanggah dari dahan pohon. Saya mengintai dari balik pohon pisang. Tiba-tiba seorang menarik tubuh saya. Seorang laki-laki Jawa.

“Tuan, mengapa di sini? Tahukah Tuan siapa laki-laki di gubuk itu?”

“Saya polisi di Batavia,” sahut saya. “Siapa kamu?”

“Mungkin kita mencari orang yang sama. Dia Hasan, orang Bantam. Dia anak buah Haji Nasiim, pemberontak durjana yang mengacau di Cilegon dua tahun lalu.”

Darah saya seperti tersedot ke ubun-ubun. Anna Lola melindungi seorang pemberontak yang terlibat pembunuhan banyak ambtenaar Eropa di Cilegon Juli 1888. Kalau ketahun apa kata orang Eropa di Batavia? Mereka tidak melupakan orang Eropa yang dibunuh tidak terkecuali perempuan dengan anak-anak. Opzinder Waterstacht dan istrinya, Asisten Residen, Sikman Syahbandar Karang Antoe, di antaranya yang tewas dalam peristiwa itu. Bantam adalah negeri yang raktanya sulit diajak kerja sama dengan gouvernment. Sejak dibubarkan Kesultanan Banten, sudah lebih dari sepuluh kali mereka membuat rusuh.

Jantung saya berdegub kencang, ketika Anna Lola akrab dengan pemuda itu.

“Aneh Nona itu mau berteman dengan dia. Saya sudah dua tahun mengintai mereka,” kata mata-mata itu.

“Mengapa tidak lapor Tuan di Batavia, kamu orang bisa dapat persen?”

“Saya tunggu temannya bernama Maulana, bangsawan Banten yang hendak membunuh Raden Pena, Regent Serang itu,” kata orang Jawa ternyata serdadu yang menyamar sebagai petani.

Aduh Anna Lola tidak merasa berdosa bergaul dengan para pemberontak itu. Dia memperlihatkan giginya yang bagus pada mereka. Yang membuat saya gemas Anna Lola membuka sepatunya dan pemuda Banten berkaki buntung itu mengukir tato di kakinya.

“Ayo Tuan, sebentar lagi banyak kawanan mereka kemari. Entah untuk apa Nona itu ada di sini. Tetapi tampaknya dia dilindungi. Ayo kita minggat,” ajak serdadu itu. “Nama saya Mulyadi. Tuan?

“Rudi Van Bastian!”

Saya tidak punya pilihan. Saya khawatir kalau ketahuan Anna Lola malah yang susah.

Tiga

Jam tujuh seperti biasanya saya berbegas dari rumah saya menuju stasiun trem untuk melapor ke kantor saya di Kota. Tetapi setibanya di Stasiun Kota, seorang perempuan yang saya kenal menunggu. Tetapi kali ini tidak ramah. Dia menggunakan gaun merah jambu yang bagus.

“Saya ingin bicara Ruud!” Dia bersuara pelan dan tidak lagi dengan senyumnya yang khas. Tatapan matanya tajam.

“Di mana? Di Kafe?”

Anna Lola menggeleng. Seorang Slam tiba-tiba mendekatiku.

“Ikut kami ke Depok Tuan,” bisiknya.

Saya hafal benda yang menempel di punggung saya, revolver.

“Ke Depok menemui seseorang yang kamu lihat kemarin,” ujarnya ketus.

“Kamu terlibat apa?”

“Bukan urusan kamu Ruud!”

“Kamu mau menculik saya?”

“Sepertinya begitu?” Anna berkata dengan entengnya.

Jujur. Ingin tahu juga saya. Kira-kira akan diapakan oleh perempuan yang saya suka. Walau agak takut tetapi saya tidak yakin Anna Lola menyuruh orang Slam itu menembak saya.

“Kalau kamu menyangka saya tidak tega. Kamu salah Ruud!” bisiknya.

Tak lama kemudian seorang Slam lagi mengapit saya. Anna lola kenal dengan masinis kereta. Kami naik gerbong khusus pribumi. Kereta bergerak menuju Depok. Saya melihat sekeliling Ada tiga orang Bantam menemani Anna Lola. Yang lebih mengejutkan lagi, Anna Lola mengeluarkan revolver dari bajunya.

“Kamu pura-pura tidak bisa menembak?” bisik saya.

Dia tertawa lebar. “Tetapi terima kasih mau menambah ilmu menembak saya,” sahutnya enteng.

“Nona Anna pernah menembak mati ular bergerak di kebun yang Tuan lihat kemarin,” bisik orang Slam itu. “Kalau Tuan bukan teman dia, Tuan dan mata-mata itu sudah mati di kebun.”

Setibanya di Stasiun Depok, Anna memaksa saya menaiki sebuah dokar. Karena saya berseragam polisi, opas di sana memberi hormat. Mereka mengira kami mengawal seorang Nona Indo. Di dokar kepalanya saya dipukul hingga pingsan.

Empat

Ketika sadar saya sudah ada di gubuk di kebun itu. Pemuda berkaki buntung itu meminta saya duduk di bale-bale dalam gubuk itu. Anna sudah mengompres kepala saya.

“Maaf Ruud. Kamu terpaksa dibuat pingsan. Kami khawatir kamu teriak di jalan. Habisnya saya takut kamu mengadu ke Schout Vermeulen,” ujar Anna.

“Mengapa kamu bisa bersama penjahat ini?” kepala saya masih pusing.

“Penjahat? Apa dasar orang-orang Batavia bilang orang Banten penjahat? Bukankah kalian yang merampasn negeri kami? Bukankah Batavia bisa bertetangga baik-baik dengan negeri kami? Soal Cilegon, apa hak kalian memungut pajak atas kami?” Suara pemuda berkaki buntung itu begitu berwibawa.

“Tetapi mengapa kalian bunuh perempuan dan anak-anak Eropa?”

“Bukan kami pelakunya. Tetapi banyak orang yang mengambil manfaat dalam kerusuhan itu?”

“Jangan bicara soal moral Ruud. Orang-orang kita juga membakar kampung hanya karena ada satu pemberontak di kampung itu,” Anna Lola memotong.

“Kampung saya Terate Oedik. Kampung saya dibakar karena orang seperti kamu mencari saya,” kata pemuda Banten itu.

“Kamu buntung karena kaki kamu tertembak serdadu kami, kan?” Saya tidak bisa menghentikan mulut saya lepas begitu saja.

“ Tidak Rud. Sinyo itu menembak kakinya ketika ia hendak melindungi saya. Sinyo itu mabuk. Tadinya Hasan hanya memukulnya jatuh, tetapi dia mengancam dan mengadu pada polisi. Terpaksa dia menembak mati sinyo itu dengan revolvernya sendiri.”

Anna Lola. “Orang Eropa juga memperlakukan hal yang mereka tuduhkan pada orang Bantem, yang dianggap biadab dan tak terdidik itu. Apa bedanya? Bukankah serdadu kita membunuh perempuan dan anak-anak di Aceh, Bali, Celebes?”

Perempuan bernama Anna Lola meruntuhkan pandangan saya soal moralitas.

“Bagaimana ceritanya Hasan melindungi kamu?”

“Waktu saya di Depok dua tahun lalu. Seorang sinyo hendak memperkosa saya, karena mengira saya perempuan gampangan. Saya pakai rok pendek dan baju kekecilan. Hasan buronan Batavia ini menolong saya. Dia bersembunyi di kebun dari kejaran tentara dan polisi. Mayat Sinyo itu dibuang di Kali Ciliwung.”

“Kamu membenci laki-laki?”

“Iya. Saya tidak percaya pada laki-laki. Apalagi laki-laki yang suka beradab di depan perempuan, padahal di otaknya ingin melahap tubuh merepuan itu. Perlu kamu ketahui waktu kamu mengajar saya menembak, ada revolver di gaun saya. Pemberian Hasan.”

Saya ingin pingsan. Anna Lola jauh lebih pandai dari perkiraan saya. Kepala saya masih pusing. Anna Lola memberikan saya minum dari gentong tanah liat.

“Di Gorontalo, Manado, Bali, saya bersahabat dengan pribumi setempat,” katanya. “Saya aman bersama mereka.”

“Jadi kamu mau apa, Anna?”

“Jangan melapor Ruud!” katanya. “Kalau Hasan digantung karena laporan kamu. Saya tidak akan bicara lagi dengan kamu dan minggat dari Batavia.”

“Tempat apa ini?”

“Tanah keluarga saya Ruud. Hasan bersembunyi di sini. Akhirnya saya menyembunyikan mereka di sini. Mereka juga bantu menjaga tanah keluarga saya.”

Kata-katanya lebih membunuh daripada kalau Anna Lola menembakan revolvernya.

Tiba-tiba terdengar tembakan. Anna Lola menoleh. Dia tdiak memekik seperti perempuan umumnya, malah mengeluarkan revolvernya. Seorang Slam yang ada di luar gubuk rubuh. Hasan dengan penyanggahnya dan dua orang Banten lain melarikan Anna ke luar gubuk.

Saya masih termanggu. Mulyadi masuk dengan senapan. Anna, Hasan dan dua orang Bantam lainnya, terpaksa menyerah.

“Saya sudah membuntuti kamu sejak dari Stasiun Depok. Nona itu terlibat,” kata Mulyadi. “Ayo kita bawa ke polisi.”

Daag Ruud, kita tak akan bertemu lagi,” ujar Anna dengan pandangan sinis. “Paling-paling saya dipulangkan ke Belanda. Orang Bantam ini digantung. Tetapi mereka tidak takut mati.”

Saya mengambil revolver dari balik baju saya, ikut menodong. Schout Vermeuleen semakin mempercayai saya. Punya naluri. Tetapi ada sesuatu terlintas di kepala saya. Dalam perjalanan keluar kebun, saya mengarahkan revolver dari sepatu saya dan menembak Mulyadi yang ada di depan saya . Terdengar tembakan. Mulaydi terjengkang. Orang Bantam lain bergerak cepat, mereka menyabetkan golok ke Mulyadi hingga terkapar.

Anna Lola terkejut. Tetapi tersenyum.

“Saya membunuh untuk kamu. Entah apa yang harus saya laporkan ke Schout,” kata saya.

“Laporkan apa adanya,” kata Anna lola.”Bilang kamu hendak menangkap Hasan yang hendak menculik saya bersama anak buahnya, tetapi gagal dan serdadu ini membantu. Oh, ya, yang membunuh serdadu Jawa itu Kamil, orang Banten lain di kebun itu. Kamu kira kami bodoh Ruud, revolver kamu sudah saya kosongkan. Tak perlu merasa berdosa, kamu tidak pernah membunuh.”

Kamil keluar dari semak-semak. Mulyadi terlalu ceroboh dan tidak memanggil bantuan. Mungkin dia juga percaya sama saya. Berdua cukup.

Anna Lola? Sialan perempuan ini. Akhirnya terjawab mengapa dia berani sendirian ke Depok. Dia sudah buat pagar manusia pengamannya selama bertahun-tahun. Dalam gerbong inlander itu ada teman dia yang lebih dipercaya dibanding dia ada di gerbong orang Eropa. Cara dia melakukan pengamanan lebih ampuh dari pasukan Belanda karena pengawalnya tak kentara. Lalu dia menghampiri Hasan.

“Kita terpaksa berpisah. Ini ada dua puluh gulden. Kalian bertiga ke Priangan Selatan. Suatu hari kita bertemu di Tasik.”

Hasan mengangguk. Anna menggenggam tangannya erat-erat tanda bersahabat. Mereka berpisah. Kemudian saya memapah Anna seolah-olah baru menghadapi sesuatu. Polisi di dekat stasiun berhamburan ke arah kami. Baju kami kotor dengan tanah.

Saya sudah membayangkan besok Schout Vermeulent memuji saya menyelamatkan Anna Lola dari pemberontak Bantam. Bahkan mungkin saya diberikan bintang jasa atas perbautan yang tidak pernah saya lakukan. Saya dan Anna sama-sama punya rahasia, tampaknya bakal dibawa sampai mati.

Menjelang ke kantor polisi Anna berbisik.

“Jangan khawatir Ruud, saya tidak akan lagi menyimpan revolver di balik baju saya kalau jalan sama kamu.”

Perempuan. Kitab suci bilang dia diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ada yang bilang perempuan lebih lemah dari laki-laki. Kalau saya bilang tergantung.

Irvan Sjafari

Kelapa Gading, 5 Juni 2002.

Keterangan:
Bantam: sebutan Banten masa itu.
Kondangdia, maksudnya Gondangdia. Nama Kondangdia ada di teks surat kabar masa itu.
Schout : Kepala polisi Distrik, kira-kira sama dengan kapolsek sekarang.
Sinyo: laki-laki Eropa yang belum kawin.
Slam: maksudnya pribumi yang beragama Islam. Cina adalah penduduk Tionghoa sebutan yang ada di koran-koran yang terbit di Batavia 1890-an untuk membedakan dengan orang Eropa dan bermaksud merendahkan.

Foto: Gondangdia masa Belanda (kredit foto cucucoret.blogspot.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun