“Waktu saya di Depok dua tahun lalu. Seorang sinyo hendak memperkosa saya, karena mengira saya perempuan gampangan. Saya pakai rok pendek dan baju kekecilan. Hasan buronan Batavia ini menolong saya. Dia bersembunyi di kebun dari kejaran tentara dan polisi. Mayat Sinyo itu dibuang di Kali Ciliwung.”
“Kamu membenci laki-laki?”
“Iya. Saya tidak percaya pada laki-laki. Apalagi laki-laki yang suka beradab di depan perempuan, padahal di otaknya ingin melahap tubuh merepuan itu. Perlu kamu ketahui waktu kamu mengajar saya menembak, ada revolver di gaun saya. Pemberian Hasan.”
Saya ingin pingsan. Anna Lola jauh lebih pandai dari perkiraan saya. Kepala saya masih pusing. Anna Lola memberikan saya minum dari gentong tanah liat.
“Di Gorontalo, Manado, Bali, saya bersahabat dengan pribumi setempat,” katanya. “Saya aman bersama mereka.”
“Jadi kamu mau apa, Anna?”
“Jangan melapor Ruud!” katanya. “Kalau Hasan digantung karena laporan kamu. Saya tidak akan bicara lagi dengan kamu dan minggat dari Batavia.”
“Tempat apa ini?”
“Tanah keluarga saya Ruud. Hasan bersembunyi di sini. Akhirnya saya menyembunyikan mereka di sini. Mereka juga bantu menjaga tanah keluarga saya.”
Kata-katanya lebih membunuh daripada kalau Anna Lola menembakan revolvernya.
Tiba-tiba terdengar tembakan. Anna Lola menoleh. Dia tdiak memekik seperti perempuan umumnya, malah mengeluarkan revolvernya. Seorang Slam yang ada di luar gubuk rubuh. Hasan dengan penyanggahnya dan dua orang Banten lain melarikan Anna ke luar gubuk.