“Mengapa kamu bisa bersama penjahat ini?” kepala saya masih pusing.
“Penjahat? Apa dasar orang-orang Batavia bilang orang Banten penjahat? Bukankah kalian yang merampasn negeri kami? Bukankah Batavia bisa bertetangga baik-baik dengan negeri kami? Soal Cilegon, apa hak kalian memungut pajak atas kami?” Suara pemuda berkaki buntung itu begitu berwibawa.
“Tetapi mengapa kalian bunuh perempuan dan anak-anak Eropa?”
“Bukan kami pelakunya. Tetapi banyak orang yang mengambil manfaat dalam kerusuhan itu?”
“Jangan bicara soal moral Ruud. Orang-orang kita juga membakar kampung hanya karena ada satu pemberontak di kampung itu,” Anna Lola memotong.
“Kampung saya Terate Oedik. Kampung saya dibakar karena orang seperti kamu mencari saya,” kata pemuda Banten itu.
“Kamu buntung karena kaki kamu tertembak serdadu kami, kan?” Saya tidak bisa menghentikan mulut saya lepas begitu saja.
“ Tidak Rud. Sinyo itu menembak kakinya ketika ia hendak melindungi saya. Sinyo itu mabuk. Tadinya Hasan hanya memukulnya jatuh, tetapi dia mengancam dan mengadu pada polisi. Terpaksa dia menembak mati sinyo itu dengan revolvernya sendiri.”
Anna Lola. “Orang Eropa juga memperlakukan hal yang mereka tuduhkan pada orang Bantem, yang dianggap biadab dan tak terdidik itu. Apa bedanya? Bukankah serdadu kita membunuh perempuan dan anak-anak di Aceh, Bali, Celebes?”
Perempuan bernama Anna Lola meruntuhkan pandangan saya soal moralitas.
“Bagaimana ceritanya Hasan melindungi kamu?”