“Sepertinya begitu?” Anna berkata dengan entengnya.
Jujur. Ingin tahu juga saya. Kira-kira akan diapakan oleh perempuan yang saya suka. Walau agak takut tetapi saya tidak yakin Anna Lola menyuruh orang Slam itu menembak saya.
“Kalau kamu menyangka saya tidak tega. Kamu salah Ruud!” bisiknya.
Tak lama kemudian seorang Slam lagi mengapit saya. Anna lola kenal dengan masinis kereta. Kami naik gerbong khusus pribumi. Kereta bergerak menuju Depok. Saya melihat sekeliling Ada tiga orang Bantam menemani Anna Lola. Yang lebih mengejutkan lagi, Anna Lola mengeluarkan revolver dari bajunya.
“Kamu pura-pura tidak bisa menembak?” bisik saya.
Dia tertawa lebar. “Tetapi terima kasih mau menambah ilmu menembak saya,” sahutnya enteng.
“Nona Anna pernah menembak mati ular bergerak di kebun yang Tuan lihat kemarin,” bisik orang Slam itu. “Kalau Tuan bukan teman dia, Tuan dan mata-mata itu sudah mati di kebun.”
Setibanya di Stasiun Depok, Anna memaksa saya menaiki sebuah dokar. Karena saya berseragam polisi, opas di sana memberi hormat. Mereka mengira kami mengawal seorang Nona Indo. Di dokar kepalanya saya dipukul hingga pingsan.
Empat
Ketika sadar saya sudah ada di gubuk di kebun itu. Pemuda berkaki buntung itu meminta saya duduk di bale-bale dalam gubuk itu. Anna sudah mengompres kepala saya.
“Maaf Ruud. Kamu terpaksa dibuat pingsan. Kami khawatir kamu teriak di jalan. Habisnya saya takut kamu mengadu ke Schout Vermeulen,” ujar Anna.