“Saya polisi di Batavia,” sahut saya. “Siapa kamu?”
“Mungkin kita mencari orang yang sama. Dia Hasan, orang Bantam. Dia anak buah Haji Nasiim, pemberontak durjana yang mengacau di Cilegon dua tahun lalu.”
Darah saya seperti tersedot ke ubun-ubun. Anna Lola melindungi seorang pemberontak yang terlibat pembunuhan banyak ambtenaar Eropa di Cilegon Juli 1888. Kalau ketahun apa kata orang Eropa di Batavia? Mereka tidak melupakan orang Eropa yang dibunuh tidak terkecuali perempuan dengan anak-anak. Opzinder Waterstacht dan istrinya, Asisten Residen, Sikman Syahbandar Karang Antoe, di antaranya yang tewas dalam peristiwa itu. Bantam adalah negeri yang raktanya sulit diajak kerja sama dengan gouvernment. Sejak dibubarkan Kesultanan Banten, sudah lebih dari sepuluh kali mereka membuat rusuh.
Jantung saya berdegub kencang, ketika Anna Lola akrab dengan pemuda itu.
“Aneh Nona itu mau berteman dengan dia. Saya sudah dua tahun mengintai mereka,” kata mata-mata itu.
“Mengapa tidak lapor Tuan di Batavia, kamu orang bisa dapat persen?”
“Saya tunggu temannya bernama Maulana, bangsawan Banten yang hendak membunuh Raden Pena, Regent Serang itu,” kata orang Jawa ternyata serdadu yang menyamar sebagai petani.
Aduh Anna Lola tidak merasa berdosa bergaul dengan para pemberontak itu. Dia memperlihatkan giginya yang bagus pada mereka. Yang membuat saya gemas Anna Lola membuka sepatunya dan pemuda Banten berkaki buntung itu mengukir tato di kakinya.
“Ayo Tuan, sebentar lagi banyak kawanan mereka kemari. Entah untuk apa Nona itu ada di sini. Tetapi tampaknya dia dilindungi. Ayo kita minggat,” ajak serdadu itu. “Nama saya Mulyadi. Tuan?
“Rudi Van Bastian!”
Saya tidak punya pilihan. Saya khawatir kalau ketahuan Anna Lola malah yang susah.