“Saya cinta kamu Anna Lola,” Saya memberanikan diri suatu ketika mengajaknya minum di kedai kopi.
“Ruud?" dia hanya bilang begitu. Dia tidak menjawab iya atau tidak. Dia membiarkan saya menemani dia dan tidak menampik. Dia menerima saya di rumahnya. Dia menerima apa pun pemberian saya, bunga, buku,potlot dan hanya bilang, “Danks Ruud!”
Kata orang kalau perempuan diam bila dinyatakan cinta oleh seorang laki-laki, tandanya dia menerima. Masalahnya pada si Andre, sang advokat itu. Bart sang jurnalis, dia juga bersikap sama. Entah berapa koleksi bunga, buku dan potlotnya. Pantas saja halaman rumahnya penuh tanaman bunga. Kalau begitu apa yang saya berikan pada dia. Pelajaran menembak? Barangkali dia tertarik.
Dua
Dia tidak menampik tawaran pelajaran menembak dari saya. Dia tertawa gembira.”Sungguh Ruud? Kamu mau mengajarkan saya menembak?”
Kini tiap minggu saya meluangkan waktu ke Ancol, untuk berlatih menembak. Baik pelajaran bagaimana caranya menggunakan single loops maupun revolver. Dia memekik ketika saya berhasil menembak buah kelapa hingga pecah dari jarak 20 meter. Lalu dia mencoba mengisi peluru dan menembak. Luput. Setelah lima kali baru buah kelapanya kena.
“Aduh kena juga!”
Anna Lola tertawa lebar. Tertawanya yang saya suka. Kalau ada pelajaran menembak, kami pulang mahgrib di Kondangdia. Setelah berapa kali menembak, Anna Lola punya rutinitas baru. Saya menunggunya pulang dari gereja untuk pergi berburu.
“Kamu kok nggak ikut masuk ke gereja?” tanyanya.
“Saya Slam ikut ibu,” jawab saya. Sekalipun saya muslim, tetapi saya bukan yang taat.
Saya belum memenangkan persaingan. Mungkin saya menang atas Bart dan Andre. Tetapi Anna dikabarkan punya rutinitas lain dengan seorang laki-laki di Depok. Pantas dia suka ke sana. Yang kasih tahu saya seorang bek bernama Jiran.