Saya mengambil kedua boneka dan meletakannya di rumah boneka. Mereka saya berikan baju seperti puteri bangsawan Eropa abad 19.
“ Apa kabar?” sapa saya.
“ Baik!”
Ada yang menyahut. Saya menoleh. Saya tak percaya hantu. Lemari jati tua itu bergerak. Saya mulai agak takut, tapi penasaran. Lalu saya mengambil kunci kedua di saku celana pendek saya dan mencoba membukanya. Bisa! Memang kuncinya. Sebuah cahaya menyilaukan keluar dari lemari dan membuat saya terdorong. Sepertinya saya tak sadarkan diri.
***
Entah berapa lama, sepasang tangan menolong saya berdiri. Seorang anak perempuan sebaya saya dengan blus dan rok biru berdiri berhadapan dengan saya. Rambutnya dikepang dua. Postur tubuhnya lebih kecil dari saya, sekitar 155 cm, saya sendiri tingginya sekitar 160 cm. Model busana dan rambutnya tampak aneh.
“Apa kabar? Kamu saya temukan tertidur di kamar loteng? Sedang apa kamu di sini?” tanya perempuan itu. Tangannya lembut dan cekatan memplester kening saya rupanya lecet.
“ Kamu sendiri siapa? Kok ada di loteng rumah kami?”
Dia tertawa terbahak-bahak. Dia tidak keberatan atas pertanyaan balik.
“Kamu mungkin tetangganya Farida. Papa bilang dia akan memperkanalkan saya dengan anak perempuan tetangga anak sepupu Papa yang tinggal di Tanah Abang. Saya belum pernah bertemu?”
Saya bengong. Dia memandang saya. “Ah, nggak penting siapa kamu! Saya juga butuh teman bermain! Saya dari tadi sendirian! Papa dan Mama sedang pergi!”