"Bang, aturannya begini. Kita tidak boleh menyerang alat kelamin, ulu hati, dan wajah," usulku pada si Akbar.Â
"Saya mau kita tarung bebas saja!" ujar Akbar menolak bertarung sesuai dengan usulanku.
"Bukan begitu Bang. Kalau sampai di antara kita ada yang cedera fatal gara-gara kena serangan di daerah terlarang tersebut kan urusannya bisa panjang. Oleh sebab itu harus kita hindari," jelasku padanya dengan nada sedikit serius.
"Okelah kalau begitu kita sepakat," jawabnya lagi sambil menyalami tanganku.
"Kapan kita mulai?" kataku lagi
"Nanti saja habis salat Isya," katanya mantap.
Pertarungan yang Menentukan.
Rencana pertarungan antara aku dan Akbar segera menyebar dengan cepat. Satu ruang  tahanan tahu kalau usai salat Isya akan dan pertandingan karate antara aku dan Akbar. Tubuhku yang jauh lebih kecil dibandingkan Akbar rasanya kalau disejajarkan ibarat pertarungan antara kucing dan macan. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Apapun yang terjadi, pertunjukan konyol ini harus terlaksana.
"Kang Bahar, Kelakuan Akang ini gila! Semua orang takut berhadapan dengan Akbar, tapi Akang mah malah mau menantangnya. Apa Akang mau cari mati? Batalkan saja sebelum terlambat," saran Asep padaku.
Aku bergeming dan tak menggubrisnya. Asep tak tahu kalau sebenarnya aku sedang ketakutan. Waduh, bagaimana kalau nanti dia membantaiku habis-habisan di depan orang banyak. Habislah riwayatku, gumamku dalam hati. Namun, apa boleh buat semuanya sudah terlanjur. Ibarat pepatah mengatakan "lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai".
Usai salat Isya berjamaah, Akbar memberitahukan kepada semua hadirin bahwa sebentar lagi dirinya akan melakukan komite denganku. Akbar mengatur dua orang untuk berjaga di pintu masuk agar petugas tidak tahu apa yang mereka lakukan. Semua penonton diminta diam dan tak boleh bersorak. Pertandingan akan berakhir apabila ada salah satu pihak yang menyerah. Â