Saat di kantor polisi kriminal, dilakukanlah pemberkasan (dibuat Berita Acara Pemeriksaan -BAP). Aku ditanya oleh salah seorang polisi dengan beberapa pertanyaan standar seperti layaknya polisi di Indonesia dan langsung mengetiknya menggunakan personal computer. Dia melakukannya dengan ramah dan tidak ada unsur kekerasan. Saat bersamaan iseng-iseng aku mengambil sebuah pena dan kertas yang ada di meja polisi itu. Lalu aku membuat sketsa petugas yang sedang mengetik tersebut.Â
Setelah selesai mengetik data dan keteranganku, petugas itu secara tak sengaja melihat hasil coretanku tadi. Ternyata dia tertarik dan langsung mengambil sketsa tersebut.
"Oh, ini bagus sekali. Sepertinya gambar saya ya? Â Anda bisa melukis?" tanya petugas itu ramah sambil wajahnya memandangku takjub.
"Betul Pak, saya memang seniman," jawabku singkat.
"Bolehkah gambar ini saya minta?" tanya petugas itu lagi.
"Silakan Pak. Ambil saja. Itu memang saya buat untuk Bapak," kataku lagi pada polisi muda itu.
Akhirnya pembicaraan kami justru tidak membahas tentang kalung emas dan hal-hal menyangkut kriminal. Justru topik pembicaraan kami jadi beralih ke masalah seni. Â Tentu saja ini kesempatanku untuk bercerita panjang lebar padanya tentang profesiku dan mengapa aku berada di Kota Madinah. Dalam waktu singkat kami pun akrab dan jadi berteman. Bahkan, dia dengan suka rela menghapus semua data yang tadi diketiknya dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. "Alhamdulillah ya Allah," gumamku sebagai tanda bersyukur pada Illahi.
Menjelang malam aku diserahkan oleh pihak kepolisian ke petugas imigrasi dengan kendaraan dinas mereka. Sebelumnya, petugas tadi mengembalikan dulu semua barang-barangku yang sempat disita olehnya yaitu dompet, handphone, dan kalung.Â
Hari Pertama di Tahanan Imigrasi
Setelah diserahterimakan dari pihak kepolisian ke pihak imigrasi, aku ditempatkan di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas. Ruangan sekitar 7 m X 10 m yang menurutku mampu menampung sekitar 50 orang tahanan. Namun, ruangan itu tidak ada apa-apanya, cuma ruangan kosong tanpa ada meja, kursi, atau lemari, kecuali kamar mandi dan tempat salat yang terletak di pojok ruangan.Â
Terus terang, selama tinggal di Saudi Arabia, baru kali ini aku masuk ruang karantina. Banyak sekali orang di ruangan ini. Perkiraanku ada sekitar 40 orang dari berbagai bangsa. Semua disatukan dalam satu ruangan tersebut.Â