Posisi pertarung ada di ruang tengah. Semua penonton diwajibkan mengelilingi kami berdua. Aku dan Akbar saling berhadap-hadapan, sementara Yusuf ditugaskan sebagai wasit berada di tengah di antara kami. Suasannya mirip adegan dalam perkelahian antara bos mafia di film-film yang pernah aku tonton.
Setelah mendapat kode dari Yusuf, kami mulai bersiap-siap. Akbar memasang kuda-kuda, sementara aku berlagak seperti seorang pendekar Tiongkok dalam film "Drunken Master" yang dibintangi Jackie Chan . Â Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menyerang Akbar dengan pukulan terkuatku. Namun dengan mudah Akbar berhasil mematahkannya sehingga membuatku terpeleset ke samping kirinya. Sebuah pukulan Akbar pun berhasil mendarat dengan mulus di tubuhku yang membuat dadaku terasa nyeri sekali.
Aku hanya mengusap-usap sejenak dadaku sambil sedikit menyeringai dan kembai bersiap untuk serangan kedua. Kali ini aku mencoba menendangnya dengan kaki kananku. Bagi akbar, tendanganku itu mungkin tak begitu berarti baginya. Dia sengaja membiarkan kakiku menyentuh dadanya yang lebar. Tubuh  Akbar hanya sempat terpundur satu langkah ke belakang dan dia tampaknya tak merasakan kesakitan.   Â
Kini giliran Akbar yang membangun serangan sambil posisi kami berdua memutar ke arah jarum jam. Sebuah tendangan Akbar coba kutangkis pakai tangan kiriku, tapi tendangan itu terasa terlalu kuat sehingga tanganku justru jadi terpental. Belum juga reda keterkejutanku, sebuah pukulan mendarat  di perutku yang membuatku mual dan terasa mau muntah.
Aku mulai terhuyung-huyung kesakitan, tapi Akbar justru tersenyum melihat kondisiku yang semakin rapuh.
"Menyerahlah Bahar! Kamu sudah lelah," ujar Akbar memperingatiku.
"Aku belum kalah! Aku masih kuat," balasku dengan nada emosi dan sedikit sombong.
"Rasakan pukulan ini ....ciaaaaaaaat," teriakku keras sambil meloncat dengan tendangan maut bak aktor Bruce Lee yang sedang bertarung dengan musuh bebuyutannya.
Akbar mampu berkelit dengan mudah. Bahkan, sebuah tendangan balik dengan gerakan memutar ditujukannya secepat kilat ke arahku. Tak ayal tubuhku terpental beberapa meter sampai mengenai penonton. Rasanya sakit sekali, seperti dipukul pakai kayu ukuran lengan orang dewasa. Sekujur tubuhku terasa hancur berkeping-keping.Â
Jangan panggil namaku bahar kalau aku langsung menyerah begitu saja, gumamku dalam hati. Aku harus bangkit lagi dan terus melawannya. Dengan mengeluarkan seluruh kekuatan, aku mencoba berdiri kembali. Akbar secara sportif memandangku dari tempatnya berdiri. Tampaknya dia kesal melihat semangatku yang tak mau menyerah. Â Â
Aku membalikkan tubuhku dan mulai kembali bergerak mendekati Akbar. Kali ini Akbar tampaknya akan memberikan pelajaran kepadaku. Kulihat kedua tangannya mengepal dengan kuat dan wajahnya menunjukkan kekesalannya. Sebuah pukulan kembali mendarat di tubuhku dan aku berusaha menangkisnya sebisaku. Pada sebuah kesempatan, aku berhasil memukul bahu kirinya, sementara dia juga berhasil memukulku di bagian punggungku. Akbar hanya menyeringai sedikit, sementara aku terasa seperti mau mati saja. Â Â Â