Hari semakin malam. Perutku mulai terasa sakit karena sejak tadi menahan lapar. Maklum makan terakhirku tadi siang di kantor polisi, lalu sampai detik ini belum makan lagi. Badanku terasa lemah. Aku hanya duduk menyendiri di pojok ruangan sambil menyandar di dinding tahanan yang kondisinya sudah agak rusak. Â
Sebenarnya tadi ada kiriman makanan masuk ke dalam ruangan tahanan ini. Petugas mengirim makanan yang disajikan dalam sebuah nampan yang panjang. Dalam nampan itu ada makanan yang bisa dimakan untuk 4-6 orang. Namun, saat giliran mau merapat ke salah satu nampan, tubuhku didorong oleh mereka dan tak diberi kesempatan untuk ikut makan. Tubuh mereka besar-besar sehingga membuat aku berpikir dua kali untuk memaksakan diri. Ya, daripada timbul pertengkaran, lebih baik aku mengalah dan menjauh saja. Kejam sekali hidup dalam tahanan, gumamku dalam hati.
Menu makan di karantina ini sebetulnya cukup bergizi. Selain nasi, terdapat juga sayur dan lauk pauknya seperti ayam atau daging. Bahkan, ada juga susu dan minuman bersoda seperti Cocacola. Sayang malam itu aku hanya cukup puas sebagai penonton dan hanya menelan air liur ketika melihat mereka makan dengan lahapnya. Wah, bisa-bisa malam itu aku tidur sambil menahan perut yang lapar, gumamku dalam hati.
Dalam tahanan imigrasi itu aku berkenalan dengan seorang tahanan bangsa kita. Namanya Asep, berasal dari Sumedang. Sementara aku berasal dari Kota Cimahi. Kami sama-sama asli orang Sunda, Jawa Barat. Dia menjadi teman ngobrolku selama dalam tahanan.Â
Tak lama berselang, tiba-tiba ada seorang petugas jaga yang memanggil namaku. Aku diminta datang ke ruangan petugas yang piket malam itu. Sampai di sana, Â ternyata ada seorang petugas imigrasi yang sedang asyik menonton televisi. Sepertinya ini pimpinan mereka, soalnya dia memiliki ruangan kerja sendiri yang cukup besar. Saat itu di televisi terlihat ada pertandingan piala dunia antara Indonesia melawan Kuwait.Â
Aku baru tahu kalau maksud dipanggil ke ruangan petugas jaga itu hanya untuk menemaninya ngobrol membahas pertandingan bola tersebut. Dia ternyata pecinta sepak bola, sama seperti aku. Petugas itu menyapaku ramah dan menyuruhku untuk mengambil makanan atau minuman apa saja yang ada di ruangannya. Kesempatan ini tentu tak kusia-siakan. Aku pun makan di ruangannya sambil menonton pertandingan yang berlangsung seru. Â
Usai nonton pertandingan bola piala dunia yang berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan tim Indonesia, aku diberi petugas imigrasi itu sebungkus rokok. Alhamdulillah, ini rezeki yang tak diduga-duga, gumamku dalam hati dengan wajah sumringah. Â Akhirnya aku kembali lagi ke ruangan semula.Â
"Ngapain saja Kang Bahar?" sapa Asep dengan wajah agak menahan sakit.
"Ah, enggak ngapa-ngapain Bro. Aku cuma diajak bos nonton bola," jawabku singkat. "Eh, kamu kenapa Sep? Kayaknya kamu kurang sehat ya?" lanjutku padanya.
Asep memperlihatkan kaki kanannya yang bengkak. Aku meresponnya dengan menjongkok dan memegang bagian kaki yang bengkak dan terlihat lebih besar dari kaki kirinya.
"Kamu ada penyakit apa Sep?" kembali aku bertanya pada lelaki yang tubuhnya agak gempal tersebut.