Hampir saja aku terlambat pesawat gara-gara terjebak macet di jalan. Masih ada waktu sekitar 20 menit ketika taksi online yang mengantarku tiba di Bandara Husein Sastranegara Bandung. Terpaksa setengah berlari aku menuju pintu masuk bandara sambil membawa boarding pass tiket untuk masuk ke dalam pesawat yang berisi informasi seperti nama penumpang, tujuan, nomor pesawat, boarding gate, bandara kedatangan hingga nomor tiket.Â
Usai pemeriksaan petugas, aku segera check in di counter sebuah maskapai penerbangan yang akan mengantarkanku  ke Jakarta. Untung barang bawaanku cuma sebuah tas gendong sehingga semuanya berjalan cepat dan lancar.
Selama di dalam pesawat kuhabiskan waktu dengan membaca majalah. Ada beberapa tulisan yang menarik perhatianku. Namun, aku hanya terhenti di halaman 13 yang membahas destinasi wisata di Raja Ampat, Papua. Aku ingin sekali ke sana, tetapi sampai saat ini belum belum kesampaian. May be next time, I'll be there, pikirku dalam hati.
Tiga puluh menit kemudian terdengar suara merdu seorang pramugari dari pengeras suara yang terpasang di sepanjang tempat duduk penumpang. Ia menginformasikan bahwa penerbangan tersebut segera berakhir karena sudah mendekati Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Terasa sekali denyut jantungku seperti mau copot ketika pesawat yang kutumpangi menurunkan ketinggiannya.
Aku sempat nerveus ketika roda pesawat yang kutumpangi itu mencium bumi. Maklum, tadi ketika di atas sempat terjadi guncangan hebat karena pesawat mengalami turbulensi. Kini guncangan itu kembali terjadi dengan versi yang berbeda. Pesawat sempat limbung sedikit sebelum akhirnya pilot benar-benar menguasai keadaan.
Ah, penerbangan kali ini bikin jantungku berdebar kencang, padahal ini bukan penerbangan yang pertama. Aku tak tahu mengapa akhir-akhir ini mudah kaget. Apakah ini hanya perasaanku saja? Atau mungkin juga karena faktor usia? Maklum kini aku tak muda lagi, usiaku sudah kepala lima.
Aku segera memesan taksi online Bandara Soekarno-Hatta. Beberapa menit kemudian pesananku tiba. Segera saja aku bergegas masuk ke dalam taksi berwarna hitam dan duduk di jok belakang, berseberangan dengan posisi sopir.
"Ke Hotel Arjuna ya Pak?" Sapa sopir dengan ramah.
"Iya Mas," jawabku singkat.
"Emang Bapak dari mana? Dari Bandung ya?" Tanya pria muda bertubuh kurus dan berkumis tipis itu sambil berusaha menebak asalku.
"Iya Mas. Kok tahu saya dari Bandung?" Jawabku sambil balik bertanya.
"Logat Bapak khas banget. Sunda pisan Pak," jawabnya jujur sambil tersenyum kecil.
Kami berdua pun terlibat obrolan ngalor-ngidul, mulai membahas soal kemacetan Jakarta, kebijakan Gubernur Anies Baswedan, sampai urusan dunia usaha yang kian sepi akhir-akhir ini. Semua kami bahas sekenanya. Gak apa-apalah yang penting bisa mengisi kekosongan daripada diam saja, pikirku dalam hati.
Sambil berjalan, aku memesan kamar hotel menggunakan aplikasi online. Situasi di jalan saat itu tidak begitu padat sehingga perjalananku menuju Hotel Arjuna relatif lancar. Hanya memakan waktu sekitar 45 menit, kami pun sampai di tujuan.
Aku segera membayar jasa taksi dengan memberi uang lima puluh ribuan. Nilai yang tercantum dalam aplikasi Android cuma sebesar 47.500 rupiah.
"Duh, maaf Pak. Belum ada kembaliannya. Kalau bisa pake uang pas aja," kata sopir taksi itu ramah.
"Gak apa-apa Pak. Ambil saja kembaliannya," jawabku sambil keluar dari dalam taksi.
Aku bergegas masuk ke dalam sebuah hotel berbintang empat yang terbilang asri. Hotel yang berlokasi di Jakarta Barat ini kondisi cukup baik. Aku sudah sering mampir ke sini, terutama kalau sedang ada urusan di daerah ini.
Seperti biasa, setibanya di lobi hotel, aku tak langsung menuju tempat reservasi. Aku justru menuju sofa yang banyak terpasang di sana. Sengaja aku memilih posisi yang agak diujung biar sedikit privasi. Aku ingin rehat sejenak sambil ingin menghubungi istriku di Bandung.
Tas yang bersandar di punggungku segera kulepas biar nyaman. Kemudian aku duduk bersandar di sofa, sambil meraih handphone-ku yang tersimpan di saku depan celana jeans-ku. Aku pun segera menelepon istriku untuk mengabarinya kalau aku sudah sampai di Jakarta.
Telepon berdering beberapa kali, tapi tak ada sautan sama sekali. Tiba-tiba kulihat ada seorang gadis cantik berambut pirang sebahu sedang berjalan menuju tempatku duduk sambil menyeret koper jinjing berwarna merah marun.
"Permisi Pak. Boleh ikut bergabung duduk di sini?" Sapanya dengan nada lembut.
"Oh, silakan Mbak. Kursinya kosong kok," jawabku mempersilakannya duduk.
Tak lama kemudian ada telepon balik dari istriku. Aku segera mengangkatnya. Lantas kamipun terlibat percakapan singkat. Aku mengabarkan bahwa aku sudah sampai di jakarta dan sedang berada di lobi hotel. Sementara istriku mengabarkan kalau tadi dirinya sedang berada di kamar mandi sehingga telepon dariku tak diangkat. Dia juga mengabarkan kalau anak-anak di rumah baik-baik saja, aman terkendali.
"Sendirian aja mbak," sapaku pada wanita muda itu.
"Eh, iya Pak. Saya sedang nungguin teman. Kami sudah janjian. Ada suatu urusan yang sedang kami selesaikan," ujarnya dengan mimik wajah sedikit gelisah.
"Semoga urusannya selesai ya Mbak," jawabku singkat.
Pandang wanita muda itu lalu kembali tertuju ke layar handpone-nya, sambil jemari lentiknya mengetik sesuatu. Selang 15 menit kemudian, datang seorang pria tinggi besar dengan rambut agak cepak. Usianya sekitar lima puluhan, berwajah oval, tanpa kumis dan jenggot dengan sorot matanya yang tajam. Dia segera mendekati wanita yang duduk di sampingku.
"Ayo kita check in. Tadi kamarnya sudah ku-booking. Kita bahas urusannya di kamar!" Ujar pria misterius itu dengan nada kurang ramah.
Wanita itu menoleh ke arahku sejenak sambil bangkit dari tempat duduknya. Dia mengangguk sebentar untuk menyatakan "permisi" dan segera berlalu menuju tempat reservasi.
Aku terdiam sejenak. Banyak pertanyaan bergejolak dalam benakku. Namun, itu semua aku tepis. Ah, ini kan bukan urusanku. Ngapain harus repot, pikirku dalam hati.
Setengah jam kemudian aku menuju tempat reservasi hotel dan segera check in. Aku mendapat kamar no. 13.08. Setelah admistrasi beres, aku segera melenggang menuju pintu lift yang terletak di sebelah Selatan.
Kebetulan saat itu cuma aku sendiri yang sedang ingin naik lift. Setelah menekan tombol naik, tak lama pintu terbuka. Lima orang keluar dari dalam lift, tiga wanita muda dan dua pria setengah baya dengan wajah sedingin salju. Tak seorang pun di antara mereka ada yang tersenyum.
Wajah mereka kok terlihat pucat semua  ya? Ah, peduli amat! Toh aku tak mengenal mereka, pikirku dalam hati.
Dalam lift aku sendirian. Setelah menekan angka 13, lift pun bergerak ke atas. Mendadak tercium aroma wangi bunga, semakin lama aromanya semakin tajam. Seperti aku kenal dengan wangi bunga ini. Kalau enggak salah, ini bunga kantil yang biasa ditanam di area pemakaman umum. Hotel segini bagusnya kok pakai pewangi bunga kuburan ya?, gumamku dalam hati.
Lift terus melaju. Semantara itu aku mencoba bersenandung untuk mengurangi rasa takutku. Tentu saja lagu yang kunyanyikan bukan lagu anak muda zaman now, tetapi lagu zaman baheula berjudul "Senja Dibatas Kota" yang pernah dinyanyikan artis legendaris Erni Djohan tahun 60-an.
Tak lama kemudian pintu lift terbuka. Tiga orang wanita tua dengan setelan pakaian kebaya tahun 60-an  berdiri persis di depan lift. Rambut mereka semuanya panjang terurai dengan tatapan mata kosong. Tanpa ada yang berkata sedikitpun mereka masuk secara perlahan. Aku menyelinap di antara ketiganya dengan perasaan tak karuan.
Ah, kenapa penghuni hotel ini kok serem-serem ya? Pikirku dalam hati.
Aku terus saja berjalan menelusuri koridor hotel berkarpet merah tersebut sambil meneliti satu persatu nomor kamar yang tertera di sana. Tampaknya lokasi kamarku berada di ujung.
Benar tebakanku. Posisi kamar memang berada di ujung gang. Segera kubuka pintu kamar dengan kartu elektronik. Pintu terbuka dan aku segera merebahkan diri di kasur yang empuk, masih dengan sepatu yang belum kulepas, kecuali tas gendong yang kubawa. Mungkin karena lelah, maksud hati cuma ingin rebahan sejenak, tapi justru aku tertidur pulas. Entah berapa lama aku tertidur, sampai sebuah hentakan keras di pintu membangunkanku.
"Praaaaak ...daaar .... praak ....." Terdengar suara sesuatu yang dilempar keras dan sepertinya mengenai pintu kamar hotelku.
Aku sontak kaget dan langsung terbangun. Ada apa ini? Ujarku dalam hati.
"Dasar bajingan! Enyah kau dari kehidupanku!" Terdengar suara seorang wanita berteriak keras.
"Dasar wanita tak tahu diuntung. Kamu lupa berasal dari mana? Kalau tidak kupelihara, kamu sudah jadi sampah!" balas seorang pria dengan suara keras sedikit serak.
"Pergi sana! Aku muak hidup bersamamu. Aku ingin bebas. Bosan berada dibawah ketiakmu terus," balas wanita itu tak kalah sengitnya.
Aku hanya bisa berdiam dan berusaha mengintip dari lubang pintu hotel. Namun, tak satu senti pun yang bisa kulihat. Suasana sepertinya semakin menegangkan. Lalu kembali terdengar suara benda-benda yang dilempar. Bunyinya keras sekali. Tiba-tiba terdengar teriakan dari wanita itu.
"Ja ...jangaaan ...ampuuun. Lepaskan a ..a..aku," mohon wanita itu.
"Rupanya ini ya maumu!" Ujar pria itu penuh amarah.
Suasana mendadak jadi hening. Aku mencoba memberanikan diri membuka pintu, ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Perlahan-lahan pintu kubuka. Terlihatlah pemandangan yang mengerikan dan menyayat hati.
"Astagfirullah!" Cuma sepatah kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
Depan pintu kamarku terlihat sepatu wanita dan handphone yang pecah berantakan. Hal yang lebih mengerikan lagi, terlihat sosok wanita bersimbah darah tergeletak di dekat pintu kamar 13.09 yang telah terbuka lebar. Letak kamar ini memang persis berseberangan dengan kamarku.
Aku benar-benar merasa terperanjat, bingung bercampur takut. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Sementara darah segar terus mengalir dari tenggorokan wanita itu.
Aku mencoba mendekatinya ingin memeriksa keadaannya dari dekat untuk memastikan dia masih hidup atau sudah mati.
Ya Allah ...Bukankah ini wanita yang tadi bertemu denganku di lobi? Mana pria berambut cepak yang tadi pergi bersamanya? Pikirku dalam hati.
Baru saja kusentuh lengan wanita itu untuk memastikan dirinya masih hidup atau sudah mati, tiba-tiba pria yang kucari muncul dari dalam kamar mandi. Lengan kanannya masih memegang pisau yang bersimbah darah. Sontak saja aku terkejut. Tanpa pikir panjang aku langsung berdiri dan mundur beberapa langkah ke belakang.
Dengan wajah beringas, pria tinggi besar itu langsung mengejarku sambil menghunus pisau yang dipegangnya. Akupun langsung lari menjauh. Sialnya, kakiku tersandung sepatu wanita yang tergeletak di sana sehingga tubuhku terjerembab di lantai.
Hanya dalam hitungan detik pembunuh tersebut sudah mendekatiku. Sambil menggeram dia menendang tubuhku. Namun, aku berhasil menghindarinya dengan spontan membuat gerakan jungkir balik. Kini, aku dan dia dalam posisi saling berhadap-hadapan. Aku pun segera memasang kuda-kuda dan bersiap untuk menghadapinya.
Pria kekar itu menyerangku dengan membabi buta. Pisaunya diarahkan ke dadaku, tapi aku berhasil menepisnya. Untung saja aku pernah belajar karate, sehingga masih ingat gerakan menghindari serangan lawan.
Tenaga pria itu luar biasa, membuat aku kewalahan menghadapinya. Aku mulai tersudut ke pinggir dinding dan kepalaku sempat membentur lampu hias dengan keras. Darah segar mengalir dari pelipis kanan kepalaku dan langsung mengalir membasahi sekujur tubuhku.
Aku mulai merasa cemas. Namun, aku tetap waspada. Anehnya, dalam keributan itu, tak ada seorang pun di hotel itu yang keluar dari kamarnya untuk melerai kami.
Pisau yang dihunus pria itu berhasil mengenai lengan kiriku, tapi aku membalasnya dengan bogem mentah ke wajahnya sehingga membuatnya kaget. Tubuh besarnya sempat terhuyung-huyung hendak jatuh. Kesempatan itu aku manfaatkan dengan baik dengan mengirim sebuah tendangan terbaikku yang mendarat telak di wajahnya. Kini giliran dia yang jatuh tersungkur.
Dengan perasan takut aku berlari ke arah lift yang terletak satu blok di depan dan langsung menekan tombol ke bawah. Ya Tuhan, lift ini kok lama sekali tidak terbuka, gumamku gelisah sekali sambil sesekali melihat ke samping mengamati pria tadi.
Tiba-tiba pria itu muncul dari tikungan lorong hotel dengan memegang pisau yang berlumuran darah. Langkah gontai, terhuyung-huyung. Namun, dia terus berusaha mendekatiku.
Alhamdulillah, pintu lift terbuka. Aku langsung loncat dan masuk ke dalamnya. Dengan tergesa-gesa aku menekan tombol penutup pintu lift. Bersyukur pintu itu segera mulai menutup. Ketika pintu itu hampir menutup sempurna, sebuah jari tangan tiba-tiba muncul menghalanginya. Ya, itu tangan pria yang sedang mengejarku.
Kembali aku terkejut. Tubuhku mundur dua langkah ke belakang. Kembali sebuah jari lagi muncul dari sisi yang berbeda. Jari itu berwarna merah, bersimbah darah segar. Keduanya jari itu berusaha memaksa membuka pintu lift.
Aku segera tersadar ketika wajah seram penjahat itu mulai terlihat. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Aku kembali menghajarnya dengan sebuah tendangan keras yang mendarat telak di dadanya. Pria itu pun terpental ke belakang sampai terjengkang. Suaranya cukup keras, persis seperti nangka jauh ke bumi ketika tubuh dan kepalanya menghantam dinding hotel.
Kembali aku pencet tombol penutup pintu lift dengan tergesa-gesa dan menekan tombol menuju lobi hotel. Sempat kulihat pria itu berusaha bangkit kembali dengan wajah penuh amarah ketika pintu lift hampit tertutup dengan sempurna.
Aku tak habis pikir kenapa harus mengalami hal seperti ini. Mimpi apa aku semalam? Â Apa salahku? Pikirku dalam hati. Baru kali ini aku merasakan menunggu sampai ke bawah di dalam lift terasa lama sekali.
Saat pintu terbuka, aku langsung lari menuju loi hotel. Saat itu suasana di sekitar lobi sepi sekali. Aku tak tahu ini jam berapa, tapi sepertinya sudah tengah malam. Hanya ada dua orang petugas yang terlihat di sana. Satu orang sedang berdiri sambil menerima telepon, sedangkan seorang lagi tengah asyik memeriksa buku tamu.
Mendengar suara langkahku berlari ke arah mereka membuat mereka tampak terkejut. Apalagi tubuhku bersimbah darah dengan wajah penuh ketakutan.
"Tooloooong ... tooloooong ...ada pembunuhan Pak!" Teriakku kencang sambil terengah-engah menuju ke arah mereka.
Kedua petugas itu terpana melihat kondisiku. Mereka sontak menghentikan aktivitasnya.
"Ada apa Pak? Apa yang terjadi?" Ujar pria  muda berkaca mata minus yang tadi sedang memeriksa buku tamu.
"Iya Pak ....Ada apa ya? Kenapa baju Bapak penuh darah?" Timpal petugas satu lagi yang tadi sedang menelepon.
"Ada pembunuhan di Kamar 13.09 Pak. Saya saksinya Pak. Pembunuhnya tadi mengejar saya dan berusaha untuk membunuh saya juga. Untung saya berhasil kabur Pak. Tolong Pak, segera periksa," ujarku memohon agar petugas tersebut memeriksa laporanku.
"Kamar 13.09?" Ujar kedua petugas hotel itu hampir bersamaan.
"Benar Pak! Ayo kita segera ke sana. Tolong panggil security Pak. Cepat Pak!" Ujarku dengan nada ketakutan.
Anehnya, kedua petugas itu justru saling bertatapan. Wajahnya terlihat seperti orang bingung.
"Maaf Pak. Apakah Bapak enggak salah lihat?" Ujar pria yang rambutnya sedikit pendek.
"Tidak Pak. Benar kejadiannya di Kamar 13.09. Kamar itu persis di depan kamar saya, 13.08," ujarku dengan mimik serius sambil menahan sakit di lenganku yang terluka.
"Tapi ....tapi ...itu kamar kosong Pak. Mana mungkin ada penghuninya. Sudah tiga tahun kamar itu sengaja kami kosongkan," jawab petugas yang berkumis tipis penuh keheranan.
"Buat apa saya bohong Pak. Lihat saja sendiri keadaan saya. Mana mungkin saya berbohong Pak," jawabku dengan nada agak kesal.
Lima menit kemudian aku ditemani dua tiga orang petugas security hotel bergegas ke lift untuk menuju ke lantai 13. Selama dalam lift, tak ada seorang pun yang bicara. Ketiga security yang mendampingiku terlihat serius sambil membawa pentungan untuk berjaga-jaga.
Pintu lift terbuka. Tidak terlihat ada yang mencurigakan. Kami pun segera menuju kamar 13.09. Anehnya, suasana di sini hening sekali. Tak ada siapa-siapa di sana. Semantara itu kembali tercium aroma bunga kantil menyeruak mengganggu hidungku yang peka.
"Ini kamarnya?" Tanya salah seorang petugas security kepadaku.
"Iya Pak," jawabku datar penuh keheranan.
Betapa tidak. Kamar 13.09 masih tertutup rapat. Begitu juga kamarku. Padahal kedua kamar itu tadi terbuka lebar.
"Ayo kita periksa!" Ujar salah seorang di antara ketiga security itu.
Perlahan-lahan pintu kamar itu dibuka. Kami semua merasa tegang dan tetap berjaga-jaga segala kemungkinan.
Ternyata kamar itu kosong, persis seperti yang dijelaskan petugas lobi hotel. Tak ada mayat, bercak darah, atau tanda-tanda telah terjadi kekerasan di sana.
"Kosong Pak. Tak ada apa-apa," ujar salah seorang petugas security setelah memeriksa semua sudut ruangan di kamar itu.
Aku bingung sendiri. Apa sih sebenarnya yang sedang terjadi? Pikirku dalam hati. Kemana perginya mayat yang tadi ada di sini? Lantas, pembunuh tadi pergi kemana? Tanyaku lagi dalam hati.
Salah seorang petugas security menjelaskan padaku kalau di kamar 13.09 pernah terjadi peristiwa pembunuhan tragis. Peristiwa itu terjadi tiga tahun silam, setelah keduanya terlibat pertengkaran hebat. Korbannya istri simpanan seorang mantan pejabat di sebuah kesatuan TNI. Istrinya dibunuh menggunakan pisau komando, kemudian sang pelaku bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 13 gedung hotel tersebut.
Sejak peristiwa pembunuhan tersebut, kamar 13.09 dibiarkan kosong, soalnya tak ada tamu yang berani menghuninya. Pernah dulu ada yang coba-coba tidur di sini, malamnya dia diganggu makhluk astral yang menyerupai korban dengan wajah yang menyeramkan. Sejak saat itu tak satupun orang mau menginap di kamar ini.
Terus terang, aku masih belum yakin dengan apa yang baru terjadi. Semuanya berlangsung begitu cepat dan tidak bisa diterima dengan akal sehat. Aku masih tertegun berdiri di atas tempat mayat wanita cantik berambut pirang yang tewas mengenaskan itu. Wajahnya masih terbayang jelas di kepalaku. Sungguh malang sekali nasibmu, pikirku dalam hati.
Saat tersadar dari lamunanku, kuperhatikan ketiga petugas security yang tadi ada di ruangan sudah tak ada di tempat. Aku segera menyusulnya keluar, tapi tak ada juga. Aku lantas diam sejenak dibelokan jalan menuju lift.
Aku masih bingung dengan pikiranku sendiri. Kemana perginya ketiga petugas security tadi? Kenapa mereka tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kalau pun mereka mau pergi, harusnya mereka bilang dulu padaku, pikirku dalam hati.
Tiba-tiba ada sebuah benda keras menghantamku dari arah belakang. Kepalaku langsung pusing tujuh keliling. Tubuhku yang tambun pun terhuyung-huyung. Belum sempat menoleh ke belakang, sebuah pukulan keras kembali menghantam kepalaku. Kali ini aku benar-benar terjatuh sehingga wajahku mencium lantai. Selanjutnya semuanya menjadi gelap. Ibarat sinar lampu yang kehilangan daya di tengah kegelapan malam.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H