Pendahuluan
Latar belakang riset penelitian studi ini menaruh perhatian pada penghormatan anak-anak (keturunan) terhadap orang tua (leluhur) melalui budaya lokal (Batak): upacara mangongkal holi dan perintah keempat dalam Gereja Katolik.Â
Penelitian ini memiliki relasi dengan kedudukan manusia dalam kebudayaan, yang memiliki peran sentral. Manusia bukan semata-mata sebagai orang, melainkan sebagai pribadi. Kepadanya segala kegiatan diarahkan sebagai tujuan.[1]Â
Kebudayaan dengan demikian mengacu pada pengetahuan bersama, di mana pada akar gagasan ini terdapat konsep mengajarkan, memelirhara, dan mewariskan sesuatu. Pengetahuan yang dimiliki bersama tersebut kemudian dipergunakan untuk menafsirkan dan menilai berbagai cara masing-masing individu maupun kelompok dalam hubungannya satu sama lain, dan juga dengan lingkungan mereka.[2]Â
Dalam dunia yang terus berkembang seperti sekarang, manusia mau tidak mau dihadapkan pada berbagai pertanyaan mengenai perkembangan dunia (modern), mengenai tempat, pengaruh (peran) manusia dalam alam semesta, makna dari segala usahanya yang baik secara perorangan maupun bersama-sama, dan akhirnya tentang tujuan terakhir dunia sekaligus manusia itu sendiri.Â
Kita berada di mana, dan akan dibawa kemana kehidupan ini selanjutnya? Apakah masih ada tempat untuk saya/kita untuk hidup? Apakah manusia ditakdirkan untuk ikut-ikutan saja, sekalipun tidak mengetahui tujuan hidupnya? Masih adakah rasa persaudaraan di antara seluruh umat manusia?[3]
Arti hidup tentunya memiliki relasi yang erat dengan arti dunia, sebab seluruh hidup manusia bersatu dengan alam semesta. Manusia tidak hanya penghuni dunia dan alam semesta, ia juga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjaga, memelihara, dan mewariskan alam yang indah dan mengagunkan ini kepada generasi selanjutnya.Â
Diperlukan kesadaran bahwa dunia harus selalu baru-baik, dan semakin sesuai dengan tujuan hidup manusia yang sebenarnya. Manusia nyatanya memiliki relasi dengan Tuhannya, dengan sesama manusia secara individual, bersama-sama, dan masyarakat. Manusia juga memiliki ketergantungan dengan dunia material di sekitarnya, dan akhirnya manusia itu mempunyai relasi dengan dirinya sendiri. Frame work relasi tersebutlah, yang dimaksudkan dengan kebudayaan.
Dalam kehidupan manusia itu sendiri, terdapat empat unsur yang dipandang Gereja sebagai poros (kerangka) kebudayaan. Pertama, Tuhan atau yang lebih umum disebut Yang Transenden. Kedua, kebudayaan manusia yang terbentuk karena kegiatan di masa lampau sampai sekarang ini, yang terus menghubungkan manusia satu sama lain. Ketiga, dunia material, karena tanpanya manusia tidak dapat hidup dan bergerak. Keempat, diri manusia itu sendiri, sebab ia dilahirkan dan berkembang dalam ikatan kebudayaan.[4]
Warisan kebudayaan lokal adalah salah satu sarana yang seharusnya disadari, dipelihara, dan diwariskan secara terus-menerus oleh seluruh masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya sebagai ungkapan cinta yang menyeluruh dalam hidup, terutama dalam hubungannya dengan cinta anak (keturuanan) kepada orang tua (leluhur).Â