Ketika ia baru saja menyerahkan pesanan kami.
“Jadi ini makan malam interogasi?”
“Jangan merasa begitu ah!”
“Karena kupikir pak Untung aja yang akan menginterogasiku. Atau kamu jadi diminta untuk jadi agennya?”
Untung, intel Kodim yang tempo hari menemuiku.
Alina masih menatapku. Menanti jawaban. Tatapan yang membuat aku selalu merasa keliru. Intimidatif, tetapi aku suka. Ini juga paradok, entah yang keberapa.
“Mas, sejak penangkapan aktivis di Jogja dan Jakarta, apalagi kamu bilang beberapa temanmu masih belum kembali ke kosnya. Aku..,”
Tidak melanjutkan. Ia terdiam. Mungkin karena, soto pesanannya. Tetapi bisa juga dia tidak ingin melanjutkan kalimatnya. Takut aku besar kepala, itu yang selalu ia bilang.
Anak mami ini ternyata mulai mengikuti berita politik.
“Jangan besar kepala dulu! Belakangan ini aku mulai mengkuatirkanmu mas.”
Tegas, perlahan. Untuk paradok barunya. Dua hal yang bertentangan ada dalam satu kalimat itu. Menutup, tetapi kemudian membukanya lebar. Tanpa diminta pun, kalimat itu membuatku melayang. Seandainya aku memakai helm, tetapi lucu juga karena tidak sedang naik motor, terasa sesak. Karena kepalaku seperti yang dia bilang.