“ Mas, apasih yang membuatmu melakukan ini semua?”
Pertanyaan sederhana. Singkat. Tetapi tidak untuk jawabannya. Akan menyangkut banyak hal. Bisa alasan, bisa juga tujuan, atau mimpi yang ingin kuwujudkan. Panjang sekali untuk dijelaskan.
“Melawan!”
Itu kata yang tepat, untuk sebuah jawaban singkat.
Alina menatapku lekat. Tidak biasanya ia menaruh minat mendiskusikan sesuatu yang serius bersamaku. Tidak kali ini.
Sejak dari gerbang kampus, ia sudah menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Aku menduga, Mas Pras, dosen Pancasilanya memberi tugas makalah. Tetapi dia menggeleng.
“Ingin tahu aja!” Begitu ia menjawab.
Bahkan, Ia melangkahkan kaki kearah berbeda, saat langkah kakiku sudah menuju ke jalan yang benar. Kosnya.
“Aku mau makan.”
Aku berbalik, menatapnya.
“Sudah.., aku yang bayar.”
Tengil, ia berlagak dapat membaca pikiranku. Mahasiswa beasiswa. Meski punya jabatan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas, tetapi jangan tanya rupiah di dompetku. Nihil.
“Bukan itu maksudku!”
“Emang mau bayarin?”
“Nggak juga sih.”
“Ya udah ayok !”
Kuikuti juga langkah kaki nya.
Malam itu, Salatiga lebih dingin dari biasanya. Tetapi kata orang. Alina membuat kota ini bagiku terasa lebih hangat. Dengan dia ada di bahuku atau ketika hanya ada di kepalaku.
Jalan Kartini yang temaram, tidak membuat kami merasa gelap. Karena cahaya itu kini ada disampingku. Pijarnya membuat langkah kakiku lebih pasti. Anehnya, langkah kaki ini rasanya berat dan lajunya semakin melambat. Meski bukan hanya Alina, aku juga lapar, tetapi tidak terlalu bernafsu untuk segera mencapai tujuan. Satu dari sekian banyak paradok yang kutemukan ketika bersamanya. Mungkin kelak akan lebih banyak lagi.
“Pungkursari aja.”
Begitu ia menyebutkan destinasi kami nantinya.
“Aku ingin dengar kelanjutannya mas!”
Ketika ia baru saja menyerahkan pesanan kami.
“Jadi ini makan malam interogasi?”
“Jangan merasa begitu ah!”
“Karena kupikir pak Untung aja yang akan menginterogasiku. Atau kamu jadi diminta untuk jadi agennya?”
Untung, intel Kodim yang tempo hari menemuiku.
Alina masih menatapku. Menanti jawaban. Tatapan yang membuat aku selalu merasa keliru. Intimidatif, tetapi aku suka. Ini juga paradok, entah yang keberapa.
“Mas, sejak penangkapan aktivis di Jogja dan Jakarta, apalagi kamu bilang beberapa temanmu masih belum kembali ke kosnya. Aku..,”
Tidak melanjutkan. Ia terdiam. Mungkin karena, soto pesanannya. Tetapi bisa juga dia tidak ingin melanjutkan kalimatnya. Takut aku besar kepala, itu yang selalu ia bilang.
Anak mami ini ternyata mulai mengikuti berita politik.
“Jangan besar kepala dulu! Belakangan ini aku mulai mengkuatirkanmu mas.”
Tegas, perlahan. Untuk paradok barunya. Dua hal yang bertentangan ada dalam satu kalimat itu. Menutup, tetapi kemudian membukanya lebar. Tanpa diminta pun, kalimat itu membuatku melayang. Seandainya aku memakai helm, tetapi lucu juga karena tidak sedang naik motor, terasa sesak. Karena kepalaku seperti yang dia bilang.
“Mas, aku mengkuatirkanmu. Bukan sedang melarangmu, apalagi menghentikan langkahmu dalam menentang orde baru. Bukan! Jadi jangan berprasangka!”
Kekasihku, tiba-tiba menjadi mahaguru bijak malam ini. Padahal, selama ini dimataku adalah anak mami manja yang selalu mengintimidasi dengan pernyataan-pernyataan mesranya. Ia lupa pada kebiasaan itu malam ini.
“Ini juga sesuatu yang rumit. Siapa sih yang tidak ingin hidup nyaman ? Kuliah, berprestasi, bercinta, lulus, bekerja, menikah dan hidup bahagia sampai akhir hayat. Tetapi, kamu lihat sendiri. Kondisi negeri kita saat ini.”
Sambil kunikmati pedasnya ayam bakar Mas Pur. Nikmat.
“Ingin kerja, ada istilah orang dalam. Pohon pun dipaksa berpolitik, dicat kuning, biar orang mengira jika pohon pilih Golkar. Pengin cepat urus surat, kamu perlu salam tempel. Itu ada di depan mata kita. Belum yang di sono, Jakarta. Lebih gila.”
Menghela nafas. Sesak juga, meski ayam bakarnya enak.
“Aku hanya menginginkan perubahan. Untuk itu, hanya mahasiswalah yang bisa bergerak tanpa beban. Tanpa diboncengi kepentingan di kepalanya. Murni perubahan.”
“Mas, aku hanya ingin kamu tahu, aku gelisah memikirkanmu. Hanya itu kok yang ingin aku bilang ke kamu. Lagian, kamu juga tahu, aku suka sama kamu, kenapa?”
Alina kembali menatapku. Kali ini, tatapannya merayu. Seperti biasanya. Aku ingin bilang, stop! Urusan menentang rezim sudah mengganggu tidurku. Jangan tambah lagi beban dengan memikirkan senyuman itu. Tetapi, aku tidak berdaya menghentikannya. Kunikmati saja, biar kuurus akibatnya nanti.
Aku tahu. Karena aku aktivis. Menurutnya, sosok langka karena peduli pada perubahan dengan jalan menentang rezim. Masih menurutnya, seperti orang yang sedang membenturkan dirinya di tembok besar Cina dan berharap tembok itu runtuh. Bisa berdarah-darah. Rezim ini terlalu kuat. Cengkeramannya sudah mendarah daging. Bahkan merasuk di kepala masyarakat kecil sekalipun. Jadi menurut Alina, pria pemberontak seperti aku ini seksi. Gila juga kan opini pacarku. Itu juga yang aku suka. Dia tidak kalah gilanya dari aku.
Masih kupandangi foto Alina di meja kamarku. Ternyata, aku benar-benar merindukannya. Dan entah sampai kapan. Sejak surat pertamanya menghampiriku beberapa hari yang lalu, dia terus saja hadir, memenuhi ruang di setiap sudut kepalaku. Padahal, aku telah menuliskannya dalam dinding hati. Tetapi itu saja ternyata tidak cukup. Dia benar-benar pemberontak sepertiku. Tidak cukup hanya menguasai hatiku, tetapi jugamelengserkan kepalaku. Ia pemenang.
Alina mengkuatirkanku. Tragedi Mei, membuatnya ingat pada negaranya, yang ia tinggalkan entah untuk sampai kapan. Ia beruntung, pergi sebelum kejadian yang pernah ia duga itu benar-benar terjadi. Meski jejaknya, membuatku merana. Tetapi aku bahagia, masih ada namaku dalam ingatannya. Alina, aku juga mengkuatirkanmu tetapi lebih tepatnya merindukanmu. Meski saat ini, aku tidak sedang berharap kamu untuk pulang.
Kisah sebelumnya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H