“Mas, aku mengkuatirkanmu. Bukan sedang melarangmu, apalagi menghentikan langkahmu dalam menentang orde baru. Bukan! Jadi jangan berprasangka!”
Kekasihku, tiba-tiba menjadi mahaguru bijak malam ini. Padahal, selama ini dimataku adalah anak mami manja yang selalu mengintimidasi dengan pernyataan-pernyataan mesranya. Ia lupa pada kebiasaan itu malam ini.
“Ini juga sesuatu yang rumit. Siapa sih yang tidak ingin hidup nyaman ? Kuliah, berprestasi, bercinta, lulus, bekerja, menikah dan hidup bahagia sampai akhir hayat. Tetapi, kamu lihat sendiri. Kondisi negeri kita saat ini.”
Sambil kunikmati pedasnya ayam bakar Mas Pur. Nikmat.
“Ingin kerja, ada istilah orang dalam. Pohon pun dipaksa berpolitik, dicat kuning, biar orang mengira jika pohon pilih Golkar. Pengin cepat urus surat, kamu perlu salam tempel. Itu ada di depan mata kita. Belum yang di sono, Jakarta. Lebih gila.”
Menghela nafas. Sesak juga, meski ayam bakarnya enak.
“Aku hanya menginginkan perubahan. Untuk itu, hanya mahasiswalah yang bisa bergerak tanpa beban. Tanpa diboncengi kepentingan di kepalanya. Murni perubahan.”
“Mas, aku hanya ingin kamu tahu, aku gelisah memikirkanmu. Hanya itu kok yang ingin aku bilang ke kamu. Lagian, kamu juga tahu, aku suka sama kamu, kenapa?”
Alina kembali menatapku. Kali ini, tatapannya merayu. Seperti biasanya. Aku ingin bilang, stop! Urusan menentang rezim sudah mengganggu tidurku. Jangan tambah lagi beban dengan memikirkan senyuman itu. Tetapi, aku tidak berdaya menghentikannya. Kunikmati saja, biar kuurus akibatnya nanti.
Aku tahu. Karena aku aktivis. Menurutnya, sosok langka karena peduli pada perubahan dengan jalan menentang rezim. Masih menurutnya, seperti orang yang sedang membenturkan dirinya di tembok besar Cina dan berharap tembok itu runtuh. Bisa berdarah-darah. Rezim ini terlalu kuat. Cengkeramannya sudah mendarah daging. Bahkan merasuk di kepala masyarakat kecil sekalipun. Jadi menurut Alina, pria pemberontak seperti aku ini seksi. Gila juga kan opini pacarku. Itu juga yang aku suka. Dia tidak kalah gilanya dari aku.
Masih kupandangi foto Alina di meja kamarku. Ternyata, aku benar-benar merindukannya. Dan entah sampai kapan. Sejak surat pertamanya menghampiriku beberapa hari yang lalu, dia terus saja hadir, memenuhi ruang di setiap sudut kepalaku. Padahal, aku telah menuliskannya dalam dinding hati. Tetapi itu saja ternyata tidak cukup. Dia benar-benar pemberontak sepertiku. Tidak cukup hanya menguasai hatiku, tetapi jugamelengserkan kepalaku. Ia pemenang.