Tengil, ia berlagak dapat membaca pikiranku. Mahasiswa beasiswa. Meski punya jabatan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas, tetapi jangan tanya rupiah di dompetku. Nihil.
“Bukan itu maksudku!”
“Emang mau bayarin?”
“Nggak juga sih.”
“Ya udah ayok !”
Kuikuti juga langkah kaki nya.
Malam itu, Salatiga lebih dingin dari biasanya. Tetapi kata orang. Alina membuat kota ini bagiku terasa lebih hangat. Dengan dia ada di bahuku atau ketika hanya ada di kepalaku.
Jalan Kartini yang temaram, tidak membuat kami merasa gelap. Karena cahaya itu kini ada disampingku. Pijarnya membuat langkah kakiku lebih pasti. Anehnya, langkah kaki ini rasanya berat dan lajunya semakin melambat. Meski bukan hanya Alina, aku juga lapar, tetapi tidak terlalu bernafsu untuk segera mencapai tujuan. Satu dari sekian banyak paradok yang kutemukan ketika bersamanya. Mungkin kelak akan lebih banyak lagi.
“Pungkursari aja.”
Begitu ia menyebutkan destinasi kami nantinya.
“Aku ingin dengar kelanjutannya mas!”