Sudah sejak tiga jam yang lalu, dia tiba di taman ini. Lalu duduk di salah satu bangku yang tersedia, dengan tatapan gusar yang tak pernah bisa disembunyikan. Manik matanya berkilatan ke sana ke mari, berkali-kali pula dia menoleh, menegaskan bahwa ada seseorang yang sedang ditunggu. Sebuah tentengan, semacam goodie bag, bertuliskan Raisa Food tersimpan rapi di sebelah kanannya.
Rey, demikian nama lelaki itu. Muda, tampan, berkharisma, dan baru saja lulus SMA. Dia datang untuk sebuah janji yang hingga kini masih dipegangnya erat. Janji bertemu dengan Ratri, seorang gadis yang dikenalnya secara tak sengaja, setahun yang lalu, saat sedang berjalan-jalan sembari menikmati suasana senja yang damai.
"Maaf, numpang tanya, tahu alamat ini?" tanya gadis berrambut hitam lurus sebahu itu dengan sopan, di awal pertemuan mereka. Lantas menunjukkan sebuah alamat yang tertulis pada telepon genggamnya.
Rey membaca dengan seksama. "Eyang Sasmita, Selacai," dia bergumam, Â keningnya tampak berkerut, sepertinya sedang memikirkan rute yang harus dilewati untuk menuju ke alamat. "Oya, dari sini naik angkot 03, lalu turun di bunderan yang dekat kantor bupati, lalu nyambung naik angkot lagi yang warna putih, nah, angkot itu melintas ke jalur tersebut," lanjutnya memberi petunjuk.
Gadis itu manggut-manggut, namun, dari sinar matanya, terlihat jelas ada ragu yang tersirat. "Makasih," ucapnya lembut, lalu tersenyum, dan akhirnya beranjak mengikuti arahan. Rey membalas sambil terus mengawasi. Entahlah, pandangannya menjadi sangat sulit untuk berpaling. Ditambah sedikit khawatir, kalau-kalau gadis itu tidak bisa menemukan alamat dengan tepat.
Dari tempatnya duduk, Rey dapat melihat dengan jelas, kalau gadis berkulit cerah dan berhidung mancung itu sudah berhasil menaiki angkot pertama. Yang tak lama kemudian, angkot pun melaju mengikuti lintasan sesuai trayek. Ah! Rey merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang pergi, yang mungkin tak akan pernah datang kembali!
Tanpa banyak pertimbangan, lelaki muda berkaus oblong warna hitam itu segera melesat ke tempat parkir, mengambil motor besarnya, dan memacu kecepatan untuk menyusul angkutan umum perkotaan yang ditumpangi gadis cantik yang tadi menanyakan alamat kepadanya. Dia seperti tak mau kehilangan momen untuk bisa mengenal lebih dekat. Untunglah, laju angkot yang hanya dengan kecepatan sedang, ditambah sering berhenti untuk menaik-turunkan penumpang, memudahkannya mengejar. Dia pun lantas mengurangi kecepatan, dan hanya membuntuti dari jarak aman.
Sesuai dengan petunjuk, angkot berhenti di bunderan. Gadis itu pun turun, lalu tampak sibuk mengurus barang-barang bawaan; sebuah koper, tas gendong dan tas jinjing berukuran sedang. Rey menghentikan motor tepat di depannya. Gadis itu menoleh, dan terlihat sedikit kaget, tampak jelas dari lipatan yang tiba-tiba muncul di kening.
Rey membuka helm, lalu tersenyum, untuk sekedar mencairkan suasana dan meredam sedikit gugup yang tiba-tiba menerpa. "Sorry, kalau sempat membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan, kamu gak kesasar," ucapnya beralasan. Gadis berkaus merah muda polos lengan panjang itu menghela napas, lalu balas tersenyum.
"Oya, aku, Rey." Lelaki muda itu kemudian menyebutkan nama sambil mengulurkan tangan.
Dengan sedikit ragu, si gadis menyambut. "Aku, Ratri," katanya.
"Ok, selamat datang di daerah kami. Untuk menuju Selacai, tinggal naik angkot warna putih. Eh, tapi, masih ada gak ya?" kata Rey sambil tetap duduk di atas motor, lalu melirik jam tangannya untuk memastikan. "Kita tunggu saja, semoga masih ada," lanjutnya.
"Memangnya angkutan di sini tidak 24 jam?" tanya Ratri sedikit cemas. Pandangannya lekat ke arah lelaki muda yang ada di hadapannya, berharap lelaki berkulit cerah dan berambut potongan pendek rapi itu menjawab tidak. Terbayang olehnya jika angkutan untuk menuju alamat, benar-benar sudah tidak ada. Bagaimana nasibnya nanti? Dia tidak mau kalau sampai harus terdampar di situ.
"Kalau trayek tertentu masih ada, tapi, kebetulan ke Selacai tidak termasuk. Ini kota kecil, jadi aktifitas warga tidak sesibuk di kota-kota besar."
"Mmm," Ratri hanya menggumam, lalu menarik napas dalam, mungkin untuk membuang gundah yang masih sulit dihempaskan. "Kalau taxi, atau angkutan lain?" tanyanya kemudian.
"Di sini, taxi atau angkutan online lainnya masih belum ada, paling juga ojek, tapi kalau sudah sore begini, biasanya sudah kembali ke garasi. Ada sih yang masih narik, tapi sedikit."
Lagi-lagi, Ratri hanya menghela napas. Resah masih saja membayangi.
"Memangnya belum pernah ke sini sebelumnya? Kamu dari mana asalnya?" tanya Rey. Meski terdengar sekedar basa-basi, tapi sesungguhnya dia bertanya dengan serius.
"Pernah sih dulu, waktu kecil, sama Ibu. Tapi sudah lupa," jawab Ratri seraya menerawang. "Eyang Sasmita itu kakekku, ayah dari Ibu. Tapi, Ibu ikut Ayah ke Kalimantan, jadi jarang pulang ke sini. Nah, mumpung libur sekolah, aku ingin mengunjungi Kakek. Sengaja tidak memberi tahu terlebih dahulu, biar kejutan. Tapi, malah aku yang bingung sekarang."
"Hehe," Rey terkekeh. "Jadi, orang sini tidak ada yang tahu, kalau kamu akan datang? Termasuk saudara-saudara yang lain? Paman, Bibi, atau sepupu, mungkin?"
Ratri menggeleng. "Aku bahkan tidak tahu nomor kontak mereka, yang ada hanya nomor Bi Asih, tapi dihubungi dari tadi selalu tidak aktif. Mungkin, kalau bertemu juga sudah lupa, soalnya pas dulu ketemu masih kecil banget."
Rey kembali terkekeh. "Kamu berani, ya? Perempuan, dari Kalimantan sendirian ke Pangandaran. Hebat, hebat," katanya sambil mengacungkan dua jempol.
Mendengar dirinya dipuji, gadis itu hanya tersenyum, pipinya memerah. "Tapi, berakhir terdampar di bunderan ini," katanya lirih.
"Hahaha, kasihan. Mau aku antar? Anggap saja tukang ojek," Rey menawarkan tumpangan.
"Kalau tidak merepotkan?"
"Tidak. Dengan senang hati. Ayo naik."
Dengan hati-hati, Ratri membonceng di jok belakang. Rey membantu mengangkat koper dan tas jinjing, sementara tas gendong tetap berada di punggung gadis yang nyaris terdampar itu.
Sepanjang perjalanan, mereka masih melanjutkan obrolan. Tentang keluarga, sekolah, juga hal-hal konyol yang dianggap lucu, hingga membuat mereka tertawa bersama. Ternyata mereka seangkatan, sama-sama baru naik ke kelas dua belas. Suasana akrab segera terbangun. Seolah mereka adalah sahabat lama yang baru berjumpa kembali.
"Aku pulang dulu, ya?" Rey pamit setelah berhasil menemukan rumah Eyang Sasmita, dan menyaksikan adegan pertemuan antara cucu dan kakek, juga keluarga lain yang begitu mengharukan. Jujur, hatinya merasa trenyuh, ternyata ikatan keluarga itu begitu kuat, meski terpisah oleh jarak yang jauh, juga samudra yang membentang.
Ratri mengangguk, disela isaknya yang masih belum tuntas.
"Nuhun nya A, tos ngajajap incu ema, dugi ka dieu," ucap Emak Eyang berterima kasih. (Terima kasih, Kak, sudah mengantar cucu nenek)
Rey mengangguk, lalu berkata, "sami-sami," sebelum akhirnya meninggalkan kediaman keluarga itu. Ada bahagia yang menyelinap di rongga jiwanya. Karena bisa membantu gadis itu menemukan keluarganya, atau sebab lain? Entahlah.
***
"Besok aku pulang ke Kalimantan," ucap Ratri pada suatu sore saat mereka sedang berjalan-jalan di pesisir pantai Batuhiu. Salah satu pantai legenda yang cukup mashur di Pangandaran, kabupaten termuda di Jawa Barat. Sejak kedatangannya, Rey tak pernah absen mengunjungi dan menemani gadis itu menikmati keindahan setiap objek wisata yang ada di kotanya.
"Kok ngedadak? Kamu bilang, waktu itu, sekitar tiga hari lagi baru balik?" Rey bertanya. Dari nada suaranya terdengar nyata, ada kecewa yang mendera. Sejenak dia pun menghentikan langkah, dan menatap lekat ke arah Ratri, seolah ingin menegaskan kalau gadis itu tidak sedang bercanda.
Ratri pun ikut berhenti. "Iya, maaf, ternyata harus maju. Tadi malam, Ibu nelpon, katanya aku harus pulang, karena ada hal yang harus kuselesaikan di sekolah."
"Yaa... Padahal masih banyak tempat yang belum kamu kunjungi," sesal Rey. Lalu membuang pandangannya ke tengah laut. Ke arah ombak-ombak yang bergulung-gulung, Â saling mengejar.
"Apa itu?"
"Banyak, salah satunya, aku ingin mengajakmu ke gerai kue langgananku, di sana kuenya enak-enak, tapi aku paling suka klapertaart. Aku addict banget sama kue yang satu itu. Mmm, lembuuut banget, tersedia dalam tiga varian rasa; original, keju dan durian. Aku suka semuanya," jelas Rey, sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
"O ya? Yang bener? Aku juga suka aneka macam kue-kue. Kapan bisa ajak aku ke sana? Sekarang?" tanya Ratri tak sabar, lalu kembali menjajari langkah Rey.
"Gak bisa. Ini sudah sore. Pasti sudah tutup," jawab Rey sedikit ketus, seolah masih ada kesal yang bergelayut di hatinya.
"Trus, kapan?" desak Ratri.
"Gak tahu. Besok kamu pulang, kan?" Rey malah balik bertanya.
Ratri mengangguk pelan, sambil berkata lirih, "iya."
"Tuh kan, kita emang gak punya waktu, besok pasti gak akan keburu," Rey menarik kesimpulan. "Ya udah, nanti aja kalau kamu ke sini lagi," lanjutnya memberi keputusan.
Kali ini, Ratri yang menghentikan langkah dan kembali menatap lekat ke arah Rey, yang akhirnya ikut berhenti juga. Gurat kecewa yang tiba-tiba muncul, tak bisa lagi disembunyikan agar tak nampak di wajah. Tapi, mau tidak mau, harus bisa menerima keputusan itu. Dia harus menyadari, keputusan itu juga karena dirinya yang tak punya waktu untuk pergi. "Ya, deh," Ratri berucap dengan terpaksa. "Tapi, janji, ya? Nanti ajak aku," lanjutnya meminta kepastian.
Rey tersenyum lalu mengangguk. "Iya, janji," ucapnya tegas.
Ratri menghela, ada rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, hatinya lega. "Baiklah, aku pun janji, liburan akhir tahun pelajaran depan, akan kembali ke sini," katanya tak kalah tegas.
"Serius?" Rey berseru, wajahnya berbinar, seolah awan kelabu itu sudah hilang tersapu angin.
"Iya, serius," Ratri meyakinkan.
"Bener, ya?" tanya Rey lagi, seolah masih belum percaya. "Aku tunggu, lho!"
"Iya, bener!" ucap Ratri sangat yakin sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, membentuk huruf V. Di bibirnya terbentuk segaris senyum.
Mendengar jawaban Ratri yang begitu mantap, Rey lantas berlari ke arah laut, lalu berhenti di batas air, dan berteriak lantang, "Hai ombak, pasir, karang dan ikan-ikan! Dengarkan aku, Ratri sudah janji, liburan tahun depan, akan kembali ke sini!"
Demi melihat tingkah Rey, Ratri hanya tertawa-tawa.
"Kok ketawa?" tanya Rey, begitu sudah kembali mendekat.
"Enggak, pengen aja, hehe," jawab Ratri ngeles, "abis, kamu lucu. Haha."
Huh! Rey merengut. "Pulang yu, nanti dicariin Eyang," ajaknya.
Ratri mengangguk,"Tapi, aku ingin melihat sunset dulu, ya?"
Dengan senang hati, Rey pun mengabulkan. Di bibirnya tercetak secercah senyum.
***
Baru kali ini, Rey merasa bahwa waktu setahun ternyata lama. Baru kali ini pula dia membuktikan bahwa benar setahun terdiri atas tiga ratus enam puluh lima hari, setidaknya dari tanda silang yang berhasil dia bubuhkan pada kalender yang tergantung di dinding kamar. Â Dan kali ini, dia sangat percaya kalau menunggu benar-benar pekerjaan yang membosankan.
Tak heran, ketika hari yang dinanti pun tiba, dia telah bersiap untuk menjemput Ratri, di taman ini, seperti awal bertemu. Namun, sudah lebih dari tiga jam, sosok yang ditunggunya belum juga datang.
Masihkah harus menunggu?Bisik hatinya resah. Padahal untuk tiba di hari ini sudah melalui penantian yang panjang. Ah! Dia membuang napas. Berkali-kali melirik jam tangannya, berkali-kali pula menoleh ke arah jalan yang mungkin akan diinjak Ratri. Taman ini memang bersebrangan dengan terminal, dan dilewati angkutan umum, maka tak heran kalau banyak penumpang yang menjadikannya serupa halteu.
"Rey!" terdengar seseorang memanggil dari arah belakang. Suaranya begitu khas. Lelaki yang sedari tadi duduk di bangku taman itu segera menoleh dan mendapati seseorang yang ditunggunya sedang berjalan mendekat. Ratri! Hatinya terlonjak. Tapi, gadis itu tidak sendiri! Siapakah lelaki yang berjalan di sampingnya? Sejenak Rey memperhatikan, meski usianya di atas mereka, tapi terlihat masih muda, gagah, dan sepertinya sudah mapan.
Rey tidak tahu, bahkan baru kali ini melihat sosok itu. Dan, Ratri tidak pernah bercerita, kalau dia akan diantar seseorang! Seketika Rey merasa lututnya gemetar, lalu satu per satu persendiannya saling terlepas. Lemas. Dia merasa energi di dalam tubuhnya menguap, terserap udara panas yang tiba-tiba menjalar ke setiap pembuluh darah, lalu menjelma sesak yang membuatnya sulit bernapas. Jantungnya berdegup lebih kencang. Tapi, dia harus berusaha sebisa mungkin untuk tetap tegak dan menjaga air muka agar tidak berubah!
"Rey, apa kabar?" sapa Ratri begitu tiba di depannya. Wajahnya berseri, suaranya begitu renyah, senyumnya manis terkembang. Lalu mengulur tangan, mengajak bersalaman.
"Eh, kamu sudah datang?" tanya Rey datar, suaranya sedikit bergetar. Lalu menyambut tangan Ratri. Senyum terlihat dipaksakan.
"Oya, ini Adam." Ratri memperkenalkan lelaki yang datang bersamanya.
Rey mengangguk, lalu menjabat tangan Adam yang sudah lebih dulu terulur. "Rey," ujarnya menyebut nama.
Lantas, mereka pun terlibat pembicaraan, tentang perjalanan, dan cerita lain yang mereka alami saat terpisah. Ratri dan Adam begitu antusias, saling meledek kekonyolan masing-masing. Tak ayal, tawa mereka begitu riuh. Mereka pun terlihat begitu akrab, begitu dekat. Tapi, Rey hanya menanggapi dengan dingin, seperlunya, bahkan lebih banyak diam.
 "Sepertinya masih siang, kami naik angkot saja, semoga tidak terdampar lagi," pungkas Ratri diakhiri dengan senyum. "Kami berangkat, ya. Kalau ada waktu, main ke rumah Eyang," lanjutnya pamit.
Rey hanya mengangguk, dan membalas senyum dengan enggan. Lalu membiarkan keduanya melanjutkan perjalanan.
Sesak itu semakin keras, menggumpal di rongga dada, menekan ke ulu hati. Perih. Bahkan Rey baru pertama kali merasakannya. Dia menghela, sekedar untuk membuat tubuhnya terasa rileks. Tapi, udara yang dihirup, masih saja mengandung duri tajam yang menusuk.
"Ternyata, Ratri sudah punya pacar!" katanya bersungut. "Shit!"
Rey bangkit. Goodie bag yang sudah disiapkan sebagai kejutan dan ucapan selamat datang pun lantas diambilnya. Sesaat dia menimang, isinya adalah klapertaart berbagai varian rasa. Lagi-lagi, dia menarik napas dalam.
Akhirnya Rey berjalan, meninggalkan taman itu. Di sisi kanan, dekat jalur keluar, dia melihat seorang wanita yang sudah berumur, berseragam oranye, sedang beristirahat. Wajahnya begitu lelah, keringat membanjir di sekujur tubuh, dan sebuah sapu lidi besar tergeletak di sampingnya. Dia pun menghampiri.
"Bu, ini ada sedikit makanan, mohon diterima, ya." Rey menyerahkan tentengannya.
Ibu itu terperanjak, lalu menerima dengan suka cita. "Terima kasih, Mas. Terima kasih," katanya tulus. Senyumnya begitu teduh.
Rey mengangguk, lalu cepat-cepat menuju tempat parkir.
***
Pertemuan yang dinanti, ternyata tak seindah mimpinya. Bahkan mungkin, sekarang gadis itu sedang sibuk bersama Adam, jalan-jalan ke mana saja mereka mau, menikmati liburan yang menyenangkan. Ah! Sesak itu belum juga hilang. Seolah, hari-hari menjelma gelap yang kian pekat!
Rey menerawang, semua terlihat membosankan. Motor, game, film, skate board, gitar dan kamera yang biasanya begitu lekat, kini seolah hanya sampah tak berguna. Tak lagi mengasyikkan! Dan Rey tak berminat sedikitpun untuk menyentuhnya! Bahkan, waktunya kini banyak dihabiskan di dalam kamar. Sendirian.
Sudah lebih dari seminggu, Ratri berada di kotanya. Tapi, belum pernah satu kali pun Rey mengunjungi. Dia belum siap jika harus kembali menghadapi kenyataan, kalau Ratri sudah ada yang memiliki. Rasanya sulit sekali, untuk menerima semua itu!
Apa kabar, Rey? Sibuk, ya? Â
Kapan ajak aku makan klapertaart?
Oya, dua hari lagi aku balik. Mau sekalian pamit.
Tapi, kalau tidak bisa juga tidak apa-apa.
Sebuah pesan singkat, masuk melalui perangkat pintarnya. Gadis itu yang mengirim. Ya, sejujurnya dia ingat akan hal itu. Bahkan, sudah menyiapkan segalanya, termasuk agenda dan daftar tempat yang akan didatangi bersama. Tapi, dengan kenyataan sekarang ini, rasanya tak akan sanggup. Untuk itu, Rey membiarkan saja rencana-rencananya terbang, melayang-layang berserakan, tersapu angin yang semakin terasa perih.
Rey tidak segera menjawab, bingung begitu kuat mencengkram. Sungguh dilematis. Sementara, Ratri sudah menepati janji, dan kembali ke kota ini, meski datang bersama orang lain! Lantas, haruskah dirinya menjadi pengecut?
***
Rey harus bekerja keras menata hatinya terlebih dahulu, sebelum memutuskan akan menemui gadis itu untuk menunaikan janjinya. Meyakinkan diri bahwa Ratri bukanlah siapa-siapa, karena di antara mereka memang belum ada komitmen apapun. Menyiapkan mental yang kuat, jika nantinya menemui kecewa. Dan, membuka dada selapang-lapangnya untuk bisa menerima kalau cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Ya, dia harus menyadari, kalau Ratri sudah memilih seseorang untuk menjadi sandaran hatinya.
"Ini tempatnya, ayo ambil aja," tawar Rey begitu tiba di gerai. Nada suaranya masih terdengar datar. Matanya sibuk mencari-cari kue favoritnya. Dan pandangannya membentur beberapa menu dan varian baru.
"Mm, apa ya?" Gadis cantik yang kali ini mengenakan kemeja kotak-kotak warna pink, dipadu celana jins biru itu malah bertanya, matanya tak lepas dari aneka macam kue yang terpajang.
"Terserah. Pilih saja yang kamu suka," jawab Rey. Dia sendiri sudah selesai mengambil kue-kue pilihannya; klapertaart durian, singkong thailand dan brownies almond.
"Bingung," Ratri masih belum bisa memilih. Pandangannya masih melompat-lompat di dalam etalase.
"Euh!" Rey melenguh.
Meski pelan, tapi Ratri bisa mendengar. Lenguhan itu seolah celaan atau apalah yang bermakna menyalahkan dan terasa menyudutkan. Tak ayal, sesak pun hadir dalam dada. Gadis itu menghela. Dia menyadari, sejak pertama bertemu tadi, Rey tampak berbeda, tidak hangat seperti biasanya. Awalnya Ratri tidak mau terlalu memikirkan dan kebawa perasaan. Tapi, hal barusan membuatnya harus meralat pikirannya.
Akhirnya Ratri asal ambil saja. Klapertaart keju, klapertaart original dan brownis silverqueen pun berpindah ke atas nampannya. "Sudah," katanya pelan.
Rey yang menyadari itu segera mengajaknya ke kasir. Dan setelah melakukan transaksi, mereka memilih tempat duduk di bangku belakang, di dekat jendela, yang menghadap langsung ke luar. Mereka duduk berhadapan.
"Ayo dimakan, utangku sudah lunas, ya!" Rey menyilahkan, tapi masih saja terdengar ketus.
"Padahal kalau gak ikhlas, gak usah maksain!" tukas Ratri tak kalah ketus. Pandangannya tajam menatap lelaki yang duduk di depannya, dan sudah bersiap akan menyantap makanannya.
"Kok nyolot sih? Maksud kamu, apa?" sengit Rey, dengan nada agak meninggi. Matanya lekat membalas tatapan itu. Pisau dan garpu yang sudah dipegangnya, lalu dilepaskan.
"Kamu yang kenapa? Salah aku apa? Dari tadi jutek mulu! Yang janji ngajak ke sini siapa?" sergah Ratri, juga dengan suara agak meninggi. Pandangannya belum berpaling.
"Kok, jadi marah?" Rey malah bingung. Suaranya terdengar menurun, pandangannya meredup.
"Yang bikin marah, siapa?" tuding Ratri. Wajahnya cemberut. "Pulang, aku mau pulang!" lanjutnya.
"Lho, lho, kan kuenya belum dimakan?" Rey tambah bigung. Benar-benar tidak mengerti dengan tingkah Ratri.
"Biarin! Aku mau pulang!" tandas gadis itu seraya bangkit dari tempat duduk. Wajahnya terlihat memerah.
Rey semakin bingung. "Kenapa? Kok tiba-tiba minta pulang?"
Tapi Ratri tak menyahut, melainkan benar-benar melangkah ke luar. Dan Rey tak bisa lagi menahan. Dia hanya menghela. "Aneh!" katanya bersungut.
Mau tidak mau, Rey mengejar gadis itu. Namun, terlebih dahulu meminta pelayan untuk membungkus semua makanan mereka yang belum disentuh.
Sepanjang perjalanan, Rey tak berhenti memikirkan tingkah Ratri yang tiba-tiba ngambek. Apa pasal? Aturan kan dia yang harus marah, karena ternyata Ratri sudah punya pacar dan seolah memberi harapan palsu! Alhasil, mereka hanya saling diam. Rey benar-benar tidak tahu harus bagaimana?
 "Kok ke sini?" tanya Ratri sewot. Begitu menyadari Rey tidak membawanya ke rumah Eyang Sasmita, melainkan ke taman.
"Aku hanya ingin semuanya selesai. Katakan, apa yang membuatmu tiba-tiba marah-marah gak jelas?" tanya Rey tegas. Dia memang tidak terbiasa membiarkan masalah berlarut-larut. Semuanya harus tuntas.
 "Justru aku yang harus bertanya, kenapa kamu jutek dan keki sama aku?" Ratri balik menuding.
"Siapa yang jutek? Aku biasa kok!" elak Rey, membela diri. "Aku... aku cuma..." lanjutnya menggantung.
"Cuma apa? Kamu kan yang janji akan ngajak aku ke sana? Tapi, kenapa sampai aku mau balik ke Kalimantan, gak pernah nongol?" desak Ratri, wajahnya semakin merah. "Kamu terpaksa, kan?" lanjutnya sambil menatap lekat ke arah lelaki yang seolah berubah menjadi orang asing di hadapannya.
"Enggak! Aku gak terpaksa, tapi..." Lagi-lagi Rey tidak menuntaskan kalimatnya.
"Tapi, apa?" Ratri tak sabar ingin mendengar penjelasan. Tatapannya tetap tajam ke arah Rey.
Rey merasa salah tingkah. Dia semakin tidak mengerti, kenapa justru dirinya yang kini dipersalahkan? Ah! Perempuan memang ribet! Rutuknya dalam hati. Dia pun memilih duduk di bangku taman, tempatnya biasa kalau berkunjung ke situ. Sementara, Ratri masih berdiri dengan pandangan yang tak pernah berpaling. Rey menghela, meredam kecamuk yang semakin tak karuan.
"Ok, gak bisa jawab, kan? Nyesel aku memintamu ke sana. Ternyata benar, kamu terpaksa!" simpul Ratri. "Sorry kalau aku sudah merepotkan!" lanjutnya, dan bersiap akan pergi ke arah pemberhentian angkot.
"Tunggu dulu, kita belum selesai." Rey bangkit dan menahan Ratri, lalu mengajaknya duduk di bangku itu. "Sungguh, aku tidak terpaksa. Aku... aku cuma gak mau ganggu waktu kamu sama Adam! Kalian pacaran, kan?" jelas Rey. Pandangannya dilempar jauh ke sisi taman, ke arah burung-burung gereja yang terbang berkelompok, lalu menclok di dahan pohon flamboyan yang sedang berbunga.
Dan, mendengar penuturan itu, Ratri tidak segera menjawab. Melainkan kembali menatap wajah Rey yang tampak kaku. Tapi, di sana dia menemukan sebuah kejujuran, tentang sebuah alasan. Perlahan-lahan tatapannya meredup, seolah urat-uratnya kembali mengendur dan berganti segaris senyum yang terbit di bibir.
"Kok tersenyum?" tanya Rey kembali diliputi kebingungan, karena sikap Ratri yang begitu cepat berubah.
"Hahaha." Ratri malah tergelak.
"Aneh! Apanya yang lucu?" sengit Rey, merasa diabaikan.
"Kamu yang aneh? Adam itu sepupuku, hahaha." Tawa Ratri masih berderai. "Dia cuma nganter aku, sekalian ada kerjaan di Bandung. Dua hari juga udah berangkat lagi," jelasnya.
Apa? Jadi, Adam hanya sepupu? Tanya hati Rey, gamang. Tak disangkal, ada rasa senang yang tiba-tiba menyelinap, tapi, ada juga rasa malu, karena sudah salah menyangka. Dan, untuk minta maaf rasanya sungkan.
"Kok, malah diem?" tanya Ratri memotong sunyi yang mulai merayapi.
"Siapa yang diem? Enggak!" sanggah Rey tergeragap. "Ya udah, tuh makan kuenya!" Rey menyodorkan bungkusan yang tergeletak di bangku. Dia sendiri lupa, kapan tepatnya menyimpan di situ. Dan, satu cup klapertaart durian pun berpindah ke tangannya.
Ratri menghela napas dalam. Sepasang bola beningnya menatap lelaki yang masih tampak tegang di hadapannya, kepalanya menggeleng pelan, dan bibirnya kembali tersenyum. Dia pun mengambil klapertaart rasa keju yang dipilihnya tadi.
"Utangku sudah lunas, ya!" Rey menegaskan sekali lagi. Nada ketus masih terdengar, tapi Ratri sudah tidak menganggap sebagai ekspresi kemarahan.
"Iya, sekarang, sudah gak marah lagi, kan?" Ratri malah menggoda.
"Siapa yang marah?" Rey tetap mengelak.
"Ya udah, nih aku makan, makasih, ya." Ratri mulai menyendok penganan yang berbahan dasar terigu dan kelapa itu. Konon, kue itu merupakan warisan zaman pendudukan Belanda di Indonesia.
Rey mengangguk.
"Hmm, enak bangeeett, lembut, dan kejunya berasaa, ah, yummy..." komentar Ratri, menirukan presenter acara kuliner di televisi.
"Bener, kan?"
Ratri menggangguk, rona puas terpancar dari wajahnya yang kembali bersinar. Rey menikmati pancaran itu. Hatinya terasa sejuk. Ah, semoga saja kisah kita seenak dan selembut klapertaart Raisa Food, bisiknya lirih.
Lelaki itu pun tersenyum, penuh harapan.
***
In frame: Rey
Fb: Rey Firmansyah
ig: @reynaldyf16
Klapertaart by @raisafood
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H