"Eh, kamu sudah datang?" tanya Rey datar, suaranya sedikit bergetar. Lalu menyambut tangan Ratri. Senyum terlihat dipaksakan.
"Oya, ini Adam." Ratri memperkenalkan lelaki yang datang bersamanya.
Rey mengangguk, lalu menjabat tangan Adam yang sudah lebih dulu terulur. "Rey," ujarnya menyebut nama.
Lantas, mereka pun terlibat pembicaraan, tentang perjalanan, dan cerita lain yang mereka alami saat terpisah. Ratri dan Adam begitu antusias, saling meledek kekonyolan masing-masing. Tak ayal, tawa mereka begitu riuh. Mereka pun terlihat begitu akrab, begitu dekat. Tapi, Rey hanya menanggapi dengan dingin, seperlunya, bahkan lebih banyak diam.
 "Sepertinya masih siang, kami naik angkot saja, semoga tidak terdampar lagi," pungkas Ratri diakhiri dengan senyum. "Kami berangkat, ya. Kalau ada waktu, main ke rumah Eyang," lanjutnya pamit.
Rey hanya mengangguk, dan membalas senyum dengan enggan. Lalu membiarkan keduanya melanjutkan perjalanan.
Sesak itu semakin keras, menggumpal di rongga dada, menekan ke ulu hati. Perih. Bahkan Rey baru pertama kali merasakannya. Dia menghela, sekedar untuk membuat tubuhnya terasa rileks. Tapi, udara yang dihirup, masih saja mengandung duri tajam yang menusuk.
"Ternyata, Ratri sudah punya pacar!" katanya bersungut. "Shit!"
Rey bangkit. Goodie bag yang sudah disiapkan sebagai kejutan dan ucapan selamat datang pun lantas diambilnya. Sesaat dia menimang, isinya adalah klapertaart berbagai varian rasa. Lagi-lagi, dia menarik napas dalam.
Akhirnya Rey berjalan, meninggalkan taman itu. Di sisi kanan, dekat jalur keluar, dia melihat seorang wanita yang sudah berumur, berseragam oranye, sedang beristirahat. Wajahnya begitu lelah, keringat membanjir di sekujur tubuh, dan sebuah sapu lidi besar tergeletak di sampingnya. Dia pun menghampiri.
"Bu, ini ada sedikit makanan, mohon diterima, ya." Rey menyerahkan tentengannya.