Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Ujung Penantian

30 Desember 2016   20:11 Diperbarui: 30 Desember 2016   20:39 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mentari hampir tenggelam, saat aku melangkahkan kaki menyusurigang kecil menuju rumah kos, tempat dimana aku tinggal. Di atas sana, semburatlembayung senja menebarkan sejuta pesona keindahan, berwarna jingga, menyorotawan-awan, membentuk siluet, seperti sebuah negeri khayalan. Aku senang melihatlembayung, bagiku, keindahannya melebihi apapun yang pernah kulihat, sangatmenakjubkan. Sungguh, sebuah maha karya yang tak ada tandingannya. Masya Alloh.

Hari ini, jadwal kuliahku cukup padat, ditambah dengan beberapa praktikum, membuat energiku hampirterkuras. Aku lelah, dan ingin secepatnya tiba di kamar agar bisa rebahan,untuk sekedar melemaskan otot-otot dan mengendurkan urat syaraf. Tapi apa daya,hanya sedikit energi yang tersisa, akupun hanya bisa berjalan perlahan.

Sudah hampir tiga tahun aku tinggal di kota ini, untuk menimbailmu guna mengejar cita-cita. Aku ingin menjadi seorang dokter. Dan rencanaku,setelah lulus nanti, aku ingin mngabdikan diri di daerah asal. Mungkinterdengar klise, tapi setidaknya sampai saat ini cita-citaku belum berubah. Insya Allah, jika Allah mengizinkan.

Aku senang tinggal di tempat kostku, makanya sejak pertamakuliah, aku belum pernah pindah. Selain lokasinya yang tidak terlalu jauh darikampus --bisa ditempuh dengan jalan kaki-- pribuminya pun cukup familiar. Danyang terpenting, teman-temannya sangat baik, pengertian dan gak rese. Semuanyaada tujuh orang, termasuk aku, perempuan semua. Sebenarnya kamarnya ada lima,tapi karena ada dua kamar yang diisi berdua, jadi total penghuni ada tujuh orang.

Kosan kami terdiri dari dua lantai. Tiga kamar di lantaibawah dan dua kamar di lantai atas. Di masing-masing lantai terdapat dua buahkamar mandi dan satu dapur yang letaknya di ujung. Di dekat kamar mandi adasebuah pintu, menuju tempat jemuran. Aku tinggal di kamar atas, yaitu kamarpertama dari tangga. Sebelahku adalah kamar Astri dan Nina. Mereka tinggalberdua, karena mereka satu jurusan, dan satu kelas. Selain itu, mereka jugaberasal dari daerah yang sama, bahkan konon mereka satu SMA dan sudahbersahabat sejak kecil. Mereka mahasiswi jurusan biologi. Tepat di bawahkamarku adalah kamar Winda, ia mahasiswi statistik. Sebelah kamar Winda adalahkamar Ayu, ia mahasiswi ilmu komunikasi. Dan di sebelah kamar Ayu, adalah kamarNita dan Dewi. Nita adik tingkatku, satu jurusan denganku, sementara Dewijurusan Sastra Indonesia. Mereka berdua mahasiswi baru. Di kosan ini, merekamengisi kamar bekas Kak Irene yang sudah diwisuda tahun lalu.

Ah, tidak terasa langkahku sudah sampai. Kok sepertinya masihsepi? Hmm... mungkin teman-teman masih belum pulang, masih ada kegiatan. Halseperti ini memang bukan hal yang aneh bagiku. Sebagian dari teman-teman koskutergolong aktifis di organisasi mahasiswa. Aku sendiri mulai mengurangikegiatan ekstra. Di tahun ketiga ini, aku harus lebih serius lagi dalammengikuti kuliah, karena materinya semakin padat dan sulit. Aku tidak mauketinggalan. Dan aku ingin segera lulus. Aamiin.

Aku pun segera menaiki tangga yang letaknya di samping kamar Winda.Alhamdulillah, akhirnya sampai juga.Lalu kuambil kunci kamar dari dalam tas dan langsung membuka pintu. Tiba-tibaAstri keluar dari kamarnya, rupanya ia sudah pulang, syukurlah, aku pun tidaksendirian.

"Baru pulang, Sha?" tanya Astri.

"Iya nih, cape banget. Kamusendirian? Nina mana? Tumben kalian gak bareng?" tanyaku setelah yakinkalau Nina tidak ada, karena biasanya anak itu kalau ada orang ngobrol sukanyamber kaya bensin.

"Nina sedang ke toko bukunyari bahan buat bikin makalah. Aku gak ikut, kebagian beres-beres kamar dan masakair. Bagi-bagi tugas lah," jelas Astri.

 "Ooohh, ya deh...  Aku masuk dulu ya," pamitku. Dan, tanpa menunggujawaban Astri, aku segera masuk ke kamar, penat sekali, haus pula. Enaknya sihminum teh manis anget, katanya teh bisa menyegarkan tubuh. Tapi....

"Tri, punya air panas gak?Mau dong, hehe," tanyaku sambil menjulurkan kepala ke kamar Astri. 

"Wah, kebetulan nih barumendidih. Tuh ambil aza. Mau bikin apa Sha?" tanya Astri sambil menunjuk water heater yang airnya sudah terlihatmendidih.

 "Teh manis, Tri. Kayanya seger banget.Aku ambil, ya?" kataku, lalu menuangkan air panas ke dalam cangkir yangsudah berisi gula putih dan sebungkus teh celup yang sudah kupersiapkansebelumnya.

"Makasih ya, Tri. Hmmwangii... Segerr...." kataku lagi begitu selesai menuang dan mengaduknyaberkali-kali. Astri hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku pun kembali ke kamar,lalu merebahkan tubuh sambil menunggu tehnya sedikit dingin.

Langit perlahan menjadi gelap, warna jingga perlahan pudar,lembayung pun menghilang. Terdengar suara adzan mengalun syahdu dari mesjid,menyeru segenap umat muslimin dan muslimat untuk segera bersujud kehadirat-Nya. Maghrib telah tiba.

Aku segera beranjak dari kasur. Sepuluh menit rebahan dansecangkir teh manis hangat cukup untuk menyegarkan tubuh. Dan, sekarang adalahsaatnya untuk menghadap Rabb-ku, menggapai cinta-Nya. Aku pun segera mengambilair wudlu, lalu menunaikan sholat maghrib. Alhamdulillah,Engkau masih memperkenankan hamba untukmenemui-Mu.

***

Ku tatap langit. Sepertinya hari ini cukup cerah, tidakseperti hari sebelumnya yang diguyur hujan cukup deras, hingga aku terpaksaharus mengurungkan niat untuk keluar rumah. Memang sedikit mengganggurencana-rencana yang sudah kususun kemarin, salah satunya ke warnet. Mencariartikel tentang penyakit kejiwaan dan cara terapinya. Walaupun aku tidakmengambil spesialisasi kejiwaan, tapi aku sangat tertarik dengan bidangtersebut, ya... meski sekedar untuk memperkayapengetahuanku, atau mungkin akan berguna untuk menghadapi pasien nantinya.Selain itu, aku juga berniat untuk mengecek e-mail.Siapa tahu ada yang masuk.

Tapi, aku juga menyadari sepenuhnya, bahwa manusia hanya bisaberrencana, Allah-lah yang menentukan. Dan aku yakin, Allah memiliki maksud dibaliksemua ini. So, buatku tidak masalah, never mind. Toh, aku bisa menjadwalkanulang untuk ke warnet hari ini. Kebetulan kuliahku tidak terlalu padat. 

Namun, semua memang kehendak Allah, tidak ada seorang manusiapun yang dapat mencegahnya. Menjelang ashar, setelah selesai mata kuliahterakhir, hujan pun turun kembali, awalnya hanya rintik-rintik, tapi kemudianberubah menjadi deras, dan lebih deras dari kemarin, bahkan disertai denganpetir dan kilat. Maka ini berarti, hari ini pun aku tidak bisa mampir kewarnet, karena biasanya warnet langgananku akan mematikan link ke provider-nya,untuk menjaga keamanan. Aku hanya menghela nafas, membuang sepotong kecewa yangmembuncah dalam dada. Allah Maha Berkehendak.

Hari berikutnya, aku hampir tidak punya waktu luang untuk kewarnet. Selain jadwal kuliah yang padat dan tugas yang menumpuk, jugapraktikum-praktikum yang cukup menyita cadangan energi. Jadi jangan heran, jikabaru bisa pulang ke kosan selepas maghrib, atau kadang ba'da isya. Ini karenabanyak dosen yang memadatkan materi kuliah yang belum tuntas, mengingat duaminggu lagi UAS. Aku benar-benar lelah. Tapi aku tidak mau gagal di semesterini. So, tidak salah kan kalau aku memberi konsentrasi ekstra pada kuliahku? Setidaknya,aku telah berusaha seoptimal mungkin. Dan, tentang hasilnya nanti bagaimana? ItuHak Prerogatif Allah.

***

Pagi yang ceria.... Rabb, indah banget hari ini. Selepassubuh, aku ingin bersantai sejenak, memanjakan diri. Masih ada waktu sekitarsatu jam setengah. Rencananya hari ini mau mudik. Sudah kangen sama Ibu, Bapakdan Ade-adeku di kampung. Selain itu, butuh refreshing juga. Alhamdulillah UASsudah beres. Namun, karena ini UAS semester ganjil, jadi hanya diberi waktulibur dua minggu. Cukup singkat memang, tapi bagaimana lagi? Syukurlah,kampungku tidak terlalu jauh, tidak butuh waktu berhari-hari untuk perjalanan,sekitar 6-7 jam juga sudah sampai. 

Rencananya, aku akan berangkat dari kosan jam 7-an, agar tidakkemalaman tiba di rumah. Soalnya rumahku tidak di pinggir jalan persis, tapiharus masuk sedikit ke dalam, sekitar 250 m dari jalan utama. Dan biasanyakalau malam sudah sepi dan agak gelap. Maklum, penerangan jalan di kampungkubelum terperhatikan.

Barang-barang yang akan kubawa sudah kupersiapkan semalam.Termasuk oleh-oleh untuk orang tua dan ade-ade. Untuk Bapak, aku belikansandal. Untuk Ibu, aku belikan gamis yang setelan dengan kerudungnya. UntukRamdani, adikku yang SMA, aku belikan kaos oblong bergambar mobil VWkesukaannya. Untuk Ranaya, adikku yang SMP, aku belikan tas sekolah yangdiselendang, warna pink kesukaannya. Dan untuk Raditya, adik bungsuku yangmasih SD, aku belikan sepatu dan kamus Bahasa Inggris untuk anak-anak. Untukyang terakhir ini adalah pesanan khususnya, bahkan sampai mengancam segala,"Mba Disha gak usah pulang kalau gak bawa kamus Bahasa Inggris!"Padahal kalau sekedar kamus sih, di toko buku di daerahku juga tersedia. Tapidasar Radit. Iya deh ade sayang.

Sehabis mandi, aku tinggal pake baju, merapikan jilbab dansedikit memakai lotion, agar kulitku tidak kering. Teman-teman kosku sudah adayang pulang sebagian. Kalau tidak salah, tinggal Ayu dan Winda yang masih disini. Katanya masih ada kegiatan. Huuh... dasar aktifis, dihari libur biginipunmasih ngurusin kegiatan.

Aku keluar dari kamar, lalu mengunci pintu. Setelah itu mulaimenuruni tangga, tak lupa sebelumnya berdoa, Bismillahi tawakaltu 'alalloh.... la haula wala quwwata illabillahil'aliyyil 'adziim.

Sebelum benar-benar pergi, aku pamit dulu pada dua temankuyang masih tersisa.

"Deuu yang mau mudik, jangan lupa oleh-olehnya ya...hati-hati," kata Ayu seraya menyalamiku.

"Iya, jangan lupa balik sini, Sha. Salam buat orangrumah," Winda menimpali.

"Insya Allah. Kalian juga hati-hati ya," jawabku,"kalau gitu, aku berangkat, assalamu 'alaikum." 

"Wa 'alaikum salam," jawab mereka bersamaan. 

Selamat tinggal dunia mahasiswa, aku akan melupakanmusejenak.

***

Bis yang kutumpangi melaju dengan cepat, seolah tahu kalauaku sedang rindu pada keluargaku dan ingin segera bertemu mereka. Biasanyadalam setiap perjalanan pulang, aku selalu tertidur, tapi tidak untuk kali ini.Aku ingin menikmati perjalanan ini, dan merasakan rindu yang mengalir dalamdarahku. Apa kabar kampungku? Apa kabar semua?
Ah, sudah berapa lama aku tidak pulang mudik? Pikiranku menerawang,mengorek-ngorek tumpukan memori yang tercampur bersama peristiwa lainnya, dalamfile otakku. Hampir satu semester!Ya, satu semester! Aku baru ingat, terakhir aku pulang kampung, yaitu saatliburan UAS semester kemarin, sekalian ngambil uang untuk registrasi. Subhanalloh! Tidak terasa. Semester inibenar-benar tidak menyisakan waktu senggang.

Tiba-tiba HP ku bunyi. Sepertinya ada sms masuk. 

12-02-05 09.47

Dari : Rifan

Udah baca mail gue ?

Astaghfirulloh!RIFAN. Dia kirim e-mail? Aku belumsempat membukanya. Rifan, afwan, akumemang sudah berniat ke warnet. Tapi, kesibukan-kesibukanku, pemantapan kuliah,responsi, praktikum dan persiapan UAS sungguh menyita konsentrasi. Ditambahlagi dengan tugas-tugas yang harus selesai sebelum UAS, membuat waktu luangkusangat sedikit. Rifan, sekali lagi afwan,bukan aku tidak konsiten, tapi...

Aduuh, mana pulsaku habis lagi. Gimana balesnya ya? Hmm,nanti saja kalau sudah di rumah, mudah-mudahan ada counter pulsa. Tapi, di daerahku sinyalnya masih jelek, belum adatower untuk telepon seluler. Ya sudah, aku janji, begitu aku kembali kuliahlagi, aku akan langsung buka e-mailkamu. Semoga kamu bisa mengerti. Memangnya kamu ngirim artikel apa sih?

Tiba-tiba HP ku bunyi lagi, ini bukan sms, tapi panggilantelepon. Muncul nama Rifan di layar. Kebetulan sekali, jadi aku bisa jelaskanpermasalahanku. Akupun segera mengangkatnya. 

"Assalamu 'alaikum."

Tapi tidak terdengar jawaban dari sebrang. Malah terdengarnut nut nut, panggilan diputus. Ternyata Rifan cuma misscalled. Hmmh....

***

Selama dua minggu di kampung membuat fikiranku benar-benar fresh. Area persawahan yang menghijau,gemericik air sungai yang jernih, kicau burung, makan bersama, belajar ngajiadalah hal yang membahagiakan buatku. Aku bahkan sampai lupa kalau aku belummengerjakan tugas anatomi, padahal harus dikumpulkan besok, di hari pertamamasuk kuliah. Sebenarnya sudah berniat mengerjakan di rumah, sembari liburan.Tapi suasana ceria yang terjalin, membuat aku terlena dan lupa. Ah, sejatinya belumterlambat, bisik hatiku menenangkan diri. Setidaknya aku masih punya malam iniuntuk mengerjakan. Begitu tiba dikosan nanti, aku harus menyelesaikannya, meskidengan kerja keras, sistem kebut semalam. 

Jujur, berpamitan kepada keluarga adalah hal yang palingenggan kulakukan. Karena artinya aku harus meninggalkan mereka dan kembali kekosan. Aku masih ingin tinggal di sini, bersama mereka. Mendengar dongeng bapaktentang zaman perjuangan dulu, cerita yang turun temurun dari kakek. Ataumembantu ibu memasak sambel goreng kesukaan keluarga. Juga bercanda tawabersama adik-adik. Aku sangat mencintai keluargaku.

Tapi kecintaan ini pulalah yang menyalakan tungku semangatku,untuk segera kembali menggapai mimpi dan harapan yang mereka gantungkan dileherku. Insya Allah. 

***

 

Terminal bis ini cukup ramai. Banyak orang terlihat gelisahmenunggu datangnya bis yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing.Kebanyakan dari mereka masih muda, usianya tidak terlalu jauh denganku. Mungkinmereka juga sama, habis liburan UAS. Tapi, banyak juga bapak-bapak, ibu-ibu,atau sebuah keluarga.

Aduuuh, kok bisnyatelat banget sih? Jam berapa aku sampai di Bandung nanti? Mana tugas anatomibelum, lagi. Duuh! Ada sedikit penyesalan, kenapa tidak mengerjakan dirumah kemarin, padahal buku-buku dan bahan-bahan lain sudah kubawa, walaupunsebenarnya membuat berat bawaanku. Tapi, sudahlah, penyesalan tidakmenyelesaikan masalah.

"Radish!" panggil seseorang yang tiba-tiba sudahada di sampingku. Cowok berkulit putih, memakai setelan jins biru belel, sepatumerek terkenal warna hitam garis-garis putih, kaos oblong hitam agak belel jugadan tas gendong biru nemplok di punggungnya. Rambut agak gondrong, dan telingaberanting. Kumis dan janggut dibiarkan tumbuh. Di tangannya terselip sebatangrokok yang masih menyala.

"Kenapa?! Lo kaget?!" tanya cowok itu, setelahsekian lama aku hanya bengong. "Atau udah gak kenal gue?! Heh ?!"

Sebenarnya aku ingat betul siapa cowok itu. Karena hanya diayang memanggilku dengan panggilan Radish. Sementara teman-teman lainmemanggilku dengan panggilan Disha. Nama lengkapku, Radisha Eka Putria.

Ya, hanya Rifan yang memanggilku Radish. Tapi aku tidakpercaya kalau cowok yang sekarang ada di hadapanku adalah dia. 

"Assalamu 'alaikum.Apa kabar, Rif?" Akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapanya. Meskimasih belum yakin kalau dia adalah Rifan. 

"Bagus, Lo masih inget gue?! Gue cuma pengen tahu kenapaLo gak bales e-mail gue ?! Heh! Sms gue?! Dan kenapa Lo balik gakbilang-bilang! Padahal jelas banget di e-mail, gue bilang, kalau Lo balik,kasih tau gue!" katanya dengan nada tinggi, jelas sekali kalau dia marah.

Degh, ada ribuan jarum menusuk-nusuk hatiku. Pedih. Membuatkusulit bernafas. Rifan, kok kamu jadi kasar gini sih? Ngomongnyapun sudah takteratur. 

"Jawab!" bentaknya lagi.

 Aku tersentak, kaget.

Entah berapa pasang mata yang langsung menoleh ke arah kami.Dan entah apa yang ada di pikiran mereka. Yang jelas aku sangat malu. Belumsempat aku menguasai diriku yang benar-benat shock, tiba-tiba...

"Ikut gue!" kata Rifan sambil menarik tanganku. Akumerasa seperti penjahat yang tengah digelandang polisi. Aku berusaha melepaskan.Tapi cengkramannya begitu kuat.

"Rif, lepasin. Aku bisa jalan sendiri!" katakusambil terus meronta. Tapi ia tetap menarik tanganku.

Di dekat toilet ia berhenti. Tapi, tetap tidak melepaskantanganku. Disini memang agak tenang, tidak terlalu banyak orang. 

"Radish! Kenapa Lo jadi gini, Heh?!" tanyanyasetelah membalikkan badan menghadapku. Matanya tajam. Aku buru-buru menariktanganku, dan menarik nafas. 

"Rif, maafkan aku, bulan-bulan kemarin aku benar-benarsibuk. Kuliahku padat, juga tugas dan praktikum. Itu sangat menyita waktu danenergi, apalagi menjelang UAS, aku harus banyak mempersiapkan diri. Sebenarnyaaku sudah berniat untuk ke warnet. Tapi karena kesibukan-kesibukan itu,akhirnya jadi tertunda terus. Dan tentang sms-mu kemarin, aku sedang di bis,dalam perjalanan pulang, dan aku sedang tidak punya pulsa. Jadi maaf, kalau akubelum sempat jawab," jelasku panjang lebar. Semoga dia bisa menerima.

"Bukan itu!!"

"Lalu apa?! Semua sudah aku jelaskan. Dan sekarang akuminta maaf, kalau karena kelalaianku, kamu jadi marah. Aku janji, setibanya diBandung, aku langsung baca mail kamu, dan membalasnya." Aku berusaha tetaptenang dan meyakinkannya.

"Ini... !!" kata Rifan sambil menarik jilbabku. 

Astaghfirullohal adzim.Jarum-jarum itu kembali menusuk-nusuk hatiku, dan jumlahnya lebih banyak,mungkin jutaan atau bahkan milyaran. Yang aku rasakan, hatiku teramat sangatpedih. Aku ingin menangis. Tentang kemarahannya padaku, aku masih bisa terima.Tapi hal yang baru saja dilakukannya, sangat membuat aku marah. Aku sungguhtersinggung. Aku merasa dihinakan. Aku sangat tidak terima.

"Aku mau berangkat. Assalamu'alaikum." Lebih baik aku tinggalkan dia. Aku pun segera pergi. Airmataku hampir jatuh, tak tertahankan lagi.

"Radish...! Gue gak mau kehilangan Lo!! Gue mau Lo jadipacar gue...!!" teriak Rifan kencang. "Radish....!"

"Radish...!" Rifan memanggil namaku. Tapi aku takpeduli.

***

Bis melaju dengan kecepatan sedang. Aku terdiam. Teringatkejadian yang baru saja aku alami. Rifan. Aku hampir tidak percaya kalau yangtadi itu adalah dia. 

Berbagai perasaan berkecamuk di hatiku. Marah, kesal, kecewa,dll. Ah, aku sungguh tidak menyangka kalau Kamu bisa berubah menjadi sepertiitu, Rif. Menyeramkan. Kenapa, Rif? Ada apa denganmu?

Aku teringat saat-saat kita masih di SMU dulu. Rifan adalahsaingan terberatku di kelas. Otaknya yang cerdas membuat aku harus belajarmati-matian untuk menghadapinya. Kami pun tak pernah bisa akrab, karena selalubersaing untuk mendapatkan rangking pertama. Jelas, semangat belajarku terpacukarenanya. Waktu itu, aku belum mengenakan jilbab.

Saat naik ke kelas tiga, ada penjurusan IPA, IPS, atauBahasa. Aku memilih jurusan IPA. Dan entah kenapa, kami satu kelas lagi, bahkanhanya aku dan Rifan yang berasal dari kelas sebelumnya. Aku ingin pindah kelas,aku bosan bersaing dengan dia. Tapi, akhirnya aku urungkan niat, karena kalauRifan tahu aku pindah kelas, dia akan merasa menang, dan menganggapku sebagaipecundang. Aku tidak mau, maka tak ada pilihan lain, aku harus menghadapinya.

Awalnya Rifan memang sedikit arogan dan tetap menunjukkansikap bersaingnya padaku. Tapi, saat kegiatan belajar mengajar sudah efektif,semuanya berbeda dengan yang aku pikirkan. Kami bisa saling mengisi. Kamibersama-sama berusaha untuk menunjukkan kalau kelas 2-3, kelas kami sebelumnyaadalah kelas yang terbaik. Mungkin itu alasannya, kami tidak mau jika juarakelas dipegang anak dari kelas lain.

Kami jadi sering diskusi dan belajar bersama. Keperpustakaan, ke toko buku, ikut bimbel, kursus bahasa inggris, dll. Hinggaakhirnya aku bisa merasa kalau ternyata Rifan adalah anak yang baik, care,pinter dan manis. Rifan juga cukup pengertian dan enak diajak share. Diantarakami jadi sering becanda, membuat kami menjadi akrab. Ego yang selama inimembatasi kami, luntur sudah. Kami pun menjadi tim yang solid dalam belajar.

Menjelang perpisahan sekolah adalah masa-masa yang sulitbagiku. Entah kenapa, aku jadi merasa takut kehilangan Rifan, yang sudahmenjadi sahabat bagiku. Aku takut tidak bisa bertemu dia lagi, aku takut diaakan meninggalkan dan melupakanku. Aku takut, Rifan ada yang memiliki. Aku takbisa membayangkan, bagaimana sepinya hari-hariku tanpa dia. Yang pasti, semuaakan terasa hampa. Ah, Rif, ternyata aku sayang kamu. Namun, semua itu takpernah bisa terucap. Aku tak punya cukup keberanian untuk mengatakannya padamu.Dan aku hanya bisa memendam dalam hati. Entah kamu tahu atau tidak.

Aku sedikit lega, saat tahu ternyata Rifan juga mengambiljurusan yang sama saat SPMB. Kedokteran. Aku berharap, semoga kita bisa kuliahdi universitas yang sama. Tapi ternyata tidak. Rifan diterima di Jakarta,sementara aku di Bandung. Aku sangat sedih. Harapanku untuk tetap bersamanyapupus. Aku menyesal, kenapa aku hanya diterima dipilihan kedua?

Butuh waktu yang lama bagiku untuk bisa menerima kenyataan.Hingga akhirnya Rifan menghubungiku dan memberikan alamat emailnya, agar kamitetap bisa berkomunikasi, saling bertukar artikel atau informasi apapun. Danakhirnya disepakati untuk membuka email, minimal seminggu sekali, atau palingtelat dua minggu. Aku bersyukur dengan hal ini, ternyata berbeda kampus tidakmenjadi halangan untuk tetap berkomunikasi dan diskusi. Bahkan aku merasa,dengan cara seperti ini lebih asyik dan seru.

Memasuki tingkat dua, hatiku terketuk untuk mengenakanjilbab. Aku merasa tidak perlu memberitahukan hal ini pada Rifan. Aku tidak maudia berfikir macam-macam dan meledek aku. Aku berusaha untuk bersikap biasasaja saat menjawab email-emailnya, sms-sms nya atau mengangkat teleponnya. Akubelum siap menunjukan diri dengan keadaanku sekarang, aku inginmemberitahukannya secara perlahan, agar dia tidak kaget dan menjauh. Aku tidakmau kehilangan dia lagi.

Tapi, kejadian di terminal tadi adalah jawaban dari semuanya.Terngiang lagi kata-kata dia yang menunjukkan sekali kalau dia kaget, "Radish..!! kok kamu jadi gini,Heh...!!". Ini yang aku takutkan, kamu tidak bisa menerima keadaanku.Rif, sekarang aku begini, dan aku berusaha untuk istiqomah. Dan sekarang akupun ingin bertanya, kenapa kamu jadi begitu, Rif?! Kasar! Dan menyeramkan! Kamuberubah, Rif?! Kamu beda! Kamu bukan Rifan yang dulu...

Rif, kamu bilang, kamu ingin aku jadi pacarmu?! Cewek manayang akan menolak permintaanmu?! Cinta dari seorang cowok cerdas, baik dancakep sepertimu. Ada puluhan cewek yang menunggu kata-kata itu darimu, Rif. Akutahu itu. Kamu selalu jadi rebutan sejak saat SMU dulu. Dan aku adalah salahsatu dari cewek-cewek itu, Rif. Aku pun sudah menunggu kata-kata itu sejak kitamasih di SMU. Kamu tahu Rif, kalau aku sangat menyayangimu?! Sampai saat ini,namamu masih ada di salah satu sudut hatiku.

"Neng sudah sampai," kata kondektur bis membuyarkanlamunanku. Ternyata aku sudah tiba di Terminal Cicaheum. 

"Oh iya, makasih, Pa." Akupun tersadar, danbergegas turun dari bis. 

***

Sudah hampir tiga minggu dari kejadian itu. Namun aku belumbisa melupakannya. Dan, satu pertanyaan besar selalu menyelimuti hatiku, ada apa Rif? Apa yang terjadi padamu?

Aku sudah menyempatkan untuk mengecek email. Ternyataada  tujuh email dari Rifan yang belum kubaca.Ah, jelas saja dia marah. Mungkin dia merasa kalau aku sudah tidakmempedulikannya lagi. Dan Rifan benar, di salah satu emailnya dia bilang kalauliburan semester kali ini ingin bertemu denganku, karena ada sesuatu yang ingindibicarakannya.

Aku mendesah panjang, mataku menerawang, melintas ruang dandimensi. Menelusuri alur-alur waktu, dan jejak-jejak yang ditinggalkannya.Sesak merasuki dadaku.

Waktu terus berlalu, berganti minggu, berganti bulan,perputaran yang sangat cepat. Hingga akhirnya sudah memasuki minggu ke enam,sejak aku balas semua email-emailnya. Aku berusaha menjelaskan kembalikejadian-kejadian yang aku alami. Aku meminta pengertiannya untuk memaafkanaku. Tapi tidak ada balasan satu pun. Mungkin dia sudah tidak mau bacaemail-emailku? Termasuk juga sms dan panggilan teleponku. Empat smsku tidakdibalas, padahal ada laporan: delivered.Panggilan teleponku pun tidak diangkat. Apa yang terjadi padamu, Rif? Balasdendam? Senaif itukah sikapmu padaku? 

Akhirnya hal yang selama ini aku takutkan terjadi. Rifanbenar-benar meninggalkanku. Menjauhi dan tidak peduli lagi padaku. Akumenyesal. Aku tidak mau kehilangan dia.

Rabb, dada hamba sakit.Hati hamba pedih. Apa yang sebenarnya terjadi pada hamba? Hamba berusaha untukselalu taat pada-Mu, menjalankan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu. Tapikenapa Engkau justru menimpakan ini pada hamba?

Rabb, hamba sangatmencintai Rifan. Hamba selalu berharap dan berdoa agar dia juga mempunyaiperasaan yang sama, hingga kelak kami bisa hidup bersama dalam naungan sakinah,mawaddah, warohmah sesuai syariat-Mu. Tidakkah Kau dengar jeritan hamba wahaiAllah... Lantas kenapa Engkau jauhkan hamba darinya? Hati ini sedih, Rabb.Separuh jiwa hamba seakan mati. Apakah Engkau tidak sayang pada hamba?

Air mata pun jatuh di pipiku. Aku tak kuasa lagi menahannya.Aku tidak tahu lagi apa yang kurasakan. Pikiranku kalut. Emosiku labil. Rabb,bimbing hamba dalam menghadapi masalah ini.

***

Hingga akhirnya, di sepertiga malam terakhir...

"Rabb, dengan hati yang diselimuti rasa malu, hambadatang menghadap-Mu. Hamba sadar, hamba yang mengaku mencintai-Mu, ternyatamasih terkalahkan oleh cinta hamba pada mahluk-Mu. Hamba berdosa, Rabb. Hambaberdosa. Ampunilah hamba, wahai Allah Yang Maha Pengasih...

Rabb, hamba memang masih menyisakan cinta hamba pada Rifan,tapi jika cinta hamba padanya, justru mengalahkan cinta hamba pada-Mu, hambarela, menyerahkan kembali cinta ini.

Wahai Dzat Pemilik semua cinta, izinkanlah hamba untuk selalumencintai-Mu dengan segenap hati hamba. Jangan pernah tinggalkan hamba, danjangan pernah biarkan hamba berpaling dari-Mu. Aamiin."

***

(Bandung,April 2005)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun