Mohon tunggu...
Jovita Dwi Kusumastuti
Jovita Dwi Kusumastuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memasak dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Syarat dan Adab Seorang Mufassir dan Adab Terhadap Al-Qur'an

4 Desember 2024   10:04 Diperbarui: 5 Desember 2024   05:08 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Al-Qur'an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi pedoman hidup bagi seluruh manusia. Sebagai kalamullah yang memiliki keagungan dan kedalaman makna, Al-Qur'an tidak hanya memerlukan pemahaman yang benar, tetapi juga pendekatan yang penuh kehati-hatian dan penghormatan. 

Dalam rangka memahami pesan-pesan Al-Qur'an, diperlukan upaya tafsir yang dilakukan oleh para mufassir. Namun, tidak semua orang dapat menafsirkan Al-Qur'an tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu dan memahami adab yang sesuai.

Seorang mufassir dituntut memiliki keilmuan yang mendalam dan kompetensi khusus, baik dalam hal bahasa Arab, ilmu-ilmu syar'i, maupun metodologi tafsir. Hal ini penting agar tafsir yang dihasilkan tidak menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Selain itu, seorang mufassir harus menjaga adab-adab tertentu, seperti keikhlasan, ketakwaan, dan penghormatan terhadap Al-Qur'an, sebagai manifestasi dari kesadaran akan keagungan firman Allah.

Tidak hanya para mufassir, setiap Muslim juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga adab terhadap Al-Qur'an. Membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur'an dengan penghormatan yang tinggi merupakan bentuk kecintaan kepada Allah dan kitab-Nya. Oleh karena itu, memahami syarat dan adab mufassir serta adab terhadap Al-Qur'an menjadi hal yang sangat penting, baik bagi kalangan ulama maupun umat Islam secara umum.

Pengertian Mufassir

Secara bahasa Mufassir adalah bentuk isim fa'il dari kata Fassara yang artinya menafsirkan atau menjelaskan. Kemudian di ikutkan wazan isim fa'il Mufa'ilun menjadi Mufassirun yang artinya orang yang menafsirkan, mengomentari, interpretasi. Sedangkan menurut istilah, Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta'ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitabullah. 

Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya. Abu Muhammad FH, menjelaskan dalam Kamus Istilah Agama Islam, Mufassir adalah orang yang menerangkan makna ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur'an.

Tujuan seorang mufassir adalah menggali makna, hikmah, dan pesan-pesan Al-Qur'an untuk memberikan panduan kepada umat Islam dalam memahami kitab suci ini. Seorang mufassir memiliki tugas berat untuk memastikan bahwa tafsir yang dihasilkan tidak menyimpang dari maksud asli ayat-ayat Al-Qur'an. Oleh karena itu, diperlukan kriteria khusus yang harus dipenuhi seorang mufassir, baik dari segi keilmuan maupun adab.

A. Syarat-syarat Mufassir

Orang yang melakukan penafsiran terhadap Al-Qur'an disebut sebagai mufassir, dengan bentuk jamak mufassirun atau mufassirin. Mufassir memiliki tugas besar untuk menjelaskan dan menggali makna ayat-ayat Al-Qur'an agar dapat dipahami dan diterapkan oleh umat Islam. Namun, menafsirkan Al-Qur'an tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan membutuhkan kompetensi dan kualifikasi tertentu. 

Seperti halnya seorang dokter yang harus benar-benar memahami ilmu kedokteran sebelum berpraktik, seorang mufassir juga harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama untuk menafsirkan Al-Qur'an dengan benar dan tidak menyimpang. Persyaratan ini mencakup: Persyaratan Fisik dan Psikis, Persyaratan Keagamaan (Diniah), Persyaratan Akademik.

1. Persyaratan Fisik dan Psikis 

- Baligh dan Berakal Sehat: Seorang mufassir haruslah orang dewasa (baligh) dan memiliki akal yang sehat. Anak kecil atau orang dewasa yang tidak berakal sehat tidak memenuhi syarat, karena penafsiran mereka tidak dapat diterima.

- Beragama Islam: Mufassir harus seorang Muslim. Penafsiran dari non-Muslim dikhawatirkan dapat menimbulkan kekacauan atau penyimpangan terhadap ajaran Islam.

- Adab dalam Menafsirkan (Adab al-Mufassir): Selain fisik dan psikis, seorang mufassir harus memiliki adab dan etika tertentu dalam menafsirkan Al-Qur'an, seperti keikhlasan, ketakwaan, serta niat yang baik dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2. Persyaratan Keagamaan (Diniah)

- Keyakinan yang Benar: Seorang mufassir harus memiliki akidah yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Ia juga harus bebas dari pandangan atau keyakinan bid'ah.

- Memiliki Tujuan yang Benar: Tujuan seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur'an harus semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan membantu umat memahami Al-Qur'an, bukan untuk kepentingan duniawi atau pribadi.

- Berpegang pada Dalil Naqli: Dalam menafsirkan, mufassir harus menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur'an, hadis, dan pendapat para sahabat sebagai landasan utama. Periwayatan bid'ah atau yang tidak dapat dipertanggungjawabkan harus dihindari.

3. Persyaratan Akademik 

Persyaratan akademik meliputi penguasaan ilmu-ilmu tertentu yang relevan untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur'an. Para ulama, seperti Al-Suyuthi, Al-Zarqani, dan Al-Farmawi, menjelaskan beberapa ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Al-Suyuthi menyebutkan 15 cabang ilmu berikut:

Ilmu Bahasa Arab: Mengingat Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, mufassir harus memahami makna kata-kata Arab secara mendalam.

Ilmu Nahwu (Tata Bahasa): Untuk memahami struktur kalimat dan perubahan makna yang terjadi akibat perubahan i'rab.

Ilmu Sharaf (Morfologi): Untuk mengetahui bentuk asal dan perubahan kata-kata dalam Al-Qur'an.

Ilmu Isytiqaq (Etimologi): Untuk mengetahui asal-usul kata dan bagaimana kata tersebut memengaruhi makna ayat. Misalnya, kata Al-Masih yang dapat berasal dari al-siyasah (kepemimpinan) atau al-mah (mengusap).

Ilmu Ma'ani (Semantik): Untuk memahami makna kata dan konteks kalimat dalam Al-Qur'an.

Ilmu Bayan (Penjelasan): Untuk mengetahui kejelasan makna ayat-ayat Al-Qur'an, termasuk perbedaan antara yang tersurat dan tersirat.

Ilmu Badi' (Keindahan Bahasa): Untuk mengenali keindahan retorika Al-Qur'an dan rahasia seni bahasanya.

Ilmu Qira'at (Bacaan): Mufassir harus memahami variasi bacaan Al-Qur'an (qira'at) karena perbedaan bacaan dapat memengaruhi makna.

Ilmu Ushuluddin (Teologi): Untuk memahami prinsip-prinsip dasar akidah Islam.

Ilmu Ushul Fiqih: Untuk memahami metode penggalian hukum dari teks-teks Al-Qur'an.

Ilmu Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat): Untuk mengetahui konteks historis dan latar belakang ayat tertentu.

Ilmu Nasikh dan Mansukh: Untuk memahami ayat-ayat yang telah dihapus hukumnya (mansukh) dan yang menggantikannya (nasikh).

Ilmu Fiqih: Untuk memahami hukum-hukum Islam yang terkandung dalam Al-Qur'an.

Ilmu Hadis: Untuk mengetahui hadis-hadis yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an, terutama yang bersifat mujmal (global).

Ilmu Mauhibah: Ilmu ini merujuk pada kemampuan istimewa yang diberikan oleh Allah SWT kepada mufassir, seperti ketajaman akal, keikhlasan, dan hikmah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an.

B. Adab-adab Seorang Mufassir

Allah menjadikan al-Qur'an sebagai dasar pedoman kehidupan bagi umat manusia di samping adanya sunnah. Olehkarenanya, tidak diperbolehkan bagi siapapun menafsirkan suatu ayat al-Qur'an tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama. Sebagaimana yang telah disinggung di awal, selain syarat-syarat yang berkenaan dengan akademik, mufassir juga harus mempunyai etika yang patut ada pada mufassir. 

Orang dengan pengetahuan akademik yang kaya tanpa dibarengi dengan etika yang patut diteladani akan sulit dipercaya oleh orang lain akan kekayaan ilmunya tersebut. Para ulama juga merumuskan etika atau yang sering dikenal dengan sebutan adab al-mufassir yang harus dimiliki olehseorang mufassir. Manna' Khalil al-Qattan mengatakan terdapat 11 adab yang harus dimiliki mufassir: 

- Berniat baik dan bertujuan benar, Seorang mufassir hendaknya mempunyai tujuan dan tekad untuk kebaikan umum, berbuat baik kepada Islam, dan membersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya sebagai buah keikhlasannya

- Berakhlak baik, Seorang mufassir layaknya seorang pendidik yang harus bisa menjadi panutan yang diikuti oleh didikannya dalam hal akhlak dan perbuatan. Kata-kata atau perbuatan yang kurang baik menyebabkan siswa enggan memetik manfaat dari apa yang diajarkan oleh pendidik

- Taat dan beramal, Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkan ilmunya daripada melalui orang yang berpengetahuan tinggi akan tetapi tidak mengamalkannya. Dan perilaku mulia akan menjadikan mufassir sebagai panutan yang baik bagi pelaksanaan masalah-masalah agama yang ditetapkannya

- Berlaku jujur dan teliti, Dengan berlaku jujur dan teliti, mufassir tidak akan berbicara dan menulis kecuali telah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Sehingga dengan cara tersebut akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.

- Tawadhu' dan lemah lembut, Dengan tawadhu' dan lemah lembut akan menghantarkan seorang alim pada kemanfaatan ilmunya.

 - Berjiwa mulia, Seharusnya orang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta yang buta.

- Vokal dalam menyampaikan kebenaran, Karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa alim.

- Berpenampilan baik, Hal ini agar menjadikan seorang mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan. Namun sikap ini hendaknya murni dari diri sendiri bukan sebagai paksaan.

- Bersikap tenang dan mantap, Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam hal berbicara atau pun perbuatan tetapi hendaknya berbicara dengan jelas, tenang, dan mantap agar orang yang mendengarnya memahami apa yang dikatakan dan tidak ragu akan ketetapan yang dihasilkan seorang mufasiir.

- Mendahulukan orang yang lebih utama, Seorang mufassir hendaknya tidak boleh merendahkan dan mengabaikan ketika mereka telah wafat. Akan tetapi hendaknya seorang mufassir belajar dari mereka yang lebih pandai dan belajar dari karya-karya mereka.

- Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, Penafsiran hendaknya dilakukan dengan melakukan persiapan sebelumnya dan melakukan langkah-langkah penafsiran dengan baik. Misalnya dengan memulai dengan menyebutkan asbab al-nuzul, arti kosakata, menerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi-segi balaghah dan i'rab yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan umum yang sedang dialami umat manusia pada masa itu dan kemudian mengambil kesimpulan dan hukum.

C. Adab-adab Terhadap Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan sebagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia. Sebagai kalam Allah yang suci, Al-Qur'an memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Oleh karena itu, interaksi dengan Al-Qur'an tidak hanya sekadar membaca teksnya, tetapi juga memerlukan penghormatan dan penghayatan yang mendalam. Berikut adalah pembahasan lengkap mengenai adab-adab terhadap Al-Qur'an:

- Niat yang Ikhlas: Niat yang ikhlas adalah syarat utama dalam setiap amal ibadah, termasuk membaca atau mempelajari Al-Qur'an. Seorang Muslim harus berniat semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah, bukan untuk tujuan duniawi seperti pujian atau penghormatan dari orang lain. 

- Berwudhu dan Dalam Keadaan Suci: Sebelum menyentuh mushaf Al-Qur'an, seseorang diwajibkan dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun besar. Wudhu adalah bentuk penghormatan kepada Al-Qur'an sebagai kitab suci. 

- Membaca di Tempat yang Bersih dan Tenang: Al-Qur'an tidak boleh dibaca sembarangan di tempat yang kotor atau tidak layak. Pilihlah tempat yang bersih dan tenang agar dapat membaca dengan penuh kekhusyukan. Tempat yang tenang membantu seseorang untuk fokus memahami ayat-ayat Al-Qur'an.

- Memuliakan Mushaf Al-Qur'an: Memuliakan mushaf berarti memperlakukan fisik Al-Qur'an dengan hormat, seperti: Tidak meletakkan mushaf di lantai, Tidak menjadikan mushaf sebagai bantalan atau alas, Menyimpannya di tempat yang bersih dan terhormat, Tidak membawanya ke tempat najis, seperti toilet.

- Membaca dengan tartil: Tartil adalah membaca Al-Qur'an dengan perlahan, teratur, dan mematuhi kaidah tajwid. Membaca dengan tartil memberikan kesempatan untuk memahami dan merenungkan makna ayat-ayat Al-Qur'an.

- Menjaga kesopanan dan berpakaian sopan: Ketika membaca Al-Qur'an, seseorang dianjurkan untuk menjaga adab berpakaian. Pakaian yang sopan dan bersih menunjukkan rasa hormat kepada Al-Qur'an.

- Memahami dan mengamalkan isinya: Membaca Al-Qur'an tidak cukup hanya di bibir; seorang Muslim juga dituntut untuk memahami isi kandungannya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

- Tidak membaca dengan lalai: Hindari membaca Al-Qur'an dalam keadaan malas atau tanpa perhatian. Bacalah dengan hati yang sadar, karena Al-Qur'an bukan sekadar bacaan, melainkan petunjuk hidup.

- Tidak membaca dengan tergesa-gesa: Membaca Al-Qur'an dengan tergesa-gesa menunjukkan kurangnya penghormatan. Bacalah dengan penuh ketenangan, sehingga setiap hurufnya dapat dilafalkan dengan benar.

- Tidak menggunakan Al-Qur'an untuk tujuan duniawi: Larangan keras berlaku bagi siapa saja yang menggunakan Al-Qur'an untuk tujuan duniawi seperti mencari keuntungan materi, pujian, atau kekuasaan. Al-Qur'an adalah kitab suci yang harus dijaga kemurniannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun